Penurunan Lifting Migas Pertamina Disoroti
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah mendesak PT Pertamina (Persero) meningkatkan produksi siap jual (lifting) minyak dan gas bumi. Pasalnya lifting sejumlah blok migas strategis yang semula dikelola asing kemudian diserahkan kepada Pertamina menjadi turun drastis.
“Tadi soal lifting ini kita kena marah (Menteri ESDM). Bunyinya itu dari 10 atau 20 KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja sama) utama kita bahas, kemudian dari 10 besar ada 6 KKKS yang liftingnya turun. Dari 6 itu ada 5 dari Pertamina,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Sutjipto usai rapim (rapat pimpinan) di Kementerian ESDM di Jakarta kemarin.
Menurut dia KKKS di bawah naungan Pertamina tersebut antara lain, Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam, Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatra (PHE OSES), Pertamina Hulu Offshore North West Java (PHE ONWJ), dan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT). Untuk itu, penurunan lifting tersebut menjadi perhatian pemerintah, apalagi penurunan terjadi pada blok-blok migas strategis yang sebelumnya dioperatori asing kemudian diserahkan kepada Pertamina. “Jangan sampai setelah diambil oleh Pertamina sebagai operator kemudian terjadi penurunan tajam,” tandas dia.
Sementara itu, Wakil Kepala SKK Migas Sukandar mengatakan, penurunan produksi paling tajam terjadi di Blok Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola oleh PHKT. Penurunan tersebut salah satunya akibat dari tidak optimalnya serapan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) di pasaran.
Tak hanya itu, lanjut dia, penurunan juga terjadi di blok yang dikelola oleh PHE ONWJ akibat insiden bocor di sumur YYA-1 di Lapangan YY Blok Offshore North West Java. Pihaknya pun meminta Pertamina serius mengatasi dampak pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak dan gelembung gas dari insiden kebocoran di sumur YYA-1. “Handling harus cepat supaya tumpahan minyak tidak kemana-mana,” tandas dia.
Blok Corridor
Di sisi lain, kondisi turunnya lifting migas di sejumlah blok yang dikelola Pertamina menjadi pertimbangan penting dalam pengelolaan Blok Corridor. Dwi mengatakan skema transisi pengelolaan Blok Corridor pasca habis kontrak pada 2023 dilihat dari kemampuan Pertamina dalam mengelola blok migas sebelumnya.
“Ini untuk kepentingan negara, untuk lihat keberlangsungan optimasi dari produksi dan lifting. Oleh karena itu, transisi harus sebaik mungkin,” kata dia.
Sebab itu, pihaknya tidak mau penurunan kinerja dalam beberapa blok terminasi yang dikelola Pertamina terulang kembali. Sebab itu, proses transisi di Blok Corridor menjadi fokus pemerintah. “Intervensi pemerintah dalam proses transisi ini penting, tak bisa lepaskan ke perusahaan operator lama dan baru punya kepentingan yang berbeda, ini salah satu kenapa pemerintah putuskan operatorship berikutnya seperti itu. Karena perhatikan keberlangsungan produksi dan lifting,” kata dia.
Terpisah, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyatakan Pertamina menyambut baik keputusan pemerintah telah menyetujui kenaikan hak partisipasi atau participating interest (PI) sebesar 30% kepada perusahaan migas nasional di Blok Corridor. Sebagaimana 11 blok migas terminasi lainnya, Pertamina juga memastikan telah siap menjadi operator Blok Corridor pada 2026, atau tiga tahun setelah kontrak berjalan di Blok Corridor.
Pertamina melalui anak usahanya Pertamina Hulu Energi Corridor, imbuhnya, telah mendapat hak PI sebesar 30% yang sebelumnya hanya 10%. Hak partisipasi tersebut akan dimulai setelah tahun 2023.
“Peningkatan hak PI bagi Pertamina merupakan hal positif. Kami percaya Pemerintah telah melakukan pertimbangan yang mendalam yang baik bagi semua pihak, dan Pertamina segera mempersiapkan berbagai strategi dan langkah untuk menjadi operator Blok Corridor pada tahun 2026 hingga kontrak selesai pada tahun 2043,” ujar Fajriyah.
Kontrak bagi hasil Blok Corridor, lanjut Fajriyah akan berlaku 20 tahun, efektif sejak 20 Desember 2023 dengan menggunakan skema gross split. Pada 3 tahun pertama, operatornya adalah Conoco Philips dan selama 17 tahun berikutnya menjadi hak Pertamina untuk mengelola Blok Corridor.Sebagai BUMN, Pertamina juga mendukung keterlibatan BUMD yang akan mendapat penawaran hak PI 10%. Blok yang terletak di Banyuasin, Sumatera Selatan ini tercatat memiliki cadangan gas nomor tiga terbesar di Indonesia dimana produksi gasnya berkontribusi hingga 17 persen dari total produksi gas nasional. “Kami optimistis mengelola Blok Corridor, ini sangat strategis karena nantinya akan terintegrasi dengan Blok Rokan yang dikelola Pertamina pada 2021 dan Kilang Dumai di Riau,” katanya. (Nanang Wijayanto)
“Tadi soal lifting ini kita kena marah (Menteri ESDM). Bunyinya itu dari 10 atau 20 KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja sama) utama kita bahas, kemudian dari 10 besar ada 6 KKKS yang liftingnya turun. Dari 6 itu ada 5 dari Pertamina,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Sutjipto usai rapim (rapat pimpinan) di Kementerian ESDM di Jakarta kemarin.
Menurut dia KKKS di bawah naungan Pertamina tersebut antara lain, Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam, Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatra (PHE OSES), Pertamina Hulu Offshore North West Java (PHE ONWJ), dan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT). Untuk itu, penurunan lifting tersebut menjadi perhatian pemerintah, apalagi penurunan terjadi pada blok-blok migas strategis yang sebelumnya dioperatori asing kemudian diserahkan kepada Pertamina. “Jangan sampai setelah diambil oleh Pertamina sebagai operator kemudian terjadi penurunan tajam,” tandas dia.
Sementara itu, Wakil Kepala SKK Migas Sukandar mengatakan, penurunan produksi paling tajam terjadi di Blok Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola oleh PHKT. Penurunan tersebut salah satunya akibat dari tidak optimalnya serapan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) di pasaran.
Tak hanya itu, lanjut dia, penurunan juga terjadi di blok yang dikelola oleh PHE ONWJ akibat insiden bocor di sumur YYA-1 di Lapangan YY Blok Offshore North West Java. Pihaknya pun meminta Pertamina serius mengatasi dampak pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak dan gelembung gas dari insiden kebocoran di sumur YYA-1. “Handling harus cepat supaya tumpahan minyak tidak kemana-mana,” tandas dia.
Blok Corridor
Di sisi lain, kondisi turunnya lifting migas di sejumlah blok yang dikelola Pertamina menjadi pertimbangan penting dalam pengelolaan Blok Corridor. Dwi mengatakan skema transisi pengelolaan Blok Corridor pasca habis kontrak pada 2023 dilihat dari kemampuan Pertamina dalam mengelola blok migas sebelumnya.
“Ini untuk kepentingan negara, untuk lihat keberlangsungan optimasi dari produksi dan lifting. Oleh karena itu, transisi harus sebaik mungkin,” kata dia.
Sebab itu, pihaknya tidak mau penurunan kinerja dalam beberapa blok terminasi yang dikelola Pertamina terulang kembali. Sebab itu, proses transisi di Blok Corridor menjadi fokus pemerintah. “Intervensi pemerintah dalam proses transisi ini penting, tak bisa lepaskan ke perusahaan operator lama dan baru punya kepentingan yang berbeda, ini salah satu kenapa pemerintah putuskan operatorship berikutnya seperti itu. Karena perhatikan keberlangsungan produksi dan lifting,” kata dia.
Terpisah, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyatakan Pertamina menyambut baik keputusan pemerintah telah menyetujui kenaikan hak partisipasi atau participating interest (PI) sebesar 30% kepada perusahaan migas nasional di Blok Corridor. Sebagaimana 11 blok migas terminasi lainnya, Pertamina juga memastikan telah siap menjadi operator Blok Corridor pada 2026, atau tiga tahun setelah kontrak berjalan di Blok Corridor.
Pertamina melalui anak usahanya Pertamina Hulu Energi Corridor, imbuhnya, telah mendapat hak PI sebesar 30% yang sebelumnya hanya 10%. Hak partisipasi tersebut akan dimulai setelah tahun 2023.
“Peningkatan hak PI bagi Pertamina merupakan hal positif. Kami percaya Pemerintah telah melakukan pertimbangan yang mendalam yang baik bagi semua pihak, dan Pertamina segera mempersiapkan berbagai strategi dan langkah untuk menjadi operator Blok Corridor pada tahun 2026 hingga kontrak selesai pada tahun 2043,” ujar Fajriyah.
Kontrak bagi hasil Blok Corridor, lanjut Fajriyah akan berlaku 20 tahun, efektif sejak 20 Desember 2023 dengan menggunakan skema gross split. Pada 3 tahun pertama, operatornya adalah Conoco Philips dan selama 17 tahun berikutnya menjadi hak Pertamina untuk mengelola Blok Corridor.Sebagai BUMN, Pertamina juga mendukung keterlibatan BUMD yang akan mendapat penawaran hak PI 10%. Blok yang terletak di Banyuasin, Sumatera Selatan ini tercatat memiliki cadangan gas nomor tiga terbesar di Indonesia dimana produksi gasnya berkontribusi hingga 17 persen dari total produksi gas nasional. “Kami optimistis mengelola Blok Corridor, ini sangat strategis karena nantinya akan terintegrasi dengan Blok Rokan yang dikelola Pertamina pada 2021 dan Kilang Dumai di Riau,” katanya. (Nanang Wijayanto)
(nfl)