Startup Nasional Butuh Ekosistem Pendukung untuk Bersaing dengan China

Senin, 08 Juli 2019 - 22:44 WIB
Startup Nasional Butuh...
Startup Nasional Butuh Ekosistem Pendukung untuk Bersaing dengan China
A A A
JAKARTA - China disebut mengalahkan Amerika Serikat (AS) dalam dominasi sebagai negara penghasil unicorn. Namun, karakteristik unicorn masing-masing negara sangat berbeda. Unicorn asal China lebih didorong oleh inovasi model bisnis yang mengambil keuntungan dari pasar konsumen yang besar, tumbuh cepat tetapi terfragmentasi di negara Asia. Sementara unicorn teknologi tinggi lebih dominan dari AS.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menilai ada beberapa kiat untuk menciptakan startup Indonesia menuju kelas dunia yang kompetitif. Menurut dia, pelaku startup harus berani bersaing dan ekspansi ke level regional. Trik berikutnya, pelaku startup harus punya strategi meraih laba yang jelas.

“Strategi lainnya adalah startup harus memiliki visi menjadi market leader di sektornya. Sehingga bisa berkompetisi dengan startup dunia,” ujar Eddi di Jakarta, Senin (8/7/2019).

Sementara, pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira menilai, untuk membangun startup kelas dunia, Indonesia butuh dukungan pengembangan SDM dari perguruan tinggi yang berkualitas.

“Jadi kurikulum yang diajarkan dan keahlian yang diperlukan dalam startup harus saling terkait,” ujar Bhima.

Insentif pajak dan non pajak seharusnya bisa dijadikan kebijakan dalam mendorong belanja riset, sehingga pengembangan ekosistem pendukung bisa ditingkatkan secara efektif.

“Rasio belanja riset terhadap PDB kita masih dibawah 1%, jauh di bawah China yakni 2,18% tahun 2018,” tambahnya.

Kemudian dia juga mengingatkan pemerintah harus mengembangkan infrastruktur digital khususnya akses internet secara merata. Seluruh wilayah Nusantara hingga ke pedesaan harus mendapatkan akses internet demi memperluas penetrasi pasar seperti yang dilakukan China.

Kepala Operasional GnB Accelerator Elsye Yolanda secara lebih jauh membandingkan kondisi startup di China yang sangat berbeda dengan Indonesia.

Menurutnya, produk China bisa mendunia berkat e-commerce sehingga pelaku disana mengetahui kebutuhan pasar. Ini dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku jasa pengiriman dan pabrik.

“Mereka pintar memanfaatkan e-commerce sehingga banyak produk China bisa dijual di dunia. Startup Indonesia sulit menyamai China, khususnya Alibaba, karena mereka menguasai market yang sangat luas. Karena itu pemerintah harus teruskan penetrasi internet di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Dia mencontohkan Gojek dan Traveloka dari Indonesia sudah mulai ekspansi pasar Asia meskipun belum secara global. Ini karena produk yang dibawa harus disesuaikan dengan market yang dituju setiap negara. Sementara untuk e-commerce akan lebih mudah dikembangkan ke market global karena lebih praktis.

Meskipun di Indonesia terdapat e-commerce seperti Tokopedia, kondisinya sangat beda. Misalnya, pabrik yang sangat banyak di China membuat harga barangnya jauh lebih murah.

“Bahkan, warga Indonesia juga belanja online dari China untuk barang seperti sendok,” ujarnya.

Menurutnya, Gojek dan Traveloka sangat potensial untuk mencari target pasar yang sesuai di luar negeri. Namun, jangan berkompetisi langsung dengan Alibaba karena skalanya jauh lebih besar. Gojek disebutnya bisa mengandalkan Gopay karena dapat diadaptasi dimanapun.

“Gopay masih mungkin masuk ke pasar Korea atau China. Traveloka juga potensial, setidaknya menguasai negara di Asia Tenggara,” tambahnya.

Peran Modal Ventura juga dibutuhkan selain pemerintah. Permodalan sangat dibutuhkan untuk berkompetisi di tingkat global. Sebaiknya juga diberikan kemudahan pajak atau insentif karena sekarang Modal Ventura asing mayoritas berpusat di Singapura.

“Pasar Indonesia masih sangat menarik khususnya bidang fintech. Karena penetrasi sektor finansial masih rendah,” ujarnya.

Terakhir dia juga menyoroti hal yang paling lemah untuk pengembangan startup di Indonesia yaitu sangat lambat dalam pengembangan teknologinya. Hal ini, menurutnya, akibat pemerintah yang malas mengembangkan riset di kampus-kampus.

Sedangkan di luar negeri riset dan inovasi sangat cepat melalui kampus. Contohnya riset untuk bidang teknologi buatan ataupun machine learning. "Justru ini salah satu cara tercepat untuk akselerasi startup yang berkualitas di Indonesia," tandasnya.
(ind)
Copyright ©2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4972 seconds (0.1#10.24)