Surplus Neraca Perdagangan Dorong Arus Modal Masuk
A
A
A
JAKARTA - Neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2019 mengalami surplus sebesar USD0,54 miliar, hal ini diyakini akan memperbaiki level of trust pelaku pasar. Dengan demikian dapat memberikan apresiasi atas nilai tukar rupiah serta mendorong capital inflow atau arus modal masuk melalui jalur capital market.
"Cadangan devisa juga berpeluang meningkat sehingga bisa menjadi benteng penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat," kata ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto di Jakarta, Senin (22/4/2019).
Sementara itu, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2019 meningkat menjadi USD124,5 miliar atau lebih tinggi dibandingkan dengan USD123,3 miliar pada akhir Februari 2019.
Ryan menuturkan, cadev yang meningkat memberi warning ke pasar keuangan bahwa rupiah punya benteng lebih kuat dari kemungkinan serangan spekulasi, terutama di tahun politik. Ini akan membantu apresiasi rupiah terhadap dolar AS serta menopang kebutuhan pembiayaan 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah.
"Surplus neraca dagang ini patut disyukuri. Dalam dua bulan beruntun, neraca perdagangan mampu surplus sehingga memperkecil defisit dalam kuartal pertama 2019," ungkapnya.
Sambung Ryan, jika ekspor non migas bisa digenjot serta impor migas bisa ditekan dengan program B20 lanjutan, harapannya surplus akan terjadi di bulan berikutnya.
Sementara itu, Direktur CORE Indonesia, Mohammad Faisal, memandang surplus neraca dagang di bulan Maret lebih baik dibandingkan surplus di Februari. Bukan hanya secara kuantitas lebih baik karena nilai surplusnya meningkat, tetapi juga secara kualitas lebih baik karena didorong oleh peningkatan ekspor yang lebih tinggi dibanding peningkatan impor.
"Impor sendiri sebetulnya meningkat. Meskipun didorong oleh peningkatan impor barang produktif. Misalnya mesin dan peralatan mekanik dan listrik, tetapi ternyata juga didorong oleh barang konsumtif (golongan serealia), yang saya kira ini efek dari menjelang bulan Ramadhan," papar Faisal, Senin (22/4/2019).
Dia melanjutkan, kenaikan impor barang produktif terjadi sejalan dengan peningkatan indeks manufaktur (purchasing managers index) di bulan Maret.
Namun ternyata kenaikan impor barang konsumsi (13,49%) malah lebih tinggi dibanding bahan baku/penolong (12,34%). Adapun ekspor non migas tumbuh lebih baik, tapi pendorong ekspor lebih banyak oleh ekspor barang tambang yang naik 31% (secara bulanan), dan ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan harga barang tambang, seperti batubara dan golongan bijih, kerak dan abu logam yang naik 110% (month to month).
"Memang beberapa produk manufaktur juga meningkat seperti ekspor besi dan baja yang naik 40% (month to month), tapi keseluruhan ekspor manufaktur naik 9,48%, jauh di bawah ekspor pertambangan yang naik 31%," beber dia.
Di sisi migas, harga minyak yang naik dan harga gas yang turun sebenarnya mendorong defisit, tetapi tertolong oleh peningkatan volume gas yang tajam (46%) sehingga defisit migasnya menipis.
"Secara umum lebih baik dibanding Februari, karena ekspor meningkat. Tetapi yang perlu diwaspadai karena kenaikan ekspor yang masih lebih banyak didorong ekspor pertambangan yang dipengaruhi oleh faktor harga. Selain itu harga minyak yang terus naik masih berpotensi menekan neraca migas kedepan," katanya.
Adapun, peneliti Indef, Abra el Talattov, menuturkan kontribusi impor konsumsi sudah mencapai 9% dalam tiga tahun terakhir, setelah selama 16 tahun berada di posisi 7-8%. Impor konsumsi memperlihatkan bahwa industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri diakibatkan dengan semakin bergesernya struktur ekonomi ke arah jasa.
Neraca perdagangan non-migas Indonesia pada 2018 tercatat mengalami surplus USD3,96 miliar, terendah sejak 2012 (USD3,92 miliar). Menurut dia, jika tidak ada penanganan serius dan perencanaan industri ke depan, maka neraca perdagangan non-migas terancam defisit pada satu hingga dua tahun kedepan, mengulangi defisit perdagangan non-migas 1996.
"Cadangan devisa juga berpeluang meningkat sehingga bisa menjadi benteng penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat," kata ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto di Jakarta, Senin (22/4/2019).
Sementara itu, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2019 meningkat menjadi USD124,5 miliar atau lebih tinggi dibandingkan dengan USD123,3 miliar pada akhir Februari 2019.
Ryan menuturkan, cadev yang meningkat memberi warning ke pasar keuangan bahwa rupiah punya benteng lebih kuat dari kemungkinan serangan spekulasi, terutama di tahun politik. Ini akan membantu apresiasi rupiah terhadap dolar AS serta menopang kebutuhan pembiayaan 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah.
"Surplus neraca dagang ini patut disyukuri. Dalam dua bulan beruntun, neraca perdagangan mampu surplus sehingga memperkecil defisit dalam kuartal pertama 2019," ungkapnya.
Sambung Ryan, jika ekspor non migas bisa digenjot serta impor migas bisa ditekan dengan program B20 lanjutan, harapannya surplus akan terjadi di bulan berikutnya.
Sementara itu, Direktur CORE Indonesia, Mohammad Faisal, memandang surplus neraca dagang di bulan Maret lebih baik dibandingkan surplus di Februari. Bukan hanya secara kuantitas lebih baik karena nilai surplusnya meningkat, tetapi juga secara kualitas lebih baik karena didorong oleh peningkatan ekspor yang lebih tinggi dibanding peningkatan impor.
"Impor sendiri sebetulnya meningkat. Meskipun didorong oleh peningkatan impor barang produktif. Misalnya mesin dan peralatan mekanik dan listrik, tetapi ternyata juga didorong oleh barang konsumtif (golongan serealia), yang saya kira ini efek dari menjelang bulan Ramadhan," papar Faisal, Senin (22/4/2019).
Dia melanjutkan, kenaikan impor barang produktif terjadi sejalan dengan peningkatan indeks manufaktur (purchasing managers index) di bulan Maret.
Namun ternyata kenaikan impor barang konsumsi (13,49%) malah lebih tinggi dibanding bahan baku/penolong (12,34%). Adapun ekspor non migas tumbuh lebih baik, tapi pendorong ekspor lebih banyak oleh ekspor barang tambang yang naik 31% (secara bulanan), dan ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan harga barang tambang, seperti batubara dan golongan bijih, kerak dan abu logam yang naik 110% (month to month).
"Memang beberapa produk manufaktur juga meningkat seperti ekspor besi dan baja yang naik 40% (month to month), tapi keseluruhan ekspor manufaktur naik 9,48%, jauh di bawah ekspor pertambangan yang naik 31%," beber dia.
Di sisi migas, harga minyak yang naik dan harga gas yang turun sebenarnya mendorong defisit, tetapi tertolong oleh peningkatan volume gas yang tajam (46%) sehingga defisit migasnya menipis.
"Secara umum lebih baik dibanding Februari, karena ekspor meningkat. Tetapi yang perlu diwaspadai karena kenaikan ekspor yang masih lebih banyak didorong ekspor pertambangan yang dipengaruhi oleh faktor harga. Selain itu harga minyak yang terus naik masih berpotensi menekan neraca migas kedepan," katanya.
Adapun, peneliti Indef, Abra el Talattov, menuturkan kontribusi impor konsumsi sudah mencapai 9% dalam tiga tahun terakhir, setelah selama 16 tahun berada di posisi 7-8%. Impor konsumsi memperlihatkan bahwa industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri diakibatkan dengan semakin bergesernya struktur ekonomi ke arah jasa.
Neraca perdagangan non-migas Indonesia pada 2018 tercatat mengalami surplus USD3,96 miliar, terendah sejak 2012 (USD3,92 miliar). Menurut dia, jika tidak ada penanganan serius dan perencanaan industri ke depan, maka neraca perdagangan non-migas terancam defisit pada satu hingga dua tahun kedepan, mengulangi defisit perdagangan non-migas 1996.
(ven)