Tata Kelola Sawit, Pemerintah Perlu Harmonisasi Regulasi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah perlu menahan diri dan tidak terperangkap dengan membuat pernyataan-pernyataan kontroversi yang dapat membuat citra komoditas sawit semakin terpuruk di pasar global.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu menjelaskan regulasi yang dipergunakan sebagai dasar kebijakan untuk penyebutan sekitar 81% perkebunan sawit tidak mematuhi tata kelola sawit. Seperti diketahui, berbagai persoalan seperti kewajiban plasma 20%, kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) dan konflik lahan dipicu oleh sejumlah regulasi yang bersinggungan dan tidak sinkron antara satu kebijakan dan kebijakan lain.
“Ini bukan soal benar atau salah, tapi harus dilihat dan dipertimbangkan dasar regulasi yang dipakai agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan menjadi keterlanjuran yang sulit diperbaiki. Apalagi semua regulasi tidak berlaku surut,” kata Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Stra tegis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani di Jakarta, Sabtu (24/8).
Manggabarani mengungkapkan, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma ada sejak 2007 seiring terbitnya Permentan No 26/2007. Permentan itu mengacu kepada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma sebesar 20% dari luas konsesi.
“Jadi swasta yang mem bangun kebun sebelum 2007 tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan tersebut tidak berlaku surut. Sayangnya, ada persepsi yang keliru seolah-olah banyak PBS dan PBN tidak mentaati peraturan tersebut,” kata dia.
Persoalan lain, kata Manggabarani, kewajiban plasma 20% punya telaah dan versi yang berbeda-beda antara instansi. Ada instansi yang mengatur bahwa plasma 20% dihitung berdasarkan luasan HGU, namun ada pula yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam.
“Persoalan ini juga menjadi tidak mudah karena Kementerian Pertanian (Kementan) mensyaratkan lahan plasma harus berada di luar HGU. Padahal untuk mencari lahan di luar HGU yang clear and clean bukan persoalan yang mudah karena adanya ketimpangan penguasaan lahan.” Pengamat hukum kehutanan dan lingkungan DR Sadino mempertanyakan tolak ukur penetapan baik dan tidak baik untuk perusahaan perkebunan.
BPK seharusnya punya stan dar perkebunan yang baik sebelum menjustifikasi pernyataan yang bisa memicu kontroversi publik.
Di sisi lain, BPK perlu memahami bahwa banyak regulasi terkait sawit yang tidak harmonis. “Ini yang pertama harus dibenahi dan bukan membuat pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi. Jangankan swasta, perusahaan negara saja, bisa kacau balau jika regulasinya tidak konsisten,” kata Sadino. (Sudarsono)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu menjelaskan regulasi yang dipergunakan sebagai dasar kebijakan untuk penyebutan sekitar 81% perkebunan sawit tidak mematuhi tata kelola sawit. Seperti diketahui, berbagai persoalan seperti kewajiban plasma 20%, kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) dan konflik lahan dipicu oleh sejumlah regulasi yang bersinggungan dan tidak sinkron antara satu kebijakan dan kebijakan lain.
“Ini bukan soal benar atau salah, tapi harus dilihat dan dipertimbangkan dasar regulasi yang dipakai agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan menjadi keterlanjuran yang sulit diperbaiki. Apalagi semua regulasi tidak berlaku surut,” kata Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Stra tegis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani di Jakarta, Sabtu (24/8).
Manggabarani mengungkapkan, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma ada sejak 2007 seiring terbitnya Permentan No 26/2007. Permentan itu mengacu kepada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma sebesar 20% dari luas konsesi.
“Jadi swasta yang mem bangun kebun sebelum 2007 tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan tersebut tidak berlaku surut. Sayangnya, ada persepsi yang keliru seolah-olah banyak PBS dan PBN tidak mentaati peraturan tersebut,” kata dia.
Persoalan lain, kata Manggabarani, kewajiban plasma 20% punya telaah dan versi yang berbeda-beda antara instansi. Ada instansi yang mengatur bahwa plasma 20% dihitung berdasarkan luasan HGU, namun ada pula yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam.
“Persoalan ini juga menjadi tidak mudah karena Kementerian Pertanian (Kementan) mensyaratkan lahan plasma harus berada di luar HGU. Padahal untuk mencari lahan di luar HGU yang clear and clean bukan persoalan yang mudah karena adanya ketimpangan penguasaan lahan.” Pengamat hukum kehutanan dan lingkungan DR Sadino mempertanyakan tolak ukur penetapan baik dan tidak baik untuk perusahaan perkebunan.
BPK seharusnya punya stan dar perkebunan yang baik sebelum menjustifikasi pernyataan yang bisa memicu kontroversi publik.
Di sisi lain, BPK perlu memahami bahwa banyak regulasi terkait sawit yang tidak harmonis. “Ini yang pertama harus dibenahi dan bukan membuat pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi. Jangankan swasta, perusahaan negara saja, bisa kacau balau jika regulasinya tidak konsisten,” kata Sadino. (Sudarsono)
(nfl)