Jepang-Korsel Perang Dagang, China Ingin Ambil Untung
A
A
A
SEOUL - Perang dagang telah meluas, tidak lagi hanya Amerika Serikat dengan China, juga dua negara ekonomi besar Asia lainnya. Kepentingan nasional di bidang teknologi, membuat Jepang memberlakukan pembatasan ekspor terhadap industri teknologi Korea Selatan.
Menteri Perdagangan Jepang, Hiroshige Seko pada Selasa (9/7) menyatakan negaranya harus membatasi ekspor untuk industri teknologi Korea Selatan, demi kepentingan nasional. Meski masih terbuka "pembicaraan damai", namun Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, mengancam bakal melakukan langkah "balasan" yang diperlukan.
Japan News Network mengatakan dalam sebuah survei yang baru-baru ini dilakukan, 58% responden warga Jepang menyetujui kebijakan Tokyo, dibandingkan dengan 24% yang menolak.
Meningkatnya eskalasi "perang dagang" Jepang dengan Korea Selatan, bisa menjadi kabar baik bagi tetangga besarnya: Republik Rakyat China. Bisa menjadi keuntungan dari sisi ekonomi maupun diplomatic.
Melansir dari South China Morning Post, Jumat (12/7/2019), dengan pembatasan ekspor dari Tokyo terhadap perusahaan-perusahaan Korea Selatan, bisa menjadi peluang bagi pabrikan China untuk masuk.
Pembatasan ekspor teknologi dari Jepang terhadap Korea Selatan telah membuat pening perusahaan teknologi besar Negeri Ginseng, seperti Samsung dan LG. Karena keduanya sangat bergantung pada pasokan komponen elektronik dan semikonduktor dari Jepang.
Nah, kekosongan yang ditinggalkan Jepang, bisa menjadi peluang bagi produsen dan industri semikonduktor China untuk mengisi pasar Korea Selatan.
Benih-benih perselisihan dagang Seoul dan Tokyo tidak lepas dari luka invasi Jepang ke Semenanjung Korea pada Perang Dunia II. Usai perang berakhir, dalam perjanjian yang diteken tahun 1965, Korea Selatan meminta kompensasi kepada Jepang. Dan yang terbaru, Pengadilan Korea Selatan menuntut perusahaan-perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada korban kerja paksa masa perang.
Jepang meradang. Sebagai tanggapan atas Pengadilan Korsel, Tokyo menyatakan membatasi ekspor tiga bahan kepada Seoul. Yaitu poliamida fluorinasi, bahan yang digunakan dalam telepon pintar. Dua lagi adalah fotoresis dan hydrogen fluoride, yang digunakan dalam semikonduktor di telepon pintar.
Jepang memproduksi sekitar 90% poliamida fluorinasi di dunia, 70% hydrogen fluoride, dan 90% fotoresis. Karena besarnya produksi tiga bahan kimia dan semikonduktor tersebut, sulit bagi Korea Selatan untuk menemukan pasokan alternatif.
Asosiasi Perdagangan Internasional Korea mengatakan perusahaan-perusahaan negaranya sangat bergantung kepada Jepang atas tiga bahan tersebut. Data bulan Mei, Korsel memperoleh 95% pioliamida fluorinasi dan 92% fotoresis dari Jepang.
Dan dalam lima bulan pertama tahun ini, Korea Selatan membeli USD103,52 juta fotoresis, USD28,54 juta hydrogen fluoride, dan USD12,14 juta poliamida fluorinasi dari Jepang.
Namun, profesor di Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perdagangan Internasional Universitas Pusan di Korea Selatan, Ryo Hinata Yamaguchi, menilai pertikaian ini akan saling merugikan dua negara.
"Jepang memang menjadi sumber teknologi kimia dan manufaktur penting bagi industri Korea Selatan. Tapi jangan lupa, Korea Selatan adalah pasar ekspor terbesar ketiga bagi Jepang," kata Hinata-Yamaguchi.
Korea Selatan merupakan pasar ekspor terbesar ketiga bagi Jepang, dengan nilai 5,79 triliun yen atau setara USD53,4 miliar pada perdagangan tahun kemarin.
Adapun ekspor semikonduktor Jepang ke Korea Selatan mencapai 21% dari total ekspor negara itu, dan 7,8% dari PDB.
Dosen ekonomi politik internasional di Universitas George Mason Korea, June Park, mengatakan industri teknologi kedua negara sebetulnya saling terhubung dan melengkapi. Misalnya, kata dia, perusahaan Korsel membeli bahan dari Jepang untuk menghasilkan semikonduktor, kemudian sering dijual kembali ke perusahaan Jepang.
Perselisihan ini membuat warga Korea Selatan medesak untuk memboikot semua barang-barang Jepang yang dijual di pasar ritel, termasuk rokok dan minuman.
Seperti diutarakan di atas, China pun menyambut "gembira" atas perselisihan dua negara tetangganya. China sendiri memiliki visi misi besar, yaitu Made in China 2025. Tahun 2020, China menargetkan dapat memproduksi 40% pangsa pasar semikonduktor di dunia. Tahun 2025, China berambisi memproduksi 70% pangsa pasar semikonduktor di dunia.
Dengan pengembangan industri microchip yang banyak, China harus menjual dan bisa menguasai pasar-pasar di Asia, kalau perlu dunia, untuk meningkatkan ekonomi mereka dalam menghadapi persaingan marathon dengan Amerika Serikat.
"Jika konflik dagang Jepang dan Korea Selatan terus berlangsung, China dapat mengambil kesempatan untuk naik ke puncak. China memiliki motivasi meningkatkan permainannya di industri semikonduktor," kata June Park.
Selama puluhan tahun, ketiga negara Asia Timur telah menguasai pasar industri semikonduktor di dunia. Dekade 1990-an hingga 2000-an, Jepang yang dominan. Era 2010-an, Korea Selatan yang mengambil alih. Kini, China berusaha menjadi yang terdepan.
"Industri semikonduktor sangat kompleks dan memimpin industri ini bisa memberi keunggulan ekonomi. Kepemimpinan di industri ini telah silih berganti selama empat dekade terakhir," kata Park.
Sementara itu, Asosiasi Supermarket Korea, yang mewakili lebih dari 23.000 toko, mengatakan akan menghentikan sementara penjualan produk-produk Jepang, termasuk bir Asahi dan Kirin, serta rokok Seven Mild. "Kami akan melawan sikap Jepang dan melakukan tindakan pembalasan," kata Presiden Asosiasi Supermarket Korea, Lim Won-bae.
Menteri Perdagangan Jepang, Hiroshige Seko pada Selasa (9/7) menyatakan negaranya harus membatasi ekspor untuk industri teknologi Korea Selatan, demi kepentingan nasional. Meski masih terbuka "pembicaraan damai", namun Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, mengancam bakal melakukan langkah "balasan" yang diperlukan.
Japan News Network mengatakan dalam sebuah survei yang baru-baru ini dilakukan, 58% responden warga Jepang menyetujui kebijakan Tokyo, dibandingkan dengan 24% yang menolak.
Meningkatnya eskalasi "perang dagang" Jepang dengan Korea Selatan, bisa menjadi kabar baik bagi tetangga besarnya: Republik Rakyat China. Bisa menjadi keuntungan dari sisi ekonomi maupun diplomatic.
Melansir dari South China Morning Post, Jumat (12/7/2019), dengan pembatasan ekspor dari Tokyo terhadap perusahaan-perusahaan Korea Selatan, bisa menjadi peluang bagi pabrikan China untuk masuk.
Pembatasan ekspor teknologi dari Jepang terhadap Korea Selatan telah membuat pening perusahaan teknologi besar Negeri Ginseng, seperti Samsung dan LG. Karena keduanya sangat bergantung pada pasokan komponen elektronik dan semikonduktor dari Jepang.
Nah, kekosongan yang ditinggalkan Jepang, bisa menjadi peluang bagi produsen dan industri semikonduktor China untuk mengisi pasar Korea Selatan.
Benih-benih perselisihan dagang Seoul dan Tokyo tidak lepas dari luka invasi Jepang ke Semenanjung Korea pada Perang Dunia II. Usai perang berakhir, dalam perjanjian yang diteken tahun 1965, Korea Selatan meminta kompensasi kepada Jepang. Dan yang terbaru, Pengadilan Korea Selatan menuntut perusahaan-perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada korban kerja paksa masa perang.
Jepang meradang. Sebagai tanggapan atas Pengadilan Korsel, Tokyo menyatakan membatasi ekspor tiga bahan kepada Seoul. Yaitu poliamida fluorinasi, bahan yang digunakan dalam telepon pintar. Dua lagi adalah fotoresis dan hydrogen fluoride, yang digunakan dalam semikonduktor di telepon pintar.
Jepang memproduksi sekitar 90% poliamida fluorinasi di dunia, 70% hydrogen fluoride, dan 90% fotoresis. Karena besarnya produksi tiga bahan kimia dan semikonduktor tersebut, sulit bagi Korea Selatan untuk menemukan pasokan alternatif.
Asosiasi Perdagangan Internasional Korea mengatakan perusahaan-perusahaan negaranya sangat bergantung kepada Jepang atas tiga bahan tersebut. Data bulan Mei, Korsel memperoleh 95% pioliamida fluorinasi dan 92% fotoresis dari Jepang.
Dan dalam lima bulan pertama tahun ini, Korea Selatan membeli USD103,52 juta fotoresis, USD28,54 juta hydrogen fluoride, dan USD12,14 juta poliamida fluorinasi dari Jepang.
Namun, profesor di Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perdagangan Internasional Universitas Pusan di Korea Selatan, Ryo Hinata Yamaguchi, menilai pertikaian ini akan saling merugikan dua negara.
"Jepang memang menjadi sumber teknologi kimia dan manufaktur penting bagi industri Korea Selatan. Tapi jangan lupa, Korea Selatan adalah pasar ekspor terbesar ketiga bagi Jepang," kata Hinata-Yamaguchi.
Korea Selatan merupakan pasar ekspor terbesar ketiga bagi Jepang, dengan nilai 5,79 triliun yen atau setara USD53,4 miliar pada perdagangan tahun kemarin.
Adapun ekspor semikonduktor Jepang ke Korea Selatan mencapai 21% dari total ekspor negara itu, dan 7,8% dari PDB.
Dosen ekonomi politik internasional di Universitas George Mason Korea, June Park, mengatakan industri teknologi kedua negara sebetulnya saling terhubung dan melengkapi. Misalnya, kata dia, perusahaan Korsel membeli bahan dari Jepang untuk menghasilkan semikonduktor, kemudian sering dijual kembali ke perusahaan Jepang.
Perselisihan ini membuat warga Korea Selatan medesak untuk memboikot semua barang-barang Jepang yang dijual di pasar ritel, termasuk rokok dan minuman.
Seperti diutarakan di atas, China pun menyambut "gembira" atas perselisihan dua negara tetangganya. China sendiri memiliki visi misi besar, yaitu Made in China 2025. Tahun 2020, China menargetkan dapat memproduksi 40% pangsa pasar semikonduktor di dunia. Tahun 2025, China berambisi memproduksi 70% pangsa pasar semikonduktor di dunia.
Dengan pengembangan industri microchip yang banyak, China harus menjual dan bisa menguasai pasar-pasar di Asia, kalau perlu dunia, untuk meningkatkan ekonomi mereka dalam menghadapi persaingan marathon dengan Amerika Serikat.
"Jika konflik dagang Jepang dan Korea Selatan terus berlangsung, China dapat mengambil kesempatan untuk naik ke puncak. China memiliki motivasi meningkatkan permainannya di industri semikonduktor," kata June Park.
Selama puluhan tahun, ketiga negara Asia Timur telah menguasai pasar industri semikonduktor di dunia. Dekade 1990-an hingga 2000-an, Jepang yang dominan. Era 2010-an, Korea Selatan yang mengambil alih. Kini, China berusaha menjadi yang terdepan.
"Industri semikonduktor sangat kompleks dan memimpin industri ini bisa memberi keunggulan ekonomi. Kepemimpinan di industri ini telah silih berganti selama empat dekade terakhir," kata Park.
Sementara itu, Asosiasi Supermarket Korea, yang mewakili lebih dari 23.000 toko, mengatakan akan menghentikan sementara penjualan produk-produk Jepang, termasuk bir Asahi dan Kirin, serta rokok Seven Mild. "Kami akan melawan sikap Jepang dan melakukan tindakan pembalasan," kata Presiden Asosiasi Supermarket Korea, Lim Won-bae.
(ven)