Hadapi Perang Dagang, Investasi dan Ekspor Harus Dipacu
A
A
A
JAKARTA - Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China berpengaruh terhadap kinerja perekonomian dan perdagangan global. Meski begitu, dampak dari perang dagang di setiap negara berbeda-beda.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pengaruh perang dagang terhadap perekonomian Indonesia cenderung lebih moderat. Hal ini karena Indonesia tidak terlalu masuk dalam arus supply-chain perdagangan dunia. Namun hal itu pula yang menyebabkan Indonesia cukup sulit untuk mengambil untung dari perang dagang.
"Di kawasan ASEAN, pengaruh perang dagang ini berbeda-beda. Semakin negara tersebut ada di dalam supply chain, mungkin bisa mendapatkan offside tetapi juga downside," ujarnya di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Sri Mulyani melanjutkan, Indonesia lebih sedikit pengaruhnya karena tidak terlalu dekat dengan supply chain dan sektor manufaktur justru tidak mengalami peningkatan. "Kalau kita bisa mengambil opportunity berarti kita akan masuk dalam supply chain. Berarti nanti akan ada konsekuensinya," ungkapnya.
Perang dagang berdampak pada peningkatan investasi (FDI) Indonesia sebesar 1,02%. Bagi AS dan China, perang dagang menyusutkan investasi mereka masing-masing 3,91% dan 2,67%. Sementara Vietnam mendapatkan keuntungan terbesar dengan peningkatan investasi sebesar 8,05%.
Menurut Sri Mulyani, Vietnam menjadi salah satu negara yang mendapat banyak keuntungan dari perang dagang ini. Namun di sisi lain, Vietnam menjadi sangat tergantung pada ekonomi negara lain. "Vietnam bisa tumbuh tinggi karena dia pasarnya bergantung pada dunia dan investasi dari dunia," tuturnya.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, investasi perlu didorong untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Hal ini bertujuan agar dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat menyelamatkan neraca perdagangan Indonesia.
Menurutnya, investasi di Indonesia belum efisien. Nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia untuk 2016-2018 masih berada di angka lebih dari 6, sangat jauh dari nilai ICOR tahun 2008 yang berada di angka 3,7. "Akibatnya, realisasi investasi belum mampu mendorong pertumbuhan sektor industri untuk menjadi prime mover ekonomi nasional," tuturnya.
Di sisi lain, perang dagang tidak menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Perang dagang AS-China juga berdampak pada penurunan ekspor 0,24%. Hal yang sama juga terjadi di AS dan China dengan penurunan masing-masing sebesar 8,2% dan 7,09%. Penurunan ekspor AS utamanya disebabkan karena menyusutnya ekspor ke China, demikian juga sebaliknya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pengaruh perang dagang terhadap perekonomian Indonesia cenderung lebih moderat. Hal ini karena Indonesia tidak terlalu masuk dalam arus supply-chain perdagangan dunia. Namun hal itu pula yang menyebabkan Indonesia cukup sulit untuk mengambil untung dari perang dagang.
"Di kawasan ASEAN, pengaruh perang dagang ini berbeda-beda. Semakin negara tersebut ada di dalam supply chain, mungkin bisa mendapatkan offside tetapi juga downside," ujarnya di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Sri Mulyani melanjutkan, Indonesia lebih sedikit pengaruhnya karena tidak terlalu dekat dengan supply chain dan sektor manufaktur justru tidak mengalami peningkatan. "Kalau kita bisa mengambil opportunity berarti kita akan masuk dalam supply chain. Berarti nanti akan ada konsekuensinya," ungkapnya.
Perang dagang berdampak pada peningkatan investasi (FDI) Indonesia sebesar 1,02%. Bagi AS dan China, perang dagang menyusutkan investasi mereka masing-masing 3,91% dan 2,67%. Sementara Vietnam mendapatkan keuntungan terbesar dengan peningkatan investasi sebesar 8,05%.
Menurut Sri Mulyani, Vietnam menjadi salah satu negara yang mendapat banyak keuntungan dari perang dagang ini. Namun di sisi lain, Vietnam menjadi sangat tergantung pada ekonomi negara lain. "Vietnam bisa tumbuh tinggi karena dia pasarnya bergantung pada dunia dan investasi dari dunia," tuturnya.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, investasi perlu didorong untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Hal ini bertujuan agar dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat menyelamatkan neraca perdagangan Indonesia.
Menurutnya, investasi di Indonesia belum efisien. Nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia untuk 2016-2018 masih berada di angka lebih dari 6, sangat jauh dari nilai ICOR tahun 2008 yang berada di angka 3,7. "Akibatnya, realisasi investasi belum mampu mendorong pertumbuhan sektor industri untuk menjadi prime mover ekonomi nasional," tuturnya.
Di sisi lain, perang dagang tidak menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Perang dagang AS-China juga berdampak pada penurunan ekspor 0,24%. Hal yang sama juga terjadi di AS dan China dengan penurunan masing-masing sebesar 8,2% dan 7,09%. Penurunan ekspor AS utamanya disebabkan karena menyusutnya ekspor ke China, demikian juga sebaliknya.
(fjo)