KEIN: Sektor ICT Penyebab Defisit Transaksi Berjalan
A
A
A
JAKARTA - Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) membuat kajian terkait persoalan defisit transaksi berjalan di Indonesia. Dari hasil awal kajian ditemukan tekanan pada defisit transaksi berjalan disebabkan oleh neraca jasa sektor ICT (Information Communication Technology) atau teknologi informasi dan telekomunikasi yang defisit sejak 2011 dan semakin dalam.
Selain dari sisi jasa, data UN Comtrade, impor barang untuk komoditas mesin dan peralatan elektronik (HS85) pada 2018 sebesar sebesar USD21,45 miliar, atau setara dengan 11,37% kontribusinya terhadap total impor.
Dengan nilai tersebut impor komoditas mesin dan peralatan elektronik menempati posisi ketiga komponen impor terbesar, setelah bahan bakar mineral dan reaktor nuklir dan permesinan. Selain itu, komponen impor terbesar juga berasal dari besi dan baja serta turunannya, plastik dan turunannya, kimia organik dan serealia.
Untuk komponen impor barang-barang berbasis informasi dan teknologi (HS85), komoditas dengan kode HS8517, memiliki proporsi dan pertumbuhan impor yang terus meningkat sejak 2014. Pada 2018, HS8517 memiliki proporsi sebesar 27,1% terhadap HS85 dan tumbuh sebesar 20,9% (yoy). Sementara, HS851770 memiliki proporsi sebesar 71,8% terhadap HS8517 dan tumbuh sebesar 18,7% (yoy) pada periode yang sama.
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta mengatakan, persoalan neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) harus segera diselesaikan. Hal ini menjadi penting karena menggambarkan stabilitas ekonomi Indonesia terkait dengan pergeraka ekonomi di sektor makro.
"Kalau mau memperbaiki secara permanen current account maka kita harus memperbanyak investasi langsung," ujarnya di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Arif melanjutkan, investasi asing langsung yang masuk belum mampu mendorong kenaikan kinerja ekspor yang signifikan serta tidak berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja.
Berbeda dengan Malaysia, di mana aliran investasi asing langsung yang masuk mampu mendorong kinerja ekspor di Malaysia dengan elastisitas 10 kali lipat daripada Indonesia.
"Presiden Jokowi selalu menyampaikan jika kita ingin meningkatkan atau memanfaatkan investasi untuk pertumbuhan ekonomi itu harus dalam tiga hal. Pertama, menghasilkan devisa. Kedua, menciptakan lapangan kerja. Ketiga, bersinergi dengan supply chain yang menyertainya seperti UMKM," jelasnya.
Selain dari sisi jasa, data UN Comtrade, impor barang untuk komoditas mesin dan peralatan elektronik (HS85) pada 2018 sebesar sebesar USD21,45 miliar, atau setara dengan 11,37% kontribusinya terhadap total impor.
Dengan nilai tersebut impor komoditas mesin dan peralatan elektronik menempati posisi ketiga komponen impor terbesar, setelah bahan bakar mineral dan reaktor nuklir dan permesinan. Selain itu, komponen impor terbesar juga berasal dari besi dan baja serta turunannya, plastik dan turunannya, kimia organik dan serealia.
Untuk komponen impor barang-barang berbasis informasi dan teknologi (HS85), komoditas dengan kode HS8517, memiliki proporsi dan pertumbuhan impor yang terus meningkat sejak 2014. Pada 2018, HS8517 memiliki proporsi sebesar 27,1% terhadap HS85 dan tumbuh sebesar 20,9% (yoy). Sementara, HS851770 memiliki proporsi sebesar 71,8% terhadap HS8517 dan tumbuh sebesar 18,7% (yoy) pada periode yang sama.
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta mengatakan, persoalan neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) harus segera diselesaikan. Hal ini menjadi penting karena menggambarkan stabilitas ekonomi Indonesia terkait dengan pergeraka ekonomi di sektor makro.
"Kalau mau memperbaiki secara permanen current account maka kita harus memperbanyak investasi langsung," ujarnya di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Arif melanjutkan, investasi asing langsung yang masuk belum mampu mendorong kenaikan kinerja ekspor yang signifikan serta tidak berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja.
Berbeda dengan Malaysia, di mana aliran investasi asing langsung yang masuk mampu mendorong kinerja ekspor di Malaysia dengan elastisitas 10 kali lipat daripada Indonesia.
"Presiden Jokowi selalu menyampaikan jika kita ingin meningkatkan atau memanfaatkan investasi untuk pertumbuhan ekonomi itu harus dalam tiga hal. Pertama, menghasilkan devisa. Kedua, menciptakan lapangan kerja. Ketiga, bersinergi dengan supply chain yang menyertainya seperti UMKM," jelasnya.
(fjo)