OJK Menakar Tantangan Era Industri Keuangan Digital

Jum'at, 03 Mei 2019 - 21:41 WIB
OJK Menakar Tantangan Era Industri Keuangan Digital
OJK Menakar Tantangan Era Industri Keuangan Digital
A A A
BANDUNG - Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sukarela Batunanggar menyampaikan, dalam industri keuangan digital (fintech) saat ini perbankan Indonesia masih berada dalam channel tradisional dengan strategi bisnis yang masih konvensional. Pola pembiayaan atau pemberian pinjaman masih berbasis pada kolateral dengan persepsi perbankan saat ini masih melihat bahwa UMKM memiliki credit risk tinggi.

"Pada dasarnya, UMKM justru harus diempower dan dibina dengan baik, dengan demikian ekonomi Indonesia bisa jauh lebih maju dengan ditunjang UMKM ini," ujar Sukarela Batunanggar di Bandung, Jumat 93/5/2019).

Lebih lanjut Ia juga mengungkapkan, bahwa literasi keuangan masih rendah karena pihak UMKM kurang memiliki pemahaman, dimana mereka menjadi enggan datang ke bank. Hingga akhirnya permintaan terhadap UMKM relatif rendah padahal menurutnya sebanyak 80 juta UMKM membutuhkan dana setidaknya sebanyak USD165 miliar(setara Rp2,3 triliun). Di sisi lain, jumlah tenaga ahli di bidang fintech saat ini belum memadai.

Menurut Sukarela, Fintech bukanlah hal yang baru, sms dan internet banking telah hadir sebagai fintech 2.0, tapi didukung dengan industri 4.0 dan perkembangan IT, perkembangan Fintech berada pada tahap yang menakjubkan. Fintech 3.0 adalah layanan keuangan digital oleh perusahaan non-keuangan yang merupakan suatu revolusi dalam Industri Keuangan Non-Bank (IKNB). "Karena revolusi ini terlalu cepat terjadi, regulasinya pun terlalu lambat untuk mengakomodasinya," lanjutnya.

Menghadapi hal-hal tersebut, OJK juga mengambil peran dalam pengembangan fintech, yaitu peran sebagai fasilitator, fintech center, innovation hub, edukasi, dan literasi. OJK juga mengatur dan mengawasi beberapa lembaga jasa keuangan (LJK) antara lain Bank, Pasar Modal, IKNB, LKM, dan OJK Institute.

Menurutnya, fintech tidak lepas dari berkembangnya industri 4.0. Terlebih, sejak terjadinya krisis global 2008, sistem keuangan negara maju kolaps. Muncul satu gagasan baru terhadap sistem keuangan global yang memberikan peluang untuk inovasi, dari sistem keuangan yang sebelumnya.

"Ini namanya digitalisasi. Jadi industri 4.0 karakteristiknya interkonektivitas, keterhubungan dalam sektor-sektor ekonomi dan kehidupan. Dengan adanya revolusi ini, kita bisa merasakan hilangnya jenjang dan hierarki dalam birokrasi dengan adanya digitalisasi ini," paparnya.

Disruptive technology merupakan hal yang mengubah tatanan keuangan, dan kedepannya akan mengakibatkan perubahan yang lebih drastis lagi. Terang dia, dampak berikutnya adalah perubahan selera konsumen. Di era ekonomi digital terdapat banyak stakeholders inti, antara lain pihak entrepreneur/startup, lembaga keuangan, akademis, organisasi internasional, regulator, pemerintah, dan industri.

"Kemudian kita bisa melihat dampaknya pada perbankan yang tadinya berorientasi pada produk, sekarang lebih didorong ke orientasi terhadap konsumen (customer experience). Hampir 90% transaksi perbankan saat ini sudah melalui channel digital," imbuhnya.

Indonesia diproyeksikan akan menjadi top innovator di dunia digital setelah China dan India di tahun 2030."Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini berada pada titik inklusivitas yang sangat rendah. Sektor keuangan belum terlalu berhasil dalam indeks inklusi keuangan," jelas dia.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5066 seconds (0.1#10.140)