Dulu Waton Nandur, Kini Petani Tembakau di Klaten Bisa Tersenyum
A
A
A
KLATEN - Pada 2010, Gunadi, seorang petani tembakau di Dukuh Geneng, Desa Palar, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, gigit jari. Tahun itu, ia mengalami gagal panen. Tanaman tembakau yang ditanamnya di atas lahan seluas 1 hektar mati terendam air. Hasil panen nihil, utang menumpuk.
Gunadi vakum menanam hingga 2 musim. Pada 2011, ia bangkit. Bergabung menjadi petani mitra PT Pandu Sata Utama (PSU) memberikan kepercayaan diri untuk kembali bertanam tembakau. Jaminan pembelian memberikan harapan.
Delapan tahun berjalan, perekonomian keluarga Gunadi semakin baik. Ia pun bisa bertani dengan tenang.
Seperti apa konsep kemitraan yang memberikan harapan akan kondisi yang lebih baik bagi petani?
Tantangan
Supervisor Agronomi West PSU Kurniawan Indrawanto mengungkapkan, kemitraan telah dimulai sejak 2011. Awalnya, kemitraan ini terjalin dengan 40 petani tembakau. Kini telah berkembang hingga lebih dari 500 petani untuk wilayah “West” yang meliputi Klaten, Gunungkidul, Magetan, Jombang, Boyolali dan Sukoharjo.
Kurniawan Indrawanto, yang biasa disapa Wanto, mengatakan, penambahan jumlah petani mitra salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pasokan tembakau yang semakin meningkat.
Awalnya, PSU menghadapi sejumlah tantangan yang berasal dari kalangan tengkulak ketika awal menggandeng petani sebagai mitra. Saat itu, para petani menjual hasil panennya kepada tengkulak.
“Pasti berhadapan dengan tengkulak saat itu. Mengancam juga. Dulu, petani jual (tembakau) basah dan dimonopoli tengkulak. Yang kaya tengkulaknya, petaninya tertindas. Ada yang dibeli mahal, tapi enggak dibayar. Barang dipanen, dibawa. Paling uang muka thok. Sisanya enggak dikasih. Hitungannya minus (untuk petani),” ujar Wanto.
Menghadapi tantangan ini, pihaknya melakukan pendekatan persuasif kepada tokoh dan petani yang dinilai bisa menjadi pintu masuk. Tentunya, dengan penawaran yang lebih baik untuk petani.
Kerja sama antara perusahaan dan petani mitra juga dilindungi secara hukum karena dilakukan dengan kontrak dan nota kesepahaman yang jelas.
Penuhi prinsip praktik pertanian yang baik.
Wanto memaparkan, untuk menjadi petani mitra, ada sejumlah syarat yang harus diikuti. Syarat ini disepakati bersama. Tak hanya berorientasi pada produksi, tetapi juga merujuk pada Praktik Pertanian yang Baik atau Good Agriculture Practices (GAP) yang memiliki tiga pilar utama, crop, people, dan environment.
Crop terkait dengan cara berbudidaya tembakau yang berkesinambungan. Salah satu inisiatif dalam pilar crop adalah mekanisasi untuk mengurangi biaya produksi. Misalnya, memberikan bantuan cultivator, teknologi yang bisa mempercepat proses produksi, dan lain-lain.
Sementara itu, people berkaitan dengan keselamatan kerja, pencegahan pekerja anak, perlakuan yang adil, pendapatan dan waktu kerja yang lebih baik, kebebasan berserikat, dan pencegahan kerja paksa.
“Sebelum bermitra, petani bebas. Anak-anak dilibatkan dalam proses panen. Padahal, ada dampak terhadap kesehatan mereka. Biasanya, sepulang sekolah ada jeda sampai sore, mereka main ikut memproses tembakau. Setelah bermitra, kami membuat program Rumah Kreasi yang mencegah anak terlibat dalam proses ini,” papar Wanto.
Ia menyebutkan, anak-anak ikut bekerja karena mengikuti orang tua mereka.
“Di rumah enggak ada yang jaga, jadi ikut membantu orang tuanya,” lanjut dia.
Dengan adanya program ini, anak-anak diberikan berbagai kegiatan dan kesibukan, seperti pelajaran Bahasa Inggris melalui English Club. Selain itu, ada pula kegiatan yang mengasah keterampilan. Anak-anak diajarkandrum band, pencak silat, menari, dan lain-lain.
Hingga saat ini, kegiatan masih berlangsung melalui program Rumah Kreasi tersebut. Untuk proses ini juga tak mudah.
“Orang tua harus diberi pengertian. Prosesnya dua tahun, itu tantangan terberat karena persepsi selama ini ibunya justru bangga anaknya bisa membantu, bekerja,” ujar Wanto.
Selanjutnya, pilar environment berbicara tentang cara berbudi daya tembakau secara berkesinambungan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu program yang dilakukan dalam pilar ini adalah Bank Sampah yang dikelola warga.
Semua sampah yang berasal dari lahan tembakau disalurkan ke bank sampah untuk didaur ulang. Adapun untuk kemasan pestisida yang berbahaya akan dikembalikan ke vendor.
“Ada 3 bank sampah di Klaten yang dikelola warga sejak 2014,” jelas Wanto.
Selain itu, petani juga harus mematuhi berbagai ketentuan lainnya seperti mengikuti teknik aplikasi pestisida, memperhatikan jarak antara lahan tembakau dengan sumber air, dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar tak ada kontaminasi pestisida pada sumber air. Perusahaan pemasok juga melakukan tes terhadap air yang digunakan sebelum masuk ke lahan pertanian.
“Airnya dites, layak atau enggak karena akan pengaruh ke kualitas. Kalau enggak, tanaman bisa banyak mati, petani rugi, enggak sustained. Makanya hal ini benar-benar diperhatikan,” kata Wanto.
Kemitraan yang saling menguntungkan
Kemitraan antara PSU, yang juga pemasok tembakau untuk PT HM Sampoerna Tbk., dengan petani mitra memberikan jaminan pembelian hasil panen. Hal ini juga diakui oleh Gunadi, salah satu petani mitra, yang kisahnya membuka tulisan ini.
Dulu, kata Gunadi, petani tak memiliki pasar yang jelas untuk memasarkan hasil panennya. Tetapi, aktivitas menanam tetap dilakukan dengan penghasilan yang tak sepadan.
Kini, petani lebih tenang karena adanya kepastian pembelian hasil panen.
“Pasarnya jelas. Mau gagal, mau berhasil, punya pasar. Sebelum itu, mau dijual ke mana, belum tahu. Waton nandur, embuh payu embuh ora, tanam(Sembarang tanam, entah laku entah tidak, tanam),” kata Gunadi.
Setelah hampir 8 tahun menjadi petani mitra, Gunadi bisa merenovasi kediamannya dan mampu membeli kendaraan bermotor. Penghasilan yang didapatkan dari hasil panen juga meningkat dua kali lipat.
Wanto mengungkapkan, kemitraan yang dibangun dengan para petani salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Perusahaan pemasok tembakau memberikan jaminan pembelian, memberikan subsidi bibit, pupuk, pinjaman mesin, tray, dan lain-lain. Petani hanya membiayai sekitar 25 hingga 40 persen biaya dari total keseluruhan setiap musim tanam.
“Apapun kualitasnya tetap kami ambil, kami beli. Misalnya kontrak untuk 1 hektar kontrak, panen sekitar 2,200 kg tembakau kering. Apapun kualitasnya, diambil (oleh perusahaan pemasok tembakau). Itu jaminannya. Makanya, petani kan bagusnya di situ. Kalau dulu (sebelum jadi petani mitra) kan, jelek enggak diambil,” kata Wanto.
Salah satu faktor yang akan mendukung produksi tembakau adalah kualitas bibit. Pada tahun 2019 ini, PSU membentuk 6 sentra produksi bibit yang dikelola oleh petani terpilih yang berpengalaman. Dalam perjalanannya, petugas lapangan dari PSU tetap memberikan pendampingan dan pengawasan rutin kepada sentra-sentra produksi bibit tersebut. Pendampingan dan pengawasan juga dilakukan untuk tahap-tahap produksi selanjutnya sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil produksi yang berkualitas.
Terbukti, kemitraan yang Pandu Sata Utama jalankan memberikan manfaat kepada petani mitranya, seperti yang tercermin dalam kisah Gunadi.
Gunadi vakum menanam hingga 2 musim. Pada 2011, ia bangkit. Bergabung menjadi petani mitra PT Pandu Sata Utama (PSU) memberikan kepercayaan diri untuk kembali bertanam tembakau. Jaminan pembelian memberikan harapan.
Delapan tahun berjalan, perekonomian keluarga Gunadi semakin baik. Ia pun bisa bertani dengan tenang.
Seperti apa konsep kemitraan yang memberikan harapan akan kondisi yang lebih baik bagi petani?
Tantangan
Supervisor Agronomi West PSU Kurniawan Indrawanto mengungkapkan, kemitraan telah dimulai sejak 2011. Awalnya, kemitraan ini terjalin dengan 40 petani tembakau. Kini telah berkembang hingga lebih dari 500 petani untuk wilayah “West” yang meliputi Klaten, Gunungkidul, Magetan, Jombang, Boyolali dan Sukoharjo.
Kurniawan Indrawanto, yang biasa disapa Wanto, mengatakan, penambahan jumlah petani mitra salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pasokan tembakau yang semakin meningkat.
Awalnya, PSU menghadapi sejumlah tantangan yang berasal dari kalangan tengkulak ketika awal menggandeng petani sebagai mitra. Saat itu, para petani menjual hasil panennya kepada tengkulak.
“Pasti berhadapan dengan tengkulak saat itu. Mengancam juga. Dulu, petani jual (tembakau) basah dan dimonopoli tengkulak. Yang kaya tengkulaknya, petaninya tertindas. Ada yang dibeli mahal, tapi enggak dibayar. Barang dipanen, dibawa. Paling uang muka thok. Sisanya enggak dikasih. Hitungannya minus (untuk petani),” ujar Wanto.
Menghadapi tantangan ini, pihaknya melakukan pendekatan persuasif kepada tokoh dan petani yang dinilai bisa menjadi pintu masuk. Tentunya, dengan penawaran yang lebih baik untuk petani.
Kerja sama antara perusahaan dan petani mitra juga dilindungi secara hukum karena dilakukan dengan kontrak dan nota kesepahaman yang jelas.
Penuhi prinsip praktik pertanian yang baik.
Wanto memaparkan, untuk menjadi petani mitra, ada sejumlah syarat yang harus diikuti. Syarat ini disepakati bersama. Tak hanya berorientasi pada produksi, tetapi juga merujuk pada Praktik Pertanian yang Baik atau Good Agriculture Practices (GAP) yang memiliki tiga pilar utama, crop, people, dan environment.
Crop terkait dengan cara berbudidaya tembakau yang berkesinambungan. Salah satu inisiatif dalam pilar crop adalah mekanisasi untuk mengurangi biaya produksi. Misalnya, memberikan bantuan cultivator, teknologi yang bisa mempercepat proses produksi, dan lain-lain.
Sementara itu, people berkaitan dengan keselamatan kerja, pencegahan pekerja anak, perlakuan yang adil, pendapatan dan waktu kerja yang lebih baik, kebebasan berserikat, dan pencegahan kerja paksa.
“Sebelum bermitra, petani bebas. Anak-anak dilibatkan dalam proses panen. Padahal, ada dampak terhadap kesehatan mereka. Biasanya, sepulang sekolah ada jeda sampai sore, mereka main ikut memproses tembakau. Setelah bermitra, kami membuat program Rumah Kreasi yang mencegah anak terlibat dalam proses ini,” papar Wanto.
Ia menyebutkan, anak-anak ikut bekerja karena mengikuti orang tua mereka.
“Di rumah enggak ada yang jaga, jadi ikut membantu orang tuanya,” lanjut dia.
Dengan adanya program ini, anak-anak diberikan berbagai kegiatan dan kesibukan, seperti pelajaran Bahasa Inggris melalui English Club. Selain itu, ada pula kegiatan yang mengasah keterampilan. Anak-anak diajarkandrum band, pencak silat, menari, dan lain-lain.
Hingga saat ini, kegiatan masih berlangsung melalui program Rumah Kreasi tersebut. Untuk proses ini juga tak mudah.
“Orang tua harus diberi pengertian. Prosesnya dua tahun, itu tantangan terberat karena persepsi selama ini ibunya justru bangga anaknya bisa membantu, bekerja,” ujar Wanto.
Selanjutnya, pilar environment berbicara tentang cara berbudi daya tembakau secara berkesinambungan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu program yang dilakukan dalam pilar ini adalah Bank Sampah yang dikelola warga.
Semua sampah yang berasal dari lahan tembakau disalurkan ke bank sampah untuk didaur ulang. Adapun untuk kemasan pestisida yang berbahaya akan dikembalikan ke vendor.
“Ada 3 bank sampah di Klaten yang dikelola warga sejak 2014,” jelas Wanto.
Selain itu, petani juga harus mematuhi berbagai ketentuan lainnya seperti mengikuti teknik aplikasi pestisida, memperhatikan jarak antara lahan tembakau dengan sumber air, dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar tak ada kontaminasi pestisida pada sumber air. Perusahaan pemasok juga melakukan tes terhadap air yang digunakan sebelum masuk ke lahan pertanian.
“Airnya dites, layak atau enggak karena akan pengaruh ke kualitas. Kalau enggak, tanaman bisa banyak mati, petani rugi, enggak sustained. Makanya hal ini benar-benar diperhatikan,” kata Wanto.
Kemitraan yang saling menguntungkan
Kemitraan antara PSU, yang juga pemasok tembakau untuk PT HM Sampoerna Tbk., dengan petani mitra memberikan jaminan pembelian hasil panen. Hal ini juga diakui oleh Gunadi, salah satu petani mitra, yang kisahnya membuka tulisan ini.
Dulu, kata Gunadi, petani tak memiliki pasar yang jelas untuk memasarkan hasil panennya. Tetapi, aktivitas menanam tetap dilakukan dengan penghasilan yang tak sepadan.
Kini, petani lebih tenang karena adanya kepastian pembelian hasil panen.
“Pasarnya jelas. Mau gagal, mau berhasil, punya pasar. Sebelum itu, mau dijual ke mana, belum tahu. Waton nandur, embuh payu embuh ora, tanam(Sembarang tanam, entah laku entah tidak, tanam),” kata Gunadi.
Setelah hampir 8 tahun menjadi petani mitra, Gunadi bisa merenovasi kediamannya dan mampu membeli kendaraan bermotor. Penghasilan yang didapatkan dari hasil panen juga meningkat dua kali lipat.
Wanto mengungkapkan, kemitraan yang dibangun dengan para petani salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Perusahaan pemasok tembakau memberikan jaminan pembelian, memberikan subsidi bibit, pupuk, pinjaman mesin, tray, dan lain-lain. Petani hanya membiayai sekitar 25 hingga 40 persen biaya dari total keseluruhan setiap musim tanam.
“Apapun kualitasnya tetap kami ambil, kami beli. Misalnya kontrak untuk 1 hektar kontrak, panen sekitar 2,200 kg tembakau kering. Apapun kualitasnya, diambil (oleh perusahaan pemasok tembakau). Itu jaminannya. Makanya, petani kan bagusnya di situ. Kalau dulu (sebelum jadi petani mitra) kan, jelek enggak diambil,” kata Wanto.
Salah satu faktor yang akan mendukung produksi tembakau adalah kualitas bibit. Pada tahun 2019 ini, PSU membentuk 6 sentra produksi bibit yang dikelola oleh petani terpilih yang berpengalaman. Dalam perjalanannya, petugas lapangan dari PSU tetap memberikan pendampingan dan pengawasan rutin kepada sentra-sentra produksi bibit tersebut. Pendampingan dan pengawasan juga dilakukan untuk tahap-tahap produksi selanjutnya sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil produksi yang berkualitas.
Terbukti, kemitraan yang Pandu Sata Utama jalankan memberikan manfaat kepada petani mitranya, seperti yang tercermin dalam kisah Gunadi.
(akn)