Pemerintah Harus Dorong Kemandirian Sektor TIK
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dinilai harus segera mengambil kebijakan yang tepat di sektor telekomunikasi, informasi dan komunikasi (TIK) sehingga neraca di sektor tersebut dapat kembali mengalami surplus. Sejak Desember 2011, neraca jasa sektor TIK mengalami defisit yang disebabkan impor di sektor ini yang semakin melebar.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan, permintaan terhadap sektor TIK diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin majunya teknologi. Jika tidak ada perubahan struktural, defisit neraca jasa TIK diperkirakan akan semakin dalam.
"Termasuk games, aplikasi, dan peralatan-peralatan yang menunjang TIK," ujarnya di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Data UN Comtrade, impor barang untuk komoditas mesin dan peralatan elektronik (HS85) pada 2018 sebesar sebesar USD21,45 miliar, atau setara dengan 11,37% kontribusinya terhadap total impor.
Dengan nilai tersebut impor komoditas mesin dan peralatan elektronik menempati posisi ketiga komponen impor terbesar, setelah bahan bakar mineral dan reaktor nuklir dan permesinan. Selain itu, komponen impor terbesar juga berasal dari besi dan baja serta turunannya, plastik dan turunannya, kimia organik dan serealia.
Arif melanjutkan, Indonesia bisa belajar dari Vietnam untuk mengatasi defisit neraca jasa TIK. Sejak 2010, Vietnam telah menjadi negara net-eksportir untuk komoditas perangkat telepon seluler.
"Vietnam bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Transformasi struktural juga dilakukan Vietnam di bidang TIK," ungkapnya.
Vietnam mendorong investasi asing di bidang instalasi infrastruktur telekomunikasi untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan teknologi di bidang TIK. Salah satu langkah yang dilakukan Vietnam adalah dengan memberikan beragam insentif pajak.
"Salah satu alasan utama mengapa banyak investor memilih Vietnam daripada pasar lain di Asia adalah pajak perusahaan Vietnam yang kompetitif," kata Arif.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Nunung Nuryartono mengatakan, penetrasi internet di Indonesia sebesar 56% atau lebih rendah dari rata-rata penetrasi internet di dunia sebesar 57%. Namun, dari segi rata-rata lama waktu berinternet, Indonesia mencapai 8,5 menit per jam atau lebih tinggi dari rata-rata dunia selama 6 menit per jam.
"Dari total populasi sebanyak 268,2 juta, jumlah ponsel lebih banyak dari populasi yakni sebanyak 353,3 juta. Basis handphone inilah yang berimplikasi dengan hal yang berkaitan dengan kemungkinan transaksi berjalan kita menjadi defisit," tuturnya.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan, permintaan terhadap sektor TIK diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin majunya teknologi. Jika tidak ada perubahan struktural, defisit neraca jasa TIK diperkirakan akan semakin dalam.
"Termasuk games, aplikasi, dan peralatan-peralatan yang menunjang TIK," ujarnya di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Data UN Comtrade, impor barang untuk komoditas mesin dan peralatan elektronik (HS85) pada 2018 sebesar sebesar USD21,45 miliar, atau setara dengan 11,37% kontribusinya terhadap total impor.
Dengan nilai tersebut impor komoditas mesin dan peralatan elektronik menempati posisi ketiga komponen impor terbesar, setelah bahan bakar mineral dan reaktor nuklir dan permesinan. Selain itu, komponen impor terbesar juga berasal dari besi dan baja serta turunannya, plastik dan turunannya, kimia organik dan serealia.
Arif melanjutkan, Indonesia bisa belajar dari Vietnam untuk mengatasi defisit neraca jasa TIK. Sejak 2010, Vietnam telah menjadi negara net-eksportir untuk komoditas perangkat telepon seluler.
"Vietnam bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Transformasi struktural juga dilakukan Vietnam di bidang TIK," ungkapnya.
Vietnam mendorong investasi asing di bidang instalasi infrastruktur telekomunikasi untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan teknologi di bidang TIK. Salah satu langkah yang dilakukan Vietnam adalah dengan memberikan beragam insentif pajak.
"Salah satu alasan utama mengapa banyak investor memilih Vietnam daripada pasar lain di Asia adalah pajak perusahaan Vietnam yang kompetitif," kata Arif.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Nunung Nuryartono mengatakan, penetrasi internet di Indonesia sebesar 56% atau lebih rendah dari rata-rata penetrasi internet di dunia sebesar 57%. Namun, dari segi rata-rata lama waktu berinternet, Indonesia mencapai 8,5 menit per jam atau lebih tinggi dari rata-rata dunia selama 6 menit per jam.
"Dari total populasi sebanyak 268,2 juta, jumlah ponsel lebih banyak dari populasi yakni sebanyak 353,3 juta. Basis handphone inilah yang berimplikasi dengan hal yang berkaitan dengan kemungkinan transaksi berjalan kita menjadi defisit," tuturnya.
(fjo)