Widi Prayitno, Penggerak ‘Kopi Ledug’ di Lereng Gunung Welirang
A
A
A
PASURUAN - Kopi Ledug tak hanya menggerakkan perekonomian warga di Desa Ledug, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Kopi Ledug juga merekatkan hubungan antar-anggota keluarga petani kopi di kawasan lereng Gunung Welirang itu.
Berangkat dari keprihatinan akan rendahnya harga kopi yang dibeli oleh tengkulak dari petani kopi di desanya, Widi Prayitno, petani kopi dari Desa Ledug, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, menolak diam dengan mendirikan Kelompok Tani Mitra Karya Tani (MKT).
MKT dia dirikan dengan tujuan menyejahterakan petani kopi yang selama ini tak berdaya dipermainkan tengkulak yang bisa dengan seenaknya menentukan harga kopi. Pada tahun 2009 ia mulai mempelajari dari hulu ke hilir pertanian kopi dan pemasarannya. Kini, Kelompok Tani MKT telah mandiri, hingga mengemas dan memasarkan sendiri produknya yang diberi label “Kopi Ledug”. Merek ini mengambil nama desa yang menjadi lahan tumbuhnya kopi di lereng Gunung Welirang itu.
Kopi Ledug tak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi sudah merambah sejumlah negara di Asia, seperti Korea, Jepang, dan Taiwan. Kisah sukses Widi dan para petani kopi di Desa Ledug tak terlepas dari dukungan berbagai pihak, termasuk Sampoerna Entrepreneurhip Training Center (SETC). Dari SETC, Widi mendapatkan peluang untuk belajar banyak soal peningkatan kapasitas produksi, kualitas kopi, pengemasan, hingga pemasaran produk.
Perjalanan Panjang
Kisah sukses Widi mewujudkan mimpinya menyejahterakan petani kopi di desanya dimulai dengan mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Pertanian mengenai pengendalian hama terpadu agar produk kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik.
Ia juga tak melewatkan kesempatan untuk memperdalam pengetahuan mengenal berbagai varietas kopi. Pada suatu waktu, ia bertemu seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan belajar banyak mengenai kopi luwak.
“Saya tanya banyak, apa sih bedanya kopi biasa dengan kopi luwak? Kenapa kopi luwak bisa mahal, dan sebagainya. Akhirnya saya dikasih tahu banyak, termasuk mempersiapkan mesin yang bagus supaya kopi saat digiling tidak bau logam dari mesin,” kisah Widi, saat dijumpai beberapa waktu lalu di sela SETC Expo, di Denpasar, Bali.
Saat itu, seorang pengusaha memberikannya modal sebuah mesin penggilingan kopi yang cukup baik. Kemudian, ia mencoba mengajak para petani kopi untuk budi daya kopi luwak. Awalnya, karena belum mengetahui, ia mengandangkan luwak-luwak yang akan memakan biji kopi. Ternyata, pengandangan ini tak sesuai aturan.
“Saya belajar lagi dari situ. Oh, enggak boleh dikandangin, harus dilepasliarkan. Ya, ini proses belajar saya. Ternyata, setelah saya pelajari lagi, kalau dilepas liar malah biayanya lebih rendah,” kata Widi.
Para petani kopi kemudian menanam pohon pepaya di tengah kebun kopi. Pepaya ini menjadi makanan luwak. Hasil panen di luar dugaan, bisa hingga 1 kuintal dalam sekali panen.
“Tetapi, masalah lagi. Per kilo kopi luwak harganya Rp 150 ribu. Enggak ada yang bisa jual. Ada panen 1 kuintal, enggak bisa jual,” kata Widi.
Padahal, lanjut dia, kualitas kopi yang dihasilkan para petani Desa Ledug berkualitas baik. Menurut Widi, Kopi Ledug istimewa karena paparan uap belerang dari Gunung Welirang.
“Menurut LIPI, kopi saya itu terdampak uap belerang. Gunung Welirang itu penghasil uap belerang tebesar. Kebun kena dampak uap belerang kalau malam, semua tanaman. Uap belerang ini akan memengaruhi rasa dan mengubah cita rasa kopi yang biasa jadi luar biasa,” ujar dia.
Namun, persoalan pemasaran menjadi kendala tersendiri bagi petani kopi.
Ikut festival kopi dan bergabung SETC
Widi tak patah semangat, Ia terus mencari tahu bagaimana agar Kopi Ledug yang istimewa bisa lebih baik pemasarannya. Setelah memenangkan berbagai festival kopi yang diikutinya, Widi direkomendasikan untuk bergabung dengan SETC pada 2012 dan bertahan hingga saat ini. Bahkan, Widi telah menjadi trainer bidang wirausaha kopi di SETC.
Dari sini, ia mendapatkan pelatihan dari para pelaku UKM yang sudah lebih dulu bergabung. Salah satu yang dipelajari adalah terkait pemasaran. Jaringan dan kesempatan untuk mengembangkan diri juga semakin terbuka.
“Setelah bergabung dengan SETC itu, saya mulai belajar banyak. Sebelum ikut SETC, roasting aja enggak bisa, apalagi marketing. Sama sekali saya enggak bisa. Setelah ikut PPK , diajarin disiplin. Kalau kamu perasaran seharusnya seperti ini, kemudian saya terapkan,” kata Widi.
Dari pelatihan yang diadakan PPK, ia juga belajar soal pentingnya foto yang apik untuk memasarkan produk Kopi Ledug.
Semua pengetahuan ini ia terapkan dan dibagikan kepada para petani di 5 desa yang ada di sekitar Desa Ledug. Kopi Ledug Gunung Welirang yang dipasarkan juga semakin bervariasi. Ada pilihan Luwak Arabica, Luwak Robusta, Organic Arabica, dan Organic Robusta, dengan kemasan yang lebih menarik. Jika sebelumnya hanya dibungkus plastik, kini ada yang dikemas dalam toples, maupun kemasan kantong yang lebih eksklusif. Pengemasan yang baik ini turut meningkatkan harga jual dan menarik minat pembeli.
Kopi Ledug kini sudah memasok kebutuhan kopi beberapa kafe di Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta. Bahkan, Kopi Luwak Ledug sudah mendapatkan pelanggan tetap di Korea, Jepang, dan Taiwan.
Berangkat dari keprihatinan akan rendahnya harga kopi yang dibeli oleh tengkulak dari petani kopi di desanya, Widi Prayitno, petani kopi dari Desa Ledug, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, menolak diam dengan mendirikan Kelompok Tani Mitra Karya Tani (MKT).
MKT dia dirikan dengan tujuan menyejahterakan petani kopi yang selama ini tak berdaya dipermainkan tengkulak yang bisa dengan seenaknya menentukan harga kopi. Pada tahun 2009 ia mulai mempelajari dari hulu ke hilir pertanian kopi dan pemasarannya. Kini, Kelompok Tani MKT telah mandiri, hingga mengemas dan memasarkan sendiri produknya yang diberi label “Kopi Ledug”. Merek ini mengambil nama desa yang menjadi lahan tumbuhnya kopi di lereng Gunung Welirang itu.
Kopi Ledug tak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi sudah merambah sejumlah negara di Asia, seperti Korea, Jepang, dan Taiwan. Kisah sukses Widi dan para petani kopi di Desa Ledug tak terlepas dari dukungan berbagai pihak, termasuk Sampoerna Entrepreneurhip Training Center (SETC). Dari SETC, Widi mendapatkan peluang untuk belajar banyak soal peningkatan kapasitas produksi, kualitas kopi, pengemasan, hingga pemasaran produk.
Perjalanan Panjang
Kisah sukses Widi mewujudkan mimpinya menyejahterakan petani kopi di desanya dimulai dengan mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Pertanian mengenai pengendalian hama terpadu agar produk kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik.
Ia juga tak melewatkan kesempatan untuk memperdalam pengetahuan mengenal berbagai varietas kopi. Pada suatu waktu, ia bertemu seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan belajar banyak mengenai kopi luwak.
“Saya tanya banyak, apa sih bedanya kopi biasa dengan kopi luwak? Kenapa kopi luwak bisa mahal, dan sebagainya. Akhirnya saya dikasih tahu banyak, termasuk mempersiapkan mesin yang bagus supaya kopi saat digiling tidak bau logam dari mesin,” kisah Widi, saat dijumpai beberapa waktu lalu di sela SETC Expo, di Denpasar, Bali.
Saat itu, seorang pengusaha memberikannya modal sebuah mesin penggilingan kopi yang cukup baik. Kemudian, ia mencoba mengajak para petani kopi untuk budi daya kopi luwak. Awalnya, karena belum mengetahui, ia mengandangkan luwak-luwak yang akan memakan biji kopi. Ternyata, pengandangan ini tak sesuai aturan.
“Saya belajar lagi dari situ. Oh, enggak boleh dikandangin, harus dilepasliarkan. Ya, ini proses belajar saya. Ternyata, setelah saya pelajari lagi, kalau dilepas liar malah biayanya lebih rendah,” kata Widi.
Para petani kopi kemudian menanam pohon pepaya di tengah kebun kopi. Pepaya ini menjadi makanan luwak. Hasil panen di luar dugaan, bisa hingga 1 kuintal dalam sekali panen.
“Tetapi, masalah lagi. Per kilo kopi luwak harganya Rp 150 ribu. Enggak ada yang bisa jual. Ada panen 1 kuintal, enggak bisa jual,” kata Widi.
Padahal, lanjut dia, kualitas kopi yang dihasilkan para petani Desa Ledug berkualitas baik. Menurut Widi, Kopi Ledug istimewa karena paparan uap belerang dari Gunung Welirang.
“Menurut LIPI, kopi saya itu terdampak uap belerang. Gunung Welirang itu penghasil uap belerang tebesar. Kebun kena dampak uap belerang kalau malam, semua tanaman. Uap belerang ini akan memengaruhi rasa dan mengubah cita rasa kopi yang biasa jadi luar biasa,” ujar dia.
Namun, persoalan pemasaran menjadi kendala tersendiri bagi petani kopi.
Ikut festival kopi dan bergabung SETC
Widi tak patah semangat, Ia terus mencari tahu bagaimana agar Kopi Ledug yang istimewa bisa lebih baik pemasarannya. Setelah memenangkan berbagai festival kopi yang diikutinya, Widi direkomendasikan untuk bergabung dengan SETC pada 2012 dan bertahan hingga saat ini. Bahkan, Widi telah menjadi trainer bidang wirausaha kopi di SETC.
Dari sini, ia mendapatkan pelatihan dari para pelaku UKM yang sudah lebih dulu bergabung. Salah satu yang dipelajari adalah terkait pemasaran. Jaringan dan kesempatan untuk mengembangkan diri juga semakin terbuka.
“Setelah bergabung dengan SETC itu, saya mulai belajar banyak. Sebelum ikut SETC, roasting aja enggak bisa, apalagi marketing. Sama sekali saya enggak bisa. Setelah ikut PPK , diajarin disiplin. Kalau kamu perasaran seharusnya seperti ini, kemudian saya terapkan,” kata Widi.
Dari pelatihan yang diadakan PPK, ia juga belajar soal pentingnya foto yang apik untuk memasarkan produk Kopi Ledug.
Semua pengetahuan ini ia terapkan dan dibagikan kepada para petani di 5 desa yang ada di sekitar Desa Ledug. Kopi Ledug Gunung Welirang yang dipasarkan juga semakin bervariasi. Ada pilihan Luwak Arabica, Luwak Robusta, Organic Arabica, dan Organic Robusta, dengan kemasan yang lebih menarik. Jika sebelumnya hanya dibungkus plastik, kini ada yang dikemas dalam toples, maupun kemasan kantong yang lebih eksklusif. Pengemasan yang baik ini turut meningkatkan harga jual dan menarik minat pembeli.
Kopi Ledug kini sudah memasok kebutuhan kopi beberapa kafe di Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta. Bahkan, Kopi Luwak Ledug sudah mendapatkan pelanggan tetap di Korea, Jepang, dan Taiwan.
(atk)