Industri Daur Ulang Berkontribusi Tekan Impor Bahan Baku Plastik
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung pertumbuhan industri daur ulang plastik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi sejumlah sektor manufaktur di Indonesia.
Langkah ini sekaligus guna mencari solusi dalam waktu singkat agar bisa mengurangi impor bahan baku plastik.
“Pengembangan industri daur ulang plastik di dalam negeri terus dikebut oleh pemerintah karena sebagai upaya strategis untuk substitusi bahan baku impor karena kebutuhan bahan baku plastik masih sangat tinggi,” kata Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Taufiek Bawazier di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Selanjutnya, sektor industri daur ulang juga dinilai akan mampu menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional, karena selain meningkatkan nilai tambah, juga bisa sebagai penghasil devisa.
“Saat ini, produk daur ulang plastik punya nilai ekonomi yang tinggi. Misalnya, menjadi bahan bangunan seperti pintu dan talang air, serta produk alat rumah tangga seperti ember dan gayung. Bahkan, telah menjadi bahan baku untuk memproduksi pakaian,” sebutnya.
Taufiek menyebutkan, saat ini ada 50 industri daur ulang di Indonesia yang telah berinvestasi sebesar Rp2,63 triliun dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 20.000 orang.
Sementara itu, potensi ekspor dari produk hasil daur ulang akan menembus USD441,3 juta di tahun 2019 atau naik dari capaian tahun lalu sebesar USD370 juta.
"Jadi, sektor ini kami terus dorong karena punya orientasi ekspor,” ungkapnya.
Peluang pengembangan industri daur ulang plastik di Indonesia dinilai masih cukup besar, mengingat daur ulang sampah rumah tangga masih berada di level 15,22%.
“Artinya masih ada jenis plastik yang belum dilakukan daur ulang. Pemerintah menargetkan limbah plastik yang didaur ulang pada tahun 2019 ini bisa menyentuh hingga angka 25%,” tuturnya.
Menurut Taufiek, investasi industri daur ulang juga dirasa lebih murah jika dibandingkan dengan membangun industri petrokimia di Indonesia. Bahkan, dalam membangun industri pertrokimia, bisa memakan waktu yang cukup lama, minimal sampai tiga tahun untuk pabrik tersebut beroperasi.
“Kebutuhan baku industri daur ulang plastik sebanyak 913.000 ton dipenuhi dari dalam negeri dan 320.000 ton dari negara lain,” ujarnya.
Sementara itu, secara kebutuhan nasional, Indonesia memerlukan bahan baku plastik untuk produksi sebanyak 7,2 juta ton per tahun.
“Sebanyak 2,3 juta ton bahan baku berupa virgin plastic lokal disuplai oleh industri petrokimia di dalam negeri seperti PT. Lotte Chemical dan PT. Chandra Asri Petrochemical,” imbuhnya.
Maka itu, industri plastik di Indonesia berperan penting karena menjadi rantai pasok produksi bagi sektor strategis lainnya. Contohnya bagi industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, serta elektronika.
Taufiek menambahkan, salah satu tantangan para pelaku industri daur ulang di dalam negeri adalah pasokan bahan baku. Hal ini karena plastik yang ada berupa sampah yang sulit untuk dipisahkan menjadi bahan baku industri.
“Kriteria yang dilihat oleh industriawan, yaitu layak recycle atau tidak layak recycle. Garis besarnya yang diukur bahwa bahan baku tersebut bisa menjadi nilai tambah lebih tinggi lagi,” jelasnya.
Selain itu, pasokan bahan baku plastik daur ulang dari luar negeri juga mengalami hambatan, karena ada regulasi yang mewajibkan bahan baku skrap plastik yang diimpor dengan kriteria 100% homogen atau tidak ada campuran atau bahan pengotor lainnya.
“Ketentuan tersebut dirasa sulit untuk dipenuhi oleh pelaku industri daur ulang,” tandasnya.
Dalam upaya mengatasinya, Kemenperin menawarkan solusi, yakni sisa produksi yang berasal dari bahan pengotor bahan baku dapat diolah dengan menggunakan mesin insenerator sehingga menghasilkan buangan yang lebih ramah lingkungan.
Di samping itu, Kemenperin memberikan apresiasi terhadap inisiasi penandatanganan kontrak kerja sama antara Asosiasi Ekspor Impor Plastik Industri Indonesia (Aexipindo) dengan Komite Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (KPLHI).
“Kami menyambut baik inisiatif Aexipindo atas upaya konkret dalam menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan dengan membangun mekanisme pengolahan sisa produksi melalui fasilitas insenerator dan pengawasan yang komprehensif,” paparnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan, konsep circular economy atau ekonomi berkelanjutan di sektor industri selain telah menjadi tren dunia, konsep tersebut juga dinilai mampu berkontribusi besar dalam menerapkan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan yang menjadi tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs).
“Industri manufaktur berperan penting dan memberikan dampak yang luas dalam mewujudkan circular economy di Indonesia,” terangnya.
Konsep ekonomi berkelanjutan ini sejalan dengan standar industri hijau yang mampu berperan meningkatkan daya saing sektor manufaktur untuk masa depan, dengan mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.
Hal ini sesuai implementasi program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0.
Langkah ini sekaligus guna mencari solusi dalam waktu singkat agar bisa mengurangi impor bahan baku plastik.
“Pengembangan industri daur ulang plastik di dalam negeri terus dikebut oleh pemerintah karena sebagai upaya strategis untuk substitusi bahan baku impor karena kebutuhan bahan baku plastik masih sangat tinggi,” kata Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Taufiek Bawazier di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Selanjutnya, sektor industri daur ulang juga dinilai akan mampu menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional, karena selain meningkatkan nilai tambah, juga bisa sebagai penghasil devisa.
“Saat ini, produk daur ulang plastik punya nilai ekonomi yang tinggi. Misalnya, menjadi bahan bangunan seperti pintu dan talang air, serta produk alat rumah tangga seperti ember dan gayung. Bahkan, telah menjadi bahan baku untuk memproduksi pakaian,” sebutnya.
Taufiek menyebutkan, saat ini ada 50 industri daur ulang di Indonesia yang telah berinvestasi sebesar Rp2,63 triliun dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 20.000 orang.
Sementara itu, potensi ekspor dari produk hasil daur ulang akan menembus USD441,3 juta di tahun 2019 atau naik dari capaian tahun lalu sebesar USD370 juta.
"Jadi, sektor ini kami terus dorong karena punya orientasi ekspor,” ungkapnya.
Peluang pengembangan industri daur ulang plastik di Indonesia dinilai masih cukup besar, mengingat daur ulang sampah rumah tangga masih berada di level 15,22%.
“Artinya masih ada jenis plastik yang belum dilakukan daur ulang. Pemerintah menargetkan limbah plastik yang didaur ulang pada tahun 2019 ini bisa menyentuh hingga angka 25%,” tuturnya.
Menurut Taufiek, investasi industri daur ulang juga dirasa lebih murah jika dibandingkan dengan membangun industri petrokimia di Indonesia. Bahkan, dalam membangun industri pertrokimia, bisa memakan waktu yang cukup lama, minimal sampai tiga tahun untuk pabrik tersebut beroperasi.
“Kebutuhan baku industri daur ulang plastik sebanyak 913.000 ton dipenuhi dari dalam negeri dan 320.000 ton dari negara lain,” ujarnya.
Sementara itu, secara kebutuhan nasional, Indonesia memerlukan bahan baku plastik untuk produksi sebanyak 7,2 juta ton per tahun.
“Sebanyak 2,3 juta ton bahan baku berupa virgin plastic lokal disuplai oleh industri petrokimia di dalam negeri seperti PT. Lotte Chemical dan PT. Chandra Asri Petrochemical,” imbuhnya.
Maka itu, industri plastik di Indonesia berperan penting karena menjadi rantai pasok produksi bagi sektor strategis lainnya. Contohnya bagi industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, serta elektronika.
Taufiek menambahkan, salah satu tantangan para pelaku industri daur ulang di dalam negeri adalah pasokan bahan baku. Hal ini karena plastik yang ada berupa sampah yang sulit untuk dipisahkan menjadi bahan baku industri.
“Kriteria yang dilihat oleh industriawan, yaitu layak recycle atau tidak layak recycle. Garis besarnya yang diukur bahwa bahan baku tersebut bisa menjadi nilai tambah lebih tinggi lagi,” jelasnya.
Selain itu, pasokan bahan baku plastik daur ulang dari luar negeri juga mengalami hambatan, karena ada regulasi yang mewajibkan bahan baku skrap plastik yang diimpor dengan kriteria 100% homogen atau tidak ada campuran atau bahan pengotor lainnya.
“Ketentuan tersebut dirasa sulit untuk dipenuhi oleh pelaku industri daur ulang,” tandasnya.
Dalam upaya mengatasinya, Kemenperin menawarkan solusi, yakni sisa produksi yang berasal dari bahan pengotor bahan baku dapat diolah dengan menggunakan mesin insenerator sehingga menghasilkan buangan yang lebih ramah lingkungan.
Di samping itu, Kemenperin memberikan apresiasi terhadap inisiasi penandatanganan kontrak kerja sama antara Asosiasi Ekspor Impor Plastik Industri Indonesia (Aexipindo) dengan Komite Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (KPLHI).
“Kami menyambut baik inisiatif Aexipindo atas upaya konkret dalam menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan dengan membangun mekanisme pengolahan sisa produksi melalui fasilitas insenerator dan pengawasan yang komprehensif,” paparnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan, konsep circular economy atau ekonomi berkelanjutan di sektor industri selain telah menjadi tren dunia, konsep tersebut juga dinilai mampu berkontribusi besar dalam menerapkan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan yang menjadi tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs).
“Industri manufaktur berperan penting dan memberikan dampak yang luas dalam mewujudkan circular economy di Indonesia,” terangnya.
Konsep ekonomi berkelanjutan ini sejalan dengan standar industri hijau yang mampu berperan meningkatkan daya saing sektor manufaktur untuk masa depan, dengan mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.
Hal ini sesuai implementasi program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0.
(ind)