Sri Mulyani: Kami Sangat Hati-hati Mengelola Utang
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menekankan posisi utang pemerintah masih berada dalam level aman, dan memastikan pengelolaan utang dilakukan secara sangat hati-hati (prudent). Hal itu terang dia terlihat dari kebijakan pengelolaan ekonomi makro untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan termasuk instrumen utang itu bersifat fleksibel.
Apabila kondisi ekonomi sudah membaik (cukup sehat), maka utang akan dikurangi sehingga ruang fiskal di APBN dapat ditingkatkan. Menkeu juga mengingatkan bahwa utang harusnya dilihat sebagai alat bukan tujuan.
Misalnya Pemerintah giat mengeluarkan surat utang yang bersifat retail (kecil) kepada masyarakat dalam negeri antara lain untuk memperluas pasar investasi. Apabila masyarakat dalam negeri yang lebih dominan berinvestasi di pasar utang pemerintah, maka diharapkan akan mengurangi volatilitas ketika terjadi goncangan ekonomi global.
“APBN termasuk pembiayaan atau utang itu adalah instrumen. Pada saat ekonomi melemah, utang digunakan sebagai counter cyclical untuk meng-counter pelemahan. Fiskal (policy) itu didesain terutama defisitnya bukan sebagi stand alone policy (kebijakan yang berdiri sendiri), tetapi dia adalah bagian dari pengelolaan ekonomi makro dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan,” ujar Menkeu di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Lebih lanjut, Menkeu menyampaikan bahwa utang Pemerintah dikelola secara sangat hati-hati mengacu pada rambu-rambu yang diatur pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Di Undang-Undang Nomor 17 sudah sangat jelas dan ini kami terus ulangi bahwa kita akan terus menjaga sesuai peraturan perundang-undangan. Kurang dari 3% dari sisi defisit pertahun dan total utang tidak boleh lebih dari 60% dan bahkan sekarang kita menggunakan hard limit yaitu 30%. Padahal sebetulnya Undang-Undang membolehkan sampai 60%,” tegas Menkeu.
Selain itu, mantan Direktur Bank Dunia itu juga menjelaskan seharusnya tidak hanya fokus pada jumlah utang, namun juga dari sisi kualitas alokasi belanja Pemerintah yang digunakan untuk sektor-sektor produktif (misalnya pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan belanja ke daerah). Apalagi tren utang Pemerintah terus menurun sedangkan alokasi belanja di sektor produktif semakin meningkat.
“Kami sangat hati-hati, extremely hati-hati mengelola utang. (Indikatornya antara lain) resiko bunga utang mengalami penurunan yang konsisten sejak mendapatkan investment grade sampai sekarang. Resiko valas kita upayakan menurun sekarang di bawah 40%. Utang jatuh tempo kita dalam waktu 3 tahun tetap stabil,” pungkas Menkeu.
Apabila kondisi ekonomi sudah membaik (cukup sehat), maka utang akan dikurangi sehingga ruang fiskal di APBN dapat ditingkatkan. Menkeu juga mengingatkan bahwa utang harusnya dilihat sebagai alat bukan tujuan.
Misalnya Pemerintah giat mengeluarkan surat utang yang bersifat retail (kecil) kepada masyarakat dalam negeri antara lain untuk memperluas pasar investasi. Apabila masyarakat dalam negeri yang lebih dominan berinvestasi di pasar utang pemerintah, maka diharapkan akan mengurangi volatilitas ketika terjadi goncangan ekonomi global.
“APBN termasuk pembiayaan atau utang itu adalah instrumen. Pada saat ekonomi melemah, utang digunakan sebagai counter cyclical untuk meng-counter pelemahan. Fiskal (policy) itu didesain terutama defisitnya bukan sebagi stand alone policy (kebijakan yang berdiri sendiri), tetapi dia adalah bagian dari pengelolaan ekonomi makro dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan,” ujar Menkeu di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Lebih lanjut, Menkeu menyampaikan bahwa utang Pemerintah dikelola secara sangat hati-hati mengacu pada rambu-rambu yang diatur pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Di Undang-Undang Nomor 17 sudah sangat jelas dan ini kami terus ulangi bahwa kita akan terus menjaga sesuai peraturan perundang-undangan. Kurang dari 3% dari sisi defisit pertahun dan total utang tidak boleh lebih dari 60% dan bahkan sekarang kita menggunakan hard limit yaitu 30%. Padahal sebetulnya Undang-Undang membolehkan sampai 60%,” tegas Menkeu.
Selain itu, mantan Direktur Bank Dunia itu juga menjelaskan seharusnya tidak hanya fokus pada jumlah utang, namun juga dari sisi kualitas alokasi belanja Pemerintah yang digunakan untuk sektor-sektor produktif (misalnya pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan belanja ke daerah). Apalagi tren utang Pemerintah terus menurun sedangkan alokasi belanja di sektor produktif semakin meningkat.
“Kami sangat hati-hati, extremely hati-hati mengelola utang. (Indikatornya antara lain) resiko bunga utang mengalami penurunan yang konsisten sejak mendapatkan investment grade sampai sekarang. Resiko valas kita upayakan menurun sekarang di bawah 40%. Utang jatuh tempo kita dalam waktu 3 tahun tetap stabil,” pungkas Menkeu.
(akr)