Kolam Susu dan Surga Pangan Bernama Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Sejak dulu Indonesia tersohor sebagai negara yang kaya sumberdaya alamnya. Sejak tahun 1973, Koes Plus, group band rock n roll legendaris asal Tuban, Jawa Timur pun mengabadikannya lewat lantunan lagu bertajuk Kolam Susu.
Lagu yang melegenda hingga sekarang, karena lirik dan nadanya indah, ringan, dan menggambarkan dengan jelas betapa kaya alam Indonesia. Dalam lagu ini, Indonesia disyiarkan memiliki sumber pangan yang luar biasa kaya, hingga diibaratkan sebagai Kolam Susu.
“Inspirasi lagu ini nyata, bukan sekedar rekaan untuk menjual rangkaian kata dengan beriring nada,” ujar Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian (Kementan), Kuntoro Boga Andri, Senin (22/7/2019).
Kuntoro mengutip Yon Koeswoyo - salah seorang personil Koes Plus yang menyingkap bahwa lagu ini terinspirasi sebuah tempat bernama Kolam Susu terletak di Desa Dualaus, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Jadi saat Yon Koeswoyo mengunjungi lokasi ketika dalam perjalanan dari Atambua ke Dili pada 1972, ia menyaksikan alam kita benar-benar kaya, elok dan unik,” ujarnya meniru Yon pada media beberapa waktu lalu.
Kuntoro mengaku heran jika di tengah sumberdaya alam yang diumpamakan sebagai tanah surga ini, kerap muncul kekhawatiran kecukupan bahan pangan.
“Bahkan untuk polemik kecukupan beras pun dengan mudah dapat dijelaskan bahwa negara kita sudah katagori swasembada,” ujarnya.
Ia memberi gambaran, bencana iklim terparah el nino pada 2015 dan la nina pada 2016 yang melanda Indonesia sekalipun, tidak mempengaruhi swasembada. Sebagai pembanding ”apple to apple” pada kondisi iklim ekstrim yang sama, penduduk Indonesia pada 1998 sebanyak 201 juta jiwa, dan pada 2015 telah berjumlah 255 juta jiwa. Kondisi iklim 2015 dan 2016 lebih parah dari kondisi 1997 dan 1998. Dengan kalkulasi impor beras di 1998 sebesar 12,1 juta ton, maka ekuivalen/harusnya pemerintah impor beras pada tahun 2016 sebesar 16,8 juta ton.
“Tetapi berkat Upaya Khusus (UPSUS) Padi Jagung dan Kedelai yang berhasil, Indonesia ternyata tidak perlu mendatangkan beras seperti di tahun 1998,” jelas Kuntoro.
Seperti diketahui tahun 2016 tidak ada rekomendasi impor beras konsumsi. Beras yang masuk awal 2016 merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1,5 juta ton pada akhir tahun 2015. Juga pada 2017 tidak ada impor beras konsumsi.
Kuntoro menambahkan, bukti lain produksi beras naik dan sangat cukup untuk masyarakat dapat dilihat dari gambaran, bahwa jumlah penduduk periode 2014-2018 bertambah 12,8 juta jiwa dan mestinya membutuhkan tambahan beras 1,7 juta ton. Kebutuhan tersebut selama ini sudah dapat dipenuhi dari petani kita, dan saat yang sama petani juga masih menyimpan beras sebagai surplus produksi.
“Bila Stok Bulog menjadi ukuran, maka stok beras di gudangnya kini ada 2,5 juta ton beras. Kondisi saat ini stok beras di gudang Bulog menumpuk dan beras impor tahun 2018 belum terpakai,” imbuhnya.
Perhitungan baru BPS yang menggunakan Kerangka Sampling Area (KSA) pun menyebutkan 2018 produksi beras 32,95 juta ton, konsumsi 29,57 juta ton, sehingga masih terjadi surplus 3,38 juta ton beras dan tidak ada masalah swasembada beras.
“Untuk prediksi data KSA BPS periode Januari-Agustus 2019, produksi beras nasional mencapai 24,56 juta ton, konsumsi nasional periode tersebut 19,83 juta ton, sehingga masih surplus 4,73 juta ton. Artinya produksi beras kita masih berlebih banyak,” terangnya pasti.
Bak tanah surga, tak hanya tumbuh beras
Polemik kecukupan beras sebagai bahan pangan memang sejatinya perlu dikaji ulang. Lantaran seumpama tanah surga, Indonesia merupakan negara tropis dengan kekayaan biodiversitas agraris. Salah satu kekayaan sumber daya alamnya berupa ragam sumber hayati penghasil karbohidrat tinggi. Dibandingkan negara lain, Indonesia mustahil kekurangan bahan pangan.
“Di segala penjuru, terdapat tanaman pangan lokal yang tumbuh subur. Masyarakat kita sangat bijaksana dan memiliki pengetahuan tinggi dalam memanfaatkan alam untuk menjaga kemandirian pangan,” kata Kuntoro.
Berbicara keragaman pangan, lanjutnya, berdasarkan catatan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementan, potensi sumber daya pangan Indonesia cukup berlimpah. Terdapat sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan. Jika bisa dikelola dengan baik, keanekaragaman pangan lokal yang kita miliki tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, tapi juga memenuhi kebutuhan dunia.
“Sayangnya, oleh sebagian kecil pengamat dan masyarakat, kemandirian pangan dilihat dari kacamata sempit, satu komoditas saja, kecukupan beras,” pungkasnya.
Orang bilang tanah kita tanah surga/ Tongkat kayu dan batu jadi tanaman/ Orang bilang tanah kita tanah surga/ Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
“Entah sudah berapa juta kali lirik lagu kondang Kolam Susu didendangkan sejak Koes Plus memopulerkannya empat puluh. Tetapi kita masih saja belum optimis akan potensi sumberdaya alam Indonesia,” tutup Kuntoro.
Lagu yang melegenda hingga sekarang, karena lirik dan nadanya indah, ringan, dan menggambarkan dengan jelas betapa kaya alam Indonesia. Dalam lagu ini, Indonesia disyiarkan memiliki sumber pangan yang luar biasa kaya, hingga diibaratkan sebagai Kolam Susu.
“Inspirasi lagu ini nyata, bukan sekedar rekaan untuk menjual rangkaian kata dengan beriring nada,” ujar Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian (Kementan), Kuntoro Boga Andri, Senin (22/7/2019).
Kuntoro mengutip Yon Koeswoyo - salah seorang personil Koes Plus yang menyingkap bahwa lagu ini terinspirasi sebuah tempat bernama Kolam Susu terletak di Desa Dualaus, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Jadi saat Yon Koeswoyo mengunjungi lokasi ketika dalam perjalanan dari Atambua ke Dili pada 1972, ia menyaksikan alam kita benar-benar kaya, elok dan unik,” ujarnya meniru Yon pada media beberapa waktu lalu.
Kuntoro mengaku heran jika di tengah sumberdaya alam yang diumpamakan sebagai tanah surga ini, kerap muncul kekhawatiran kecukupan bahan pangan.
“Bahkan untuk polemik kecukupan beras pun dengan mudah dapat dijelaskan bahwa negara kita sudah katagori swasembada,” ujarnya.
Ia memberi gambaran, bencana iklim terparah el nino pada 2015 dan la nina pada 2016 yang melanda Indonesia sekalipun, tidak mempengaruhi swasembada. Sebagai pembanding ”apple to apple” pada kondisi iklim ekstrim yang sama, penduduk Indonesia pada 1998 sebanyak 201 juta jiwa, dan pada 2015 telah berjumlah 255 juta jiwa. Kondisi iklim 2015 dan 2016 lebih parah dari kondisi 1997 dan 1998. Dengan kalkulasi impor beras di 1998 sebesar 12,1 juta ton, maka ekuivalen/harusnya pemerintah impor beras pada tahun 2016 sebesar 16,8 juta ton.
“Tetapi berkat Upaya Khusus (UPSUS) Padi Jagung dan Kedelai yang berhasil, Indonesia ternyata tidak perlu mendatangkan beras seperti di tahun 1998,” jelas Kuntoro.
Seperti diketahui tahun 2016 tidak ada rekomendasi impor beras konsumsi. Beras yang masuk awal 2016 merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1,5 juta ton pada akhir tahun 2015. Juga pada 2017 tidak ada impor beras konsumsi.
Kuntoro menambahkan, bukti lain produksi beras naik dan sangat cukup untuk masyarakat dapat dilihat dari gambaran, bahwa jumlah penduduk periode 2014-2018 bertambah 12,8 juta jiwa dan mestinya membutuhkan tambahan beras 1,7 juta ton. Kebutuhan tersebut selama ini sudah dapat dipenuhi dari petani kita, dan saat yang sama petani juga masih menyimpan beras sebagai surplus produksi.
“Bila Stok Bulog menjadi ukuran, maka stok beras di gudangnya kini ada 2,5 juta ton beras. Kondisi saat ini stok beras di gudang Bulog menumpuk dan beras impor tahun 2018 belum terpakai,” imbuhnya.
Perhitungan baru BPS yang menggunakan Kerangka Sampling Area (KSA) pun menyebutkan 2018 produksi beras 32,95 juta ton, konsumsi 29,57 juta ton, sehingga masih terjadi surplus 3,38 juta ton beras dan tidak ada masalah swasembada beras.
“Untuk prediksi data KSA BPS periode Januari-Agustus 2019, produksi beras nasional mencapai 24,56 juta ton, konsumsi nasional periode tersebut 19,83 juta ton, sehingga masih surplus 4,73 juta ton. Artinya produksi beras kita masih berlebih banyak,” terangnya pasti.
Bak tanah surga, tak hanya tumbuh beras
Polemik kecukupan beras sebagai bahan pangan memang sejatinya perlu dikaji ulang. Lantaran seumpama tanah surga, Indonesia merupakan negara tropis dengan kekayaan biodiversitas agraris. Salah satu kekayaan sumber daya alamnya berupa ragam sumber hayati penghasil karbohidrat tinggi. Dibandingkan negara lain, Indonesia mustahil kekurangan bahan pangan.
“Di segala penjuru, terdapat tanaman pangan lokal yang tumbuh subur. Masyarakat kita sangat bijaksana dan memiliki pengetahuan tinggi dalam memanfaatkan alam untuk menjaga kemandirian pangan,” kata Kuntoro.
Berbicara keragaman pangan, lanjutnya, berdasarkan catatan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementan, potensi sumber daya pangan Indonesia cukup berlimpah. Terdapat sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan. Jika bisa dikelola dengan baik, keanekaragaman pangan lokal yang kita miliki tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, tapi juga memenuhi kebutuhan dunia.
“Sayangnya, oleh sebagian kecil pengamat dan masyarakat, kemandirian pangan dilihat dari kacamata sempit, satu komoditas saja, kecukupan beras,” pungkasnya.
Orang bilang tanah kita tanah surga/ Tongkat kayu dan batu jadi tanaman/ Orang bilang tanah kita tanah surga/ Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
“Entah sudah berapa juta kali lirik lagu kondang Kolam Susu didendangkan sejak Koes Plus memopulerkannya empat puluh. Tetapi kita masih saja belum optimis akan potensi sumberdaya alam Indonesia,” tutup Kuntoro.
(akn)