Kejar Ketertinggalan, Konsep Pariwisata Halal Harus Terus Dimatangkan
A
A
A
JAKARTA - Konsep Pariwisata Halal (halal tourism) di Tanah Air perlu terus dimatangkan, demi mengejar keberhasilan seperti yang telah dicapai negara lain. Di Jepang, misalnya, telah membuktikan hotel berkonsep muslim friendly sukses menarik tamu dari Eropa. Bahkan keluarga dari Eropa percaya untuk menitipkan anaknya selama berlibur di Jepang.
Hal ini disampaikan Vice Chairwoman of Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC), Jetti Rosila Hadi yang mengatakan, konsep wisata halal banyak menggunakan beragam istilah. Salah satunya hotel muslim friendly di Jepang tersebut. Konsep ini justru diminati karena lebih terpercaya dengan informasi yang jelas buat wisatawan.
“Kita harus terus matangkan konsep wisata halal supaya prinsip-prinsipnya jelas oleh seluruh stakeholder. Khususnya pemerintah pusat dan daerah. Kita harus bisa menjadi benchmarking wisata halal dunia. Tapi sekarang kita harus berlari kejar ketinggalan,” ujar Jetti dalam diskusi bersama perwakilan stakeholder wisata halal.
Sambung dia menjelaskan, saat ini ada perbedaan pandangan mengenai wisata halal di masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah belum bisa memisahkan wisata halal dan syariah Islam.
Dalam wisata halal terdapat layanan yang diberikan untuk semua orang dari berbagai agama atau inklusif. “Wisata halal harus dipisahkan dengan islamisasi. Kita harus berikan rasa nyaman untuk turis manapun. Justru kita ingin turis kembali lagi dan melakukan belanja,” ujarnya.
Intinya, menurut dia, berikan pengalaman yang baik kepada turis dengan informasi yang jelas untuk makanan halal atau tidak. Ini harus dijelaskan, bukan dipasang sekat sekat yang tidak nyaman. Nanti kalau nyaman para turis bisa setahun tiga kali datang dan belanja yang banyak.
“Dengan konten yang negatif di sosial media itu sangat merugikan dalam membentuk persepsi di masyarakat. Karena itu kami inisiasi FGD untuk samakan persepsi bukan harus seragam tapi prinsipnya harus dipahami. Ini bisa jadi awal langkah untuk mengejar ketertinggalan,” terangnya.
Ditambahkan oleh Chairman of IHLC, Sapta Nirwandar bahwa konsep halal tidak hanya baik untuk Muslim tetapi juga non-Muslim. Begitu pula servis pariwisata halal yang baik untuk semua orang. Karena itu apa yang dimaksud pariwisata halal harus disampaikan ke publik dengan benar agar tidak keliru memaknainya.
"Karena halal boleh untuk semuanya, dalam konteks halal ini untuk semua manusia, halal baik untuk orang Islam baik juga buat non-Islam," ujar Sapta dalam kesempatan sama.
Terang dia, pariwisata halal harus terus disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak salah persepsi dan ini adalah pekerjaan bersama semua pihak. Pariwisata halal bukan bagian dari proses Islamisasi. “Ini juga tergantung kebijakan pemerintah pusat dan daerah,” ujarnya.
Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Masduki Baidlowi mengungkapkan, banyak orang yang memahami pariwisata halal sebagai bagian dari proses Islamisasi. Sejatinya ini adalah strategi mencari pasar wisatawan dunia. Karena banyak terjadi pertumbuhan dalam kelas menengah masyarakat Musim di dunia. “Kelas menengah butuh pariwisata halal, artinya ada ceruk pasar yang besar di situ. Indonesia harus menangkap itu dengan baik," kata Masduki.
Tapi selama ini, menurut dia, banyak cara yang keliru dalam menangkap peluang tersebut. Sebagai contoh pengembangan pariwisata halal direspons pemerintah daerah dengan membuat peraturan daerah (perda) syariah. Kemudian sebuah pantai dibuat label sebagai objek wisata syariah. Akhirnya menimbulkan persoalan karena banyak menimbulkan kontroversi.
Dia juga mencontohkan, orang yang ingin mendaki Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat (NTB) harus di pisah antara pria dan wanita. Menurut KH Masduki kebijakan tersebut Islamisasi. Dia menjelaskan, Islamisasi memang tidak dilarang, tapi pengembangan pariwisata halal dan proses Islamisasi berbeda.
"Proses Islamisasi beda lagi bab-nya, bukan berarti itu dilarang, tapi beda babnya karena pariwisata halal sebenarnya tidak persis sama dengan proses Islamisasi dengan tidak mengurangi betapa pentingnya Islamisasi karena itu bagian dari strategi dakwah," ujarnya.
Hal ini disampaikan Vice Chairwoman of Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC), Jetti Rosila Hadi yang mengatakan, konsep wisata halal banyak menggunakan beragam istilah. Salah satunya hotel muslim friendly di Jepang tersebut. Konsep ini justru diminati karena lebih terpercaya dengan informasi yang jelas buat wisatawan.
“Kita harus terus matangkan konsep wisata halal supaya prinsip-prinsipnya jelas oleh seluruh stakeholder. Khususnya pemerintah pusat dan daerah. Kita harus bisa menjadi benchmarking wisata halal dunia. Tapi sekarang kita harus berlari kejar ketinggalan,” ujar Jetti dalam diskusi bersama perwakilan stakeholder wisata halal.
Sambung dia menjelaskan, saat ini ada perbedaan pandangan mengenai wisata halal di masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah belum bisa memisahkan wisata halal dan syariah Islam.
Dalam wisata halal terdapat layanan yang diberikan untuk semua orang dari berbagai agama atau inklusif. “Wisata halal harus dipisahkan dengan islamisasi. Kita harus berikan rasa nyaman untuk turis manapun. Justru kita ingin turis kembali lagi dan melakukan belanja,” ujarnya.
Intinya, menurut dia, berikan pengalaman yang baik kepada turis dengan informasi yang jelas untuk makanan halal atau tidak. Ini harus dijelaskan, bukan dipasang sekat sekat yang tidak nyaman. Nanti kalau nyaman para turis bisa setahun tiga kali datang dan belanja yang banyak.
“Dengan konten yang negatif di sosial media itu sangat merugikan dalam membentuk persepsi di masyarakat. Karena itu kami inisiasi FGD untuk samakan persepsi bukan harus seragam tapi prinsipnya harus dipahami. Ini bisa jadi awal langkah untuk mengejar ketertinggalan,” terangnya.
Ditambahkan oleh Chairman of IHLC, Sapta Nirwandar bahwa konsep halal tidak hanya baik untuk Muslim tetapi juga non-Muslim. Begitu pula servis pariwisata halal yang baik untuk semua orang. Karena itu apa yang dimaksud pariwisata halal harus disampaikan ke publik dengan benar agar tidak keliru memaknainya.
"Karena halal boleh untuk semuanya, dalam konteks halal ini untuk semua manusia, halal baik untuk orang Islam baik juga buat non-Islam," ujar Sapta dalam kesempatan sama.
Terang dia, pariwisata halal harus terus disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak salah persepsi dan ini adalah pekerjaan bersama semua pihak. Pariwisata halal bukan bagian dari proses Islamisasi. “Ini juga tergantung kebijakan pemerintah pusat dan daerah,” ujarnya.
Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Masduki Baidlowi mengungkapkan, banyak orang yang memahami pariwisata halal sebagai bagian dari proses Islamisasi. Sejatinya ini adalah strategi mencari pasar wisatawan dunia. Karena banyak terjadi pertumbuhan dalam kelas menengah masyarakat Musim di dunia. “Kelas menengah butuh pariwisata halal, artinya ada ceruk pasar yang besar di situ. Indonesia harus menangkap itu dengan baik," kata Masduki.
Tapi selama ini, menurut dia, banyak cara yang keliru dalam menangkap peluang tersebut. Sebagai contoh pengembangan pariwisata halal direspons pemerintah daerah dengan membuat peraturan daerah (perda) syariah. Kemudian sebuah pantai dibuat label sebagai objek wisata syariah. Akhirnya menimbulkan persoalan karena banyak menimbulkan kontroversi.
Dia juga mencontohkan, orang yang ingin mendaki Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat (NTB) harus di pisah antara pria dan wanita. Menurut KH Masduki kebijakan tersebut Islamisasi. Dia menjelaskan, Islamisasi memang tidak dilarang, tapi pengembangan pariwisata halal dan proses Islamisasi berbeda.
"Proses Islamisasi beda lagi bab-nya, bukan berarti itu dilarang, tapi beda babnya karena pariwisata halal sebenarnya tidak persis sama dengan proses Islamisasi dengan tidak mengurangi betapa pentingnya Islamisasi karena itu bagian dari strategi dakwah," ujarnya.
(akr)