Kenaikan Iuran untuk Menjaga Keberlangsungan Program JKN
A
A
A
JAKARTA - Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100% menuai kontroversi. Sasaran pun ditujukan kepada Kementerian Keuangan. Namun, patut diketahui juga, kenaikan ini disebabkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan pemerintah, tidak disiplinya peserta, sehingga BPJS Kesehatan terus menerus defisit.
Mengapa hal ini terjadi? Kementerian Keuangan menerangkan bahwa sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iuran BPJS Kesehatan mereka telah dibayarkan pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disebut sebagai PBI.
Sementara itu, 37,3 juta jiwa lainnya, iuran BPJS-nya dibayarkan oleh pemerintah daerah (APBD), melalui kepesertaan penduduk yang didaftarkan oleh Pemda sebagai PBI daerah.
"Dengan demikian, ada sekitar 134 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh APBN dan APBD," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Sementara itu, total pemanfaatan layanan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 233,9 juta layanan.Layanan tersebut, terdiri dari 147,4 juta layanan pada Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), 76,8 juta layanan rawat jalan RS, dan 9,7 juta layanan rawat inap RS.
"Secara rata-rata, jumlah layanan kesehatan melalui JKN mencapai 640.822 layanan setiap hari," katanya.
Sementara untuk pekerja penerima upah, baik ASN Pusat/Daerah, TNI, POLRI maupun pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Namun, sejak tahun 2014, setiap tahun program JKN selalu mengalami defisit. Sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah, baik dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Untuk mengatasi defisit JKN itu, pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk PMN sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
Tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp32 triliun di tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021.
"Dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, maka kenaikan iuran itu memang diperlukan. Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya," pungkasnya.
Mengapa hal ini terjadi? Kementerian Keuangan menerangkan bahwa sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iuran BPJS Kesehatan mereka telah dibayarkan pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disebut sebagai PBI.
Sementara itu, 37,3 juta jiwa lainnya, iuran BPJS-nya dibayarkan oleh pemerintah daerah (APBD), melalui kepesertaan penduduk yang didaftarkan oleh Pemda sebagai PBI daerah.
"Dengan demikian, ada sekitar 134 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh APBN dan APBD," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Sementara itu, total pemanfaatan layanan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 233,9 juta layanan.Layanan tersebut, terdiri dari 147,4 juta layanan pada Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), 76,8 juta layanan rawat jalan RS, dan 9,7 juta layanan rawat inap RS.
"Secara rata-rata, jumlah layanan kesehatan melalui JKN mencapai 640.822 layanan setiap hari," katanya.
Sementara untuk pekerja penerima upah, baik ASN Pusat/Daerah, TNI, POLRI maupun pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Namun, sejak tahun 2014, setiap tahun program JKN selalu mengalami defisit. Sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah, baik dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Untuk mengatasi defisit JKN itu, pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk PMN sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
Tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp32 triliun di tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021.
"Dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, maka kenaikan iuran itu memang diperlukan. Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya," pungkasnya.
(ven)