Garam Masuk Komoditas Penting, Kualitas dan Penyerapan Diperbaiki
A
A
A
JAKARTA - Perbaikan kualitas garam produksi dalam negeri terus dilakukan, agar dapat meningkatkan nilai tambah sehingga menjaga fluktuasi harga di tingkat petani. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yakni dengan mengklasifikasikan garam sebagai komoditas penting.
“Jadi, kalau kita masukkan garam ke barang penting, kita bisa tentukan harga eceran terendah,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Lebih lanjut Ia menyebutkan, peningkatan kualitas produksi garam lokal bakal ditopang melalui perbaikan infrastruktur dari dan menuju lokasi tambak garam. Hal ini untuk mempercepat laju distribusi.
Contohnya, pembenahan jalan dari kawasan tambak ke jalur transportasi utama. “Aksesibilitas dari area tambak ke jalur utama mesti diperhatikan. Jadi, infrastruktur petani garam perlu diperbaiki," tuturnya.
Airlangga pun mengungkapkan, tidak ada rembesan garam impor ke pasaran. Sebab, garam yang diimpor oleh produsen adalah untuk diolah dan dijadikan bahan baku membuat produk tertentu yang bernilai tambah tinggi. “Produk jadinya itu antara lain alkali, PVC, hingga infus,” ungkapnya.
Harga garam industri juga jauh lebih mahal ketimbang garam produksi rakyat, sehingga tidak ada alasan bagi importir untuk menjual garam industri ke pasar. “Harga garam industri kan jauh lebih mahal. Jadi, importir atau perusahaan yang menggunakan garam untuk kebutuhan industri tidak ada insentifnya untuk jual ke pasar," tandasnya.
Airlangga menuturkan, pemerintah fokus untuk terus memacu kualitas garam rakyat karena industri memang membutuhkan garam berkualitas tinggi, terutama untuk industri berorientasi ekspor. Kualitas garam yang digunakan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan natrium klorida (NaCl) yang tinggi, yakni minimal 97%.
Namun, masih ada kandungan lainnya yang harus diperhatikan seperti Kalsium dan Magnesium dengan maksimal 600 ppm serta kadar air yang rendah. Standar kualitas tersebut yang dibutuhkan industri aneka pangan dan industri chlor alkali plan (soda kostik).
Sedangkan garam yang digunakan oleh industri farmasi untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah, harus mengandung NaCl 99,9 persen. “Jadi, pemerintah mengimpor garam untuk kebutuhan bahan baku industri-industri tersebut. Sedangkan untuk garam konsumsi, masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional,” jelasnya.
Hingga saat ini, garam yang mendekati kualitas tinggi sudah mulai banyak terserap oleh industri. Saat ini pemerintah mendorong peningkatan kualitas garam lokal dan penyerapan pasokan yang tersedia terlebih dahulu. “Sekarang kira-kira industri sudah menyerap garam dari masyarakat sekitar satu juta ton," ujarnya.
“Jadi, kalau kita masukkan garam ke barang penting, kita bisa tentukan harga eceran terendah,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Lebih lanjut Ia menyebutkan, peningkatan kualitas produksi garam lokal bakal ditopang melalui perbaikan infrastruktur dari dan menuju lokasi tambak garam. Hal ini untuk mempercepat laju distribusi.
Contohnya, pembenahan jalan dari kawasan tambak ke jalur transportasi utama. “Aksesibilitas dari area tambak ke jalur utama mesti diperhatikan. Jadi, infrastruktur petani garam perlu diperbaiki," tuturnya.
Airlangga pun mengungkapkan, tidak ada rembesan garam impor ke pasaran. Sebab, garam yang diimpor oleh produsen adalah untuk diolah dan dijadikan bahan baku membuat produk tertentu yang bernilai tambah tinggi. “Produk jadinya itu antara lain alkali, PVC, hingga infus,” ungkapnya.
Harga garam industri juga jauh lebih mahal ketimbang garam produksi rakyat, sehingga tidak ada alasan bagi importir untuk menjual garam industri ke pasar. “Harga garam industri kan jauh lebih mahal. Jadi, importir atau perusahaan yang menggunakan garam untuk kebutuhan industri tidak ada insentifnya untuk jual ke pasar," tandasnya.
Airlangga menuturkan, pemerintah fokus untuk terus memacu kualitas garam rakyat karena industri memang membutuhkan garam berkualitas tinggi, terutama untuk industri berorientasi ekspor. Kualitas garam yang digunakan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan natrium klorida (NaCl) yang tinggi, yakni minimal 97%.
Namun, masih ada kandungan lainnya yang harus diperhatikan seperti Kalsium dan Magnesium dengan maksimal 600 ppm serta kadar air yang rendah. Standar kualitas tersebut yang dibutuhkan industri aneka pangan dan industri chlor alkali plan (soda kostik).
Sedangkan garam yang digunakan oleh industri farmasi untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah, harus mengandung NaCl 99,9 persen. “Jadi, pemerintah mengimpor garam untuk kebutuhan bahan baku industri-industri tersebut. Sedangkan untuk garam konsumsi, masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional,” jelasnya.
Hingga saat ini, garam yang mendekati kualitas tinggi sudah mulai banyak terserap oleh industri. Saat ini pemerintah mendorong peningkatan kualitas garam lokal dan penyerapan pasokan yang tersedia terlebih dahulu. “Sekarang kira-kira industri sudah menyerap garam dari masyarakat sekitar satu juta ton," ujarnya.
(akr)