Panas Bumi Harus Dikelola oleh BUMN

Kamis, 25 April 2019 - 22:29 WIB
Panas Bumi Harus Dikelola...
Panas Bumi Harus Dikelola oleh BUMN
A A A
JAKARTA - Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, yakni sekitar 40% dari total potensi panas bumi dunia. Namun baru sekitar 7% (1.948,5 MW) dari seluruh potensi sumber daya dan cadangan panas bumi (28,5 GW) yang telah dimanfaatkan menjadi energi listrik.

Agar pemanfaatan tersebut meningkat, berbagai hal perlu dilakukan, termasuk mendukung pemerintah dalam memperbaiki dan menjalankan kebijakan, regulasi dan program yang sesuai konstitusi. Sehingga target pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dapat dicapai.

"Salah satu aspek penting yang diamanatkan konstitusi, UUD 1945, dalam pemanfaatan sumber daya alam Indonesia adalah tentang penguasaan negara, dimana aspek pengelolaannya harus berada di tangan BUMN," ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/4/2019).

Saat ini, tiga BUMN yang mengelola sumber daya panas bumi yakni Pertamina Geothermal Energi (PGE), Geo Dipa Energi (GDE) dan PLN Geothermal, hanya menguasai sekitar 38,2% produksi PLTP nasional. Sisanya dikelola oleh perusahaan swasta nasional dan asing.

"Hal ini tentu masih jauh dari kondisi ideal konstitusional yang didambakan sehingga pengelolaan SDA tersebut dapat mendatangkan manfaat bagi sebesar-besar kemajuan rakyat," tegasnya.

Marwan mengatakan, pengembangan panas bumi juga sebagai energi kearifan lokal. Sudah cukup sering terjadi, bahwa rakyat suatu daerah luput dari perhatian pemerintah untuk ikut menikmati eksploitasi sumber energi di daerahnya.

"Hal ini tidak boleh terulang pada sektor energi panas bumi. Masyarakat sekitar PLTP, bukan saja harus ikut menikmati energi yang dihasilkan, tetapi juga harus dilibatkan dalam setiap kesempatan memperoleh manfaat ekonomi-bisnis, sosial-budaya dan lingkungan. Termasuk juga dalam mempertahankan dan meningkatkan berbagai aspek kearifan lokal," paparnya.

Dengan berbagai manfaat pengembangan PLTP yang diperoleh masyarakat sekitar di sejumlah daerah saat ini, seperti terjadi di sekitar Lahendong, Ulubelu dan Kamojang, maka perbaikan terkait aspek kearifan lokal perlu terus dilakukan.

Disamping program intensifikasi guna menyasar lebih banyak populasi masyarakat di suatu PLTP, ekstensifikasi dan inovasi program-program CSR dan penerapan skema kearifan lokal perlu pula dikembangkan di PLTP lain yang belum menjalankan, termasuk di wilayah-wilayah yang akan dikembangkan.

Marwan mengingatkan, bahwa seluruh cadangan terbukti panas bumi nasional mestinya difungsikan sebagai aset guna dimanfaatkan memupuk modal. Karena itu aset tersebut harus diserahkan dan dikelola di bawah kendali BUMN.

Kontrak-kontrak pengembangan PLTP oleh swasta pun, sebagaimana akan berlaku pada sektor migas dan sumber daya air, seyogyanya juga dapat dilakukan dengan BUMN.

"Karena itu, direkomendasikan bahwa di samping memperbaiki peraturan yang ada, berbagai kebijakan dan peraturan yang mengatur ke arah kustodian aset cadangan terbukti dan dominasi BUMN tersebut perlu pula ditetapkan," tuturnya.

Marwan menyatakan sinergi BUMN mengelola sektor hulu energi seperti berlaku pada Pertamina dan PGE akan menjamin terwujudnya biaya produksi listrik yang lebih rendah. Minimal pemerintah akan mempunyai rujukan biaya yang kredibel jika berhadapan dengan PLTP swasta. Oleh sebab itu, posisi dan manfaat yang diperoleh dari status PGE ini perlu dijaga oleh pemerintah.

Untuk menjamin dominasi negara sesuai konstitusi dan sekaligus untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, maka pengelolaan dua WKP besar, yakni Darajat (270 MW) dan Salak (377 MW), seharusnya berada di tangan BUMN.

"Tambahan WKP dengan kapasitas sekitar 647 MW akan menjadikan BUMN kita menjadi tuan di negeri sendiri," tuturnya.

Agar target penyediaan listrik PLTP sebesar 7.200 MW pada 2025 terpenuhi, kebijakan harga jual listrik dari panas bumi tidak dapat disandingkan dengan BPP pembangkit listrik jenis lain. Sebab, harga jual listrik panas bumi dapat menggunakan metode FIT (Feed in Tariff) untuk mengejar target energy mix 23% pada 2025. Keberhasilan eksplorasi cadangan panas bumi harus menjadi prioritas.

"Untuk itu, karena tingginya tingkat risiko kegagalan, perlu adanya insentif eksplorasi melalui kebijakan pengalokasian dana eksplorasi yang ditanggung pemerintah, dan kebutuhannya dianggarkan di dalam APBN. Kegiatan eksplorasi tersebut direkomendasikan untuk dilakukan oleh BUMN dan adanya perlindungan hukum dari negara," tutupnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1039 seconds (0.1#10.140)