Mendag Enggar Diminta Lobi China Demi Genjot Ekspor
A
A
A
JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita diminta sejumlah kalangan untuk langsung melobi langsung pemerintah China dalam upaya menggenjot ekspor dengan memanfaatkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) versus Negeri Tirai Bambu -julukan China- tersebut. Sejauh ini ekspor Indonesia tercatat positif usai neraca dagang periode Juni 2019 tercatat surplus USD 0,2 miliar.
Wakil ketua Komisi VI DPR Inas Nasrullah Zubir mengatakan, Indonesia jangan lagi mengekspor barang mentah melainkan harus sudah siap pakai. Oleh karena itu, Inas menyarankan Mendag pergi ke China untuk melakukan lobi dan mengetahui apa yang dibutuhkan di sana. Apalagi, kata dia, tenaga kerja di China sangat mahal.
"Jadi apa yang bisa produksi bisa kita tawarkan. Ya saya kira kalau emang ada yang bisa dibicarakan, maka perlu ke China. Apa yang bisa diekspor, kita izin ekspor ke sana," kata Inas kepada wartawan, Rabu (17/7/2019).
Kepergian Mendag ke China nantinya juga diharapkan mendapatkan kabar positif, sehingga kerja sama ekspor Indonesia ke China terus meningkat untuk memperbaiki neraca perdagangan.
"Paling penting Mendag pulang bawa hasil. Tetapi menteri perindustrian juga harus ke sana juga untuk mencari tahu apa sih yang bisa diproduksi Indonesia untuk diekspor China terutama barang-barang industri, barang-barang teknologi Indonesia cukup mumpuni," paparnya.
Senada, Wakil ketua Komisi VI lainnya, Azam Azman Natawijana mengutarakan, Mendag bisa langsung ke China untuk melobi agar ekspor Indonesia meningkat. Sehingga komiditi Indonesia bisa terus diterima China. "Bisa saja tetapi seberapa besar lobi itu akan sukses ya perlu dicoba, harus begitu. Mereka (China) lebih besar dari kita," kata Azam
Apalagi, kata dia Indonesia punya perjanjian dengan China. Namun Indonesia dengan catatan terang dia, harus memiliki produk yang kompetitif agar China tertarik. Menurutnya, produk Indonesia masih kalah dengan milik China.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan di lain kesempatan menilai untuk meningkatkan ekspor, pemerintah harus mencari produk yang mempunyai nilai tambah. Juga harus diperhatikan produknya memang produk olahan. "Sehingga harga jual ekspor lebih tinggi dibandingkan dengam produk mentah. Bisa manufaktur," terang dia.
Di kesempatan terpisah, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti mengatakan, surplus yang terjadi memang tidak begitu besar, atau tepatnya USD196 juta pada bulan Juni. Momen ini diduga juga akibat imbas perang dagang AS dengan China. "Sebenarnya kita ada peluang lagi meningkatkan ekspor, bisa dilihat komoditas apa yang bisa dipasok ke China dan juga Amerika," ujarnya.
Komoditas ekspor ke China yang cukup besar, kata dia, adalah batu bara, Crude Palm Oil (CPO), besi dan baja. Ia pun memprediksi ekspor CPO ke China masih bisa digenjot lagi. Pemerintah, lanjutnya, bisa mendorong lagi melakukan upaya-upaya baik internal maupun eksternal meningkatkan ekspor ini.
Antara lain Menteri Perdagangan bisa melakukan lobi-lobi ke negara tujuan ekspor seperti China. "Ini PR semua (menteri terkait) lah, bisa melakukan upaya-upaya agar momen perang dagang AS China ini bisa kita manfaatkan," katanya.
Yunita menyebut, faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap neraca perdagangan yakni kondisi ekonomi dunia yang masih lemah. Meski demikian pemerintah bisa terus melakukan berbagai upaya.
Diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya menekan angka defisit perdagangan Indonesia dengan China yang sebesar USD18,41 miliar pada 2018. Adapun pada tahun tersebut, nilai perdagangan Indonesia-China mencapai USD72 miliar.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Eskpor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Marolop Nainggolan menekankan, Indonesia dapat memanfaatkan potensi pasar China yang penduduknya berjumlah 1,4 miliar orang. Untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, tentu pemerintah China tidak dapat mengatasinya sendiri.
Wakil ketua Komisi VI DPR Inas Nasrullah Zubir mengatakan, Indonesia jangan lagi mengekspor barang mentah melainkan harus sudah siap pakai. Oleh karena itu, Inas menyarankan Mendag pergi ke China untuk melakukan lobi dan mengetahui apa yang dibutuhkan di sana. Apalagi, kata dia, tenaga kerja di China sangat mahal.
"Jadi apa yang bisa produksi bisa kita tawarkan. Ya saya kira kalau emang ada yang bisa dibicarakan, maka perlu ke China. Apa yang bisa diekspor, kita izin ekspor ke sana," kata Inas kepada wartawan, Rabu (17/7/2019).
Kepergian Mendag ke China nantinya juga diharapkan mendapatkan kabar positif, sehingga kerja sama ekspor Indonesia ke China terus meningkat untuk memperbaiki neraca perdagangan.
"Paling penting Mendag pulang bawa hasil. Tetapi menteri perindustrian juga harus ke sana juga untuk mencari tahu apa sih yang bisa diproduksi Indonesia untuk diekspor China terutama barang-barang industri, barang-barang teknologi Indonesia cukup mumpuni," paparnya.
Senada, Wakil ketua Komisi VI lainnya, Azam Azman Natawijana mengutarakan, Mendag bisa langsung ke China untuk melobi agar ekspor Indonesia meningkat. Sehingga komiditi Indonesia bisa terus diterima China. "Bisa saja tetapi seberapa besar lobi itu akan sukses ya perlu dicoba, harus begitu. Mereka (China) lebih besar dari kita," kata Azam
Apalagi, kata dia Indonesia punya perjanjian dengan China. Namun Indonesia dengan catatan terang dia, harus memiliki produk yang kompetitif agar China tertarik. Menurutnya, produk Indonesia masih kalah dengan milik China.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan di lain kesempatan menilai untuk meningkatkan ekspor, pemerintah harus mencari produk yang mempunyai nilai tambah. Juga harus diperhatikan produknya memang produk olahan. "Sehingga harga jual ekspor lebih tinggi dibandingkan dengam produk mentah. Bisa manufaktur," terang dia.
Di kesempatan terpisah, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti mengatakan, surplus yang terjadi memang tidak begitu besar, atau tepatnya USD196 juta pada bulan Juni. Momen ini diduga juga akibat imbas perang dagang AS dengan China. "Sebenarnya kita ada peluang lagi meningkatkan ekspor, bisa dilihat komoditas apa yang bisa dipasok ke China dan juga Amerika," ujarnya.
Komoditas ekspor ke China yang cukup besar, kata dia, adalah batu bara, Crude Palm Oil (CPO), besi dan baja. Ia pun memprediksi ekspor CPO ke China masih bisa digenjot lagi. Pemerintah, lanjutnya, bisa mendorong lagi melakukan upaya-upaya baik internal maupun eksternal meningkatkan ekspor ini.
Antara lain Menteri Perdagangan bisa melakukan lobi-lobi ke negara tujuan ekspor seperti China. "Ini PR semua (menteri terkait) lah, bisa melakukan upaya-upaya agar momen perang dagang AS China ini bisa kita manfaatkan," katanya.
Yunita menyebut, faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap neraca perdagangan yakni kondisi ekonomi dunia yang masih lemah. Meski demikian pemerintah bisa terus melakukan berbagai upaya.
Diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya menekan angka defisit perdagangan Indonesia dengan China yang sebesar USD18,41 miliar pada 2018. Adapun pada tahun tersebut, nilai perdagangan Indonesia-China mencapai USD72 miliar.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Eskpor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Marolop Nainggolan menekankan, Indonesia dapat memanfaatkan potensi pasar China yang penduduknya berjumlah 1,4 miliar orang. Untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, tentu pemerintah China tidak dapat mengatasinya sendiri.
(akr)