Pelaku Usaha Sambut Baik Insentif Pajak Super Deductible
A
A
A
JAKARTA - Kalangan pengusaha menyambut baik insentif pengurangan pajak untuk dunia usaha yang berinvestasi dalam program pendidikan vokasi serta melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, insentif pajak super deductible ini diarahkan untuk pengembangan industri manufaktur yang memiliki nilai tambah tinggi sehingga membutuhkan tenaga kerja yang ahli dan penelitian yang kuat dan mahal.
"Kami menyambut baik akhirnya kebijakan ini bisa disahkan dan menunggu PMK-nya untuk punya dasar aturan pelaksanaannya," ujarnya di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Shinta melanjutkan, kebijakan ini akan mendorong investor-investor teknologi untuk masuk ke Indonesia seperti industri mobil listrik, perangkat cerdas, dan automotif yang bisa memiliki prospek cukup baik ke depannya dalam membantu meningkatkan ekspor dan meninggalkan ketergantungan terhadap komoditas.
Menurut Shinta, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun industri pendukungnya. "Untuk mobil listrik kita sudah mulai membangun pabrik lithium di Morowali, perakitan smartphone kita memiliki keahlian juga seperti yang dilakukan pelaku usaha kita di batam, lainnya yang juga perlu dibangun adalah komponen-komponen perakitan seperti tanah jarang, semikonduktor atau logam yang sudah ditingkatkan kualitasnya," tuturnya.
Shinta menuturkan, pelaku usaha sendiri sebenarnya memiliki banyak kebutuhan tenaga kerja ahli/terampil yang seharusnya bisa diserap melalui pendidikan vokasi. Namun karena biayanya mahal dan terdapat missing link dengan apa yang diajarkan menyebabkan terjadi ketidaksesuaian dengan kebutuhan industri tidak sesuai. Pada akhirnya para lulusan vokasi ini tidak terserap.
"Dengan adanya kebijakan ini, banyak perusahaan akan langsung melakukan investasi kepada sarana pendidikan vokasi agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Litbang pun sama, karena biaya litbang itu sangat besar bisa sampai 10-30% dari anggaran perusahaan, sedangkan supplier kita sebenarnya sudah kompetitif," jelasnya.
Shinta menambahkan, dengan melakukan litbang di sini maka pengusaha bisa langsung menyesuaikannya dengan kondisi pasar, lingkungan, suplai bahan baku, dan lainnya. "Apalagi bila target perusahaan tersebut ASEAN. Tentu Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Oleh karena itu, saya yakin dengan ditandatanganinya kebijakan ini bisa membantu kita tidak hanya dari sisi ekspor, tetapi juga dari sisi SDM dan kemampuan penelitian," tandasnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, insentif pajak super deductible ini diarahkan untuk pengembangan industri manufaktur yang memiliki nilai tambah tinggi sehingga membutuhkan tenaga kerja yang ahli dan penelitian yang kuat dan mahal.
"Kami menyambut baik akhirnya kebijakan ini bisa disahkan dan menunggu PMK-nya untuk punya dasar aturan pelaksanaannya," ujarnya di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Shinta melanjutkan, kebijakan ini akan mendorong investor-investor teknologi untuk masuk ke Indonesia seperti industri mobil listrik, perangkat cerdas, dan automotif yang bisa memiliki prospek cukup baik ke depannya dalam membantu meningkatkan ekspor dan meninggalkan ketergantungan terhadap komoditas.
Menurut Shinta, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun industri pendukungnya. "Untuk mobil listrik kita sudah mulai membangun pabrik lithium di Morowali, perakitan smartphone kita memiliki keahlian juga seperti yang dilakukan pelaku usaha kita di batam, lainnya yang juga perlu dibangun adalah komponen-komponen perakitan seperti tanah jarang, semikonduktor atau logam yang sudah ditingkatkan kualitasnya," tuturnya.
Shinta menuturkan, pelaku usaha sendiri sebenarnya memiliki banyak kebutuhan tenaga kerja ahli/terampil yang seharusnya bisa diserap melalui pendidikan vokasi. Namun karena biayanya mahal dan terdapat missing link dengan apa yang diajarkan menyebabkan terjadi ketidaksesuaian dengan kebutuhan industri tidak sesuai. Pada akhirnya para lulusan vokasi ini tidak terserap.
"Dengan adanya kebijakan ini, banyak perusahaan akan langsung melakukan investasi kepada sarana pendidikan vokasi agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Litbang pun sama, karena biaya litbang itu sangat besar bisa sampai 10-30% dari anggaran perusahaan, sedangkan supplier kita sebenarnya sudah kompetitif," jelasnya.
Shinta menambahkan, dengan melakukan litbang di sini maka pengusaha bisa langsung menyesuaikannya dengan kondisi pasar, lingkungan, suplai bahan baku, dan lainnya. "Apalagi bila target perusahaan tersebut ASEAN. Tentu Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Oleh karena itu, saya yakin dengan ditandatanganinya kebijakan ini bisa membantu kita tidak hanya dari sisi ekspor, tetapi juga dari sisi SDM dan kemampuan penelitian," tandasnya.
(fjo)