Konsolidasi Demi Sehatkan Industri Telekomunikasi
A
A
A
JAKARTA - Konsolidasi operator seluler yang sudah menjadi wacana dan didorong pemerintah sejak tahun 2015 kembali mengemuka. Pemerintah menilai jumlah operator telekomunikasi Tanah Air saat ini masih terlalu banyak. Sebagai informasi, saat ini ada enam pemain seluler, yaitu Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo, Smartfren, Hutchison 3 Indonesia, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
Dengan banyaknya jumlah operator tersebut, tidak semuanya bisa mendapatkan jatah frekuensi yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Akibatnya, konsumen tak menikmati pelayanan yang maksimal. Itu masih ditambah dengan persaingan yang kian sengit bahkan mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. Dampaknya kembali ke operator sendiri. Di mana industri telekomunikasi di Indonesia pada tahun 2018 mengalami pertumbuhan negatif.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Rudiantara mengakui, kondisi industri telekomunikasi di Indonesia belum ideal karena terlalu banyak pemain sehingga perlu terus mendorong adanya konsolidasi yang bisa menjadi salah satu faktor yang mampu membuat industri telekomunikasi menjadi lebih sehat dan bergairah.
Rudiantara bahkan mengungkapkan, bahwa sejak awal pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah mendorong operator telekomunikasi berkonsolidasi karena membutuhkan skala ekonomi yang lebih besar. Karena dengan economic of scale yang meningkat, perusahaan telekomunikasi memiliki bargaining power.
“Konsolidasi perlu dilangsungkan dengan tujuan agar industri telekomunikasi akan menjadi efisien. Dan hal itu sudah mulai disadari oleh para pemegang saham antar operator telekomunikasi. Konsolidasi itu corporate action sehingga pemegang saham yang menentukan tapi pemerintah yang memfasilitasi," kata Rudiantara dalam talkshow dan seminar Indonesia Technology Forum yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta.
Industri telekomunikasi sepanjang tahun 2018 dinilai semakin terpuruk, dimana menurut Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) untuk pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4 persen pada 2018. Dua tahun silam, industri telekomunikasi masih mampu mengantongi pendapatan mencapai sekitar Rp158 triliun. Namun di 2018 nilainya turun menjadi Rp148 triliun alias minus 6,4%.
Bisa dikatakan bahwa Industri telekomunikasi di tahun 2018 memang tidak begitu menggembirakan. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor penting yakni penurunan layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), perang tarif antar operator di layanan data, dan juga adanya regulasi registrasi SIM Card.
Indonesia merupakan salah satu pasar dengan tarif layanan data termurah. Sementara itu konsumsi layanan data per pengguna juga cukup rendah dibandingkan negara yang sebanding, seperti Malaysia, Filipina dan India yaitu sekitar 3,5GB per bulan. Meski demikian, para pemain industri selular optimistis industri telekomunikasi di Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh.
Pemain di industri ini masih melihat potensi yang menjanjikan di pertumbuhan konsumsi layanan data, serta peningkatan penetrasi smartphone yang semakin besar, perbankan dan infrastruktur B2B. Namun, untuk membuat industri ini memiliki keberlanjutan, inisiatif operator saja tidak cukup. Para pelaku industry mengharapkan dukungan penuh dari pemerintah.
Dukungan yang diharapkan antara lain melalui kebijakan dan regulasi terkait OTT dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menyehatkan kompetisi, serta menjamin keberlangsungan bisnis telekomunikasi. Selain itu, juga perlunya pemutakhiran regulasi untuk teknologi dan layanan baru seperti 5G, Fixed Wireless Access dan IoT, termasuk persiapan penyediaan frekuensi untuk memenuhi kebutuhan sumber daya.
Pemerintah juga perlu membuat aturan dan regulasi yang jelas untuk mempermudah apabila ada operator yang akan melakukan konsolidasi, serta perlu dilakukan simplifikasi perizinan untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Menurut Rudiantara ada beberapa program strategis Kemkominfo di industri. Alhamdulillah menurutnya ada yang berjalan baik sesuai schedule salah satunya refarming 4G. Bahkan analis dunia meragukan Indonesia bisa menyelenggarakan 4G dengan cepat. Berkat kerjasama dengan operator. Akhirnya tahun 2015 berhasil. Selanjutnya Palapa Ring juga berjalan dengan baik.
“Satu hutang yang belum terbayar dan telah menjadi program sejak 2015 awal adalah menyehatkan industri dengan cara konsolidasi. Namun ini call bukan di operator (manajemen) tapi di pemegang saham. Mereka ini tidak mudah terpengaruh. Apalagi jika mereka (share holder) ini banyak duit. Perusahaan menderita, tetapi pemegang saham juga seperti orang kaya terus,” ungkap Rudiantara dalam Talkshow dan Seminar dengan Tema ”Konsolidasi Jurus Pamungkas Sehatkan Industri Telekomunikasi?".
Menurut Chief RA, panggilan akrab Rudiantara, konsolidasi sebagai salah satu cara untuk menyehatkan industri . “Sejak 2016 sudah berharap itu karena pertumbuhan industri sudah tidak sehat. Sampai dengan tahun 2015-2016 revenue masih double digit, pertumbuhan paling tinggi dengan kontribusi ke GDP / PDB. Sekarang turun tinggal 7%, seharusnya bisa drive untuk ekonomi,” ungkapnya.
Rudiantara mengatakan bahwa industrii harus lakukan ini. “Penyehatan industri sederhana, bagaimana secara industri melihat bukan ke operator, tapi manage top line. Kontribusi top line industri, ke PDB 1,1-1,2% dari GDP. Kalau di negara lain bisa 1,5%. Sebenarnya ruang ke sana ada, tapi perlu niatnya. Saat ini pemerintah bisa membantu pada bagian biaya, yang tidak meningkatkan cost of service. Saat ini kondisi industri telekomunikasi kita di belakang di negara-negara asean (singapura, malaysia, thailand),” tegasnya.
Acara yang menghadirkan pembicara Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara sebagai Keynot Speaker. Dilanjutkan dengan panelis dari berbagai tokoh, Perwakilan Ketua ATSI Buldansyah, Ketua BRTI/Dirjend SDPPI, Ismail, Analis dari Deutsche Bank, Raymond Kosasih dan Muhammad Syarkawi Rauf dari Institute for Competition and Policy Analysis (ICPA) juga memaparkan beberapa kendala.
Regulasi Mengenai Konsolidasi
Ada satu kendala yang membuat operator enggan melakukan konsolidasi. Undang-undang Telekomunikasi Tahun 1999 yang mengamanatkan, frekuensi itu milik negara. Akibatnya jika satu operator berhenti karena berbagai sebab, antara lain karena diakuisisi oleh pihak lain, frekuensinya harus dikembalikan kepada pemerintah.
Masalah utamanya, frekuensi yang harus dikembalikan ke pemerintah. Sehingga bisa-bisa mereka membeli perusahaan kosong, padahal tujuan mengakuisisi operator lain berharap mengangkut juga frekuensinya.
Menurut pria yang akrab dipanggil Chief RA tersebut, saat ini Kemenkominfo sedang menyusun aturan merger dan akuisisi di sektor telekomunikasi yang intinya nanti akan ada keadilan bagi industri. Termasuk frekuensi tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain. Aturan ini sedang dipersiapkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Kendati demikian, konsolidasi bisa dilakukan tanpa perlu menunggu aturan keluar.
Dengan banyaknya jumlah operator tersebut, tidak semuanya bisa mendapatkan jatah frekuensi yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Akibatnya, konsumen tak menikmati pelayanan yang maksimal. Itu masih ditambah dengan persaingan yang kian sengit bahkan mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. Dampaknya kembali ke operator sendiri. Di mana industri telekomunikasi di Indonesia pada tahun 2018 mengalami pertumbuhan negatif.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Rudiantara mengakui, kondisi industri telekomunikasi di Indonesia belum ideal karena terlalu banyak pemain sehingga perlu terus mendorong adanya konsolidasi yang bisa menjadi salah satu faktor yang mampu membuat industri telekomunikasi menjadi lebih sehat dan bergairah.
Rudiantara bahkan mengungkapkan, bahwa sejak awal pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah mendorong operator telekomunikasi berkonsolidasi karena membutuhkan skala ekonomi yang lebih besar. Karena dengan economic of scale yang meningkat, perusahaan telekomunikasi memiliki bargaining power.
“Konsolidasi perlu dilangsungkan dengan tujuan agar industri telekomunikasi akan menjadi efisien. Dan hal itu sudah mulai disadari oleh para pemegang saham antar operator telekomunikasi. Konsolidasi itu corporate action sehingga pemegang saham yang menentukan tapi pemerintah yang memfasilitasi," kata Rudiantara dalam talkshow dan seminar Indonesia Technology Forum yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta.
Industri telekomunikasi sepanjang tahun 2018 dinilai semakin terpuruk, dimana menurut Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) untuk pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4 persen pada 2018. Dua tahun silam, industri telekomunikasi masih mampu mengantongi pendapatan mencapai sekitar Rp158 triliun. Namun di 2018 nilainya turun menjadi Rp148 triliun alias minus 6,4%.
Bisa dikatakan bahwa Industri telekomunikasi di tahun 2018 memang tidak begitu menggembirakan. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor penting yakni penurunan layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), perang tarif antar operator di layanan data, dan juga adanya regulasi registrasi SIM Card.
Indonesia merupakan salah satu pasar dengan tarif layanan data termurah. Sementara itu konsumsi layanan data per pengguna juga cukup rendah dibandingkan negara yang sebanding, seperti Malaysia, Filipina dan India yaitu sekitar 3,5GB per bulan. Meski demikian, para pemain industri selular optimistis industri telekomunikasi di Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh.
Pemain di industri ini masih melihat potensi yang menjanjikan di pertumbuhan konsumsi layanan data, serta peningkatan penetrasi smartphone yang semakin besar, perbankan dan infrastruktur B2B. Namun, untuk membuat industri ini memiliki keberlanjutan, inisiatif operator saja tidak cukup. Para pelaku industry mengharapkan dukungan penuh dari pemerintah.
Dukungan yang diharapkan antara lain melalui kebijakan dan regulasi terkait OTT dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menyehatkan kompetisi, serta menjamin keberlangsungan bisnis telekomunikasi. Selain itu, juga perlunya pemutakhiran regulasi untuk teknologi dan layanan baru seperti 5G, Fixed Wireless Access dan IoT, termasuk persiapan penyediaan frekuensi untuk memenuhi kebutuhan sumber daya.
Pemerintah juga perlu membuat aturan dan regulasi yang jelas untuk mempermudah apabila ada operator yang akan melakukan konsolidasi, serta perlu dilakukan simplifikasi perizinan untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Menurut Rudiantara ada beberapa program strategis Kemkominfo di industri. Alhamdulillah menurutnya ada yang berjalan baik sesuai schedule salah satunya refarming 4G. Bahkan analis dunia meragukan Indonesia bisa menyelenggarakan 4G dengan cepat. Berkat kerjasama dengan operator. Akhirnya tahun 2015 berhasil. Selanjutnya Palapa Ring juga berjalan dengan baik.
“Satu hutang yang belum terbayar dan telah menjadi program sejak 2015 awal adalah menyehatkan industri dengan cara konsolidasi. Namun ini call bukan di operator (manajemen) tapi di pemegang saham. Mereka ini tidak mudah terpengaruh. Apalagi jika mereka (share holder) ini banyak duit. Perusahaan menderita, tetapi pemegang saham juga seperti orang kaya terus,” ungkap Rudiantara dalam Talkshow dan Seminar dengan Tema ”Konsolidasi Jurus Pamungkas Sehatkan Industri Telekomunikasi?".
Menurut Chief RA, panggilan akrab Rudiantara, konsolidasi sebagai salah satu cara untuk menyehatkan industri . “Sejak 2016 sudah berharap itu karena pertumbuhan industri sudah tidak sehat. Sampai dengan tahun 2015-2016 revenue masih double digit, pertumbuhan paling tinggi dengan kontribusi ke GDP / PDB. Sekarang turun tinggal 7%, seharusnya bisa drive untuk ekonomi,” ungkapnya.
Rudiantara mengatakan bahwa industrii harus lakukan ini. “Penyehatan industri sederhana, bagaimana secara industri melihat bukan ke operator, tapi manage top line. Kontribusi top line industri, ke PDB 1,1-1,2% dari GDP. Kalau di negara lain bisa 1,5%. Sebenarnya ruang ke sana ada, tapi perlu niatnya. Saat ini pemerintah bisa membantu pada bagian biaya, yang tidak meningkatkan cost of service. Saat ini kondisi industri telekomunikasi kita di belakang di negara-negara asean (singapura, malaysia, thailand),” tegasnya.
Acara yang menghadirkan pembicara Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara sebagai Keynot Speaker. Dilanjutkan dengan panelis dari berbagai tokoh, Perwakilan Ketua ATSI Buldansyah, Ketua BRTI/Dirjend SDPPI, Ismail, Analis dari Deutsche Bank, Raymond Kosasih dan Muhammad Syarkawi Rauf dari Institute for Competition and Policy Analysis (ICPA) juga memaparkan beberapa kendala.
Regulasi Mengenai Konsolidasi
Ada satu kendala yang membuat operator enggan melakukan konsolidasi. Undang-undang Telekomunikasi Tahun 1999 yang mengamanatkan, frekuensi itu milik negara. Akibatnya jika satu operator berhenti karena berbagai sebab, antara lain karena diakuisisi oleh pihak lain, frekuensinya harus dikembalikan kepada pemerintah.
Masalah utamanya, frekuensi yang harus dikembalikan ke pemerintah. Sehingga bisa-bisa mereka membeli perusahaan kosong, padahal tujuan mengakuisisi operator lain berharap mengangkut juga frekuensinya.
Menurut pria yang akrab dipanggil Chief RA tersebut, saat ini Kemenkominfo sedang menyusun aturan merger dan akuisisi di sektor telekomunikasi yang intinya nanti akan ada keadilan bagi industri. Termasuk frekuensi tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain. Aturan ini sedang dipersiapkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Kendati demikian, konsolidasi bisa dilakukan tanpa perlu menunggu aturan keluar.
(akr)