Rajut Harmonisasi Industri Tekstil Nasional
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama para stakeholder sedang berupaya melakukan harmonisasi tarif di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), mulai dari sektor hulu sampai hilir sehingga untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan strategis guna meningkatkan kinerja, menarik investasi, memacu ekspor dan substitusi impor, serta memperkuat struktur industri tekstil.
“Misalnya, safeguard akan kami dorong karena itu termasuk harmonisasi. Sebab, sekarang impor dari tekstil itu cukup tinggi khususnya di sektor tengah atau antara. Hal ini terus kami koordinasikan dengan kementerian lain, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Menurut Menperin, safeguard menjadi salah satu langkah yang dibutuhkan di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. Pasalnya, akibat ketidakjelasan dari arah perang dagang tersebut, produk China banyak yang menyasar ke pasar lain terutama Indonesia.
“Dengan adanya trade war ini, China cari pasar. Nah, yang paling besar, dekat dan menjanjikan itu kan di Indonesia. Jadi perlu harmonisasi tarif dari hulu sampai ke hilir,” tegasnya.
Airlangga menambahkan, meski kondisi saat ini ekspor tekstil nasional mengalami peningkatan ke sejumlah negara, namun tantangannya adalah pada ketersediaan bahan baku tekstil yang kini masih didatangkan dari negara lain. “Jadi, kendalanya ada di sektor tengah, seperti industri kain, benang, danprinting. Tiga industri itu yang coba kami revitalisasi,” sebutnya.
Lebih lanjut, selain dukungan perlindungan dari pemerintah, industri TPT nasional juga perlu segera dilakukan restrukturisasi permesinannya. Upaya ini untuk meningkatkan produktivitasnya secara lebih efisien, yang sejalan dengan implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0. “Jadi, perlu memanfaatkan teknologi terkini,” ujarnya.
Apalagi, industri TPT merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang diprioritaskan pengembangannya agar siap menghadapi penerapan industri 4.0 di Indonesia. Kemenperin mencatat, kinerja ekspor industri TPT nasional dalam tiga tahun terakhir terus menanjak.
Pada tahun 2016 berada di angka USD11,87 miliar, kemudian di tahun 2017 menyentuh USD12,59 miliar dengan surplus USD5 miliar. Tren positif ini berlanjut sampai tahun 2018 dengan nilai ekspor sebesar USD13,27 miliar. Pada tahun 2019, Kemenperin menargetkan ekspornya mencapai USD15 miliar.
Sementara itu, nilai impor industri TPT sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai USD4,07 miliar atau turun dibanding periode yang sama tahun 2018 sekitar USD4,16 miliar. Sedangkan, pada semester I-2019, nilai ekspor dari industri TPT nasional telah menembus USD6,45 miliar atau lebih tinggi dibanding impornya.
“Misalnya, safeguard akan kami dorong karena itu termasuk harmonisasi. Sebab, sekarang impor dari tekstil itu cukup tinggi khususnya di sektor tengah atau antara. Hal ini terus kami koordinasikan dengan kementerian lain, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Menurut Menperin, safeguard menjadi salah satu langkah yang dibutuhkan di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. Pasalnya, akibat ketidakjelasan dari arah perang dagang tersebut, produk China banyak yang menyasar ke pasar lain terutama Indonesia.
“Dengan adanya trade war ini, China cari pasar. Nah, yang paling besar, dekat dan menjanjikan itu kan di Indonesia. Jadi perlu harmonisasi tarif dari hulu sampai ke hilir,” tegasnya.
Airlangga menambahkan, meski kondisi saat ini ekspor tekstil nasional mengalami peningkatan ke sejumlah negara, namun tantangannya adalah pada ketersediaan bahan baku tekstil yang kini masih didatangkan dari negara lain. “Jadi, kendalanya ada di sektor tengah, seperti industri kain, benang, danprinting. Tiga industri itu yang coba kami revitalisasi,” sebutnya.
Lebih lanjut, selain dukungan perlindungan dari pemerintah, industri TPT nasional juga perlu segera dilakukan restrukturisasi permesinannya. Upaya ini untuk meningkatkan produktivitasnya secara lebih efisien, yang sejalan dengan implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0. “Jadi, perlu memanfaatkan teknologi terkini,” ujarnya.
Apalagi, industri TPT merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang diprioritaskan pengembangannya agar siap menghadapi penerapan industri 4.0 di Indonesia. Kemenperin mencatat, kinerja ekspor industri TPT nasional dalam tiga tahun terakhir terus menanjak.
Pada tahun 2016 berada di angka USD11,87 miliar, kemudian di tahun 2017 menyentuh USD12,59 miliar dengan surplus USD5 miliar. Tren positif ini berlanjut sampai tahun 2018 dengan nilai ekspor sebesar USD13,27 miliar. Pada tahun 2019, Kemenperin menargetkan ekspornya mencapai USD15 miliar.
Sementara itu, nilai impor industri TPT sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai USD4,07 miliar atau turun dibanding periode yang sama tahun 2018 sekitar USD4,16 miliar. Sedangkan, pada semester I-2019, nilai ekspor dari industri TPT nasional telah menembus USD6,45 miliar atau lebih tinggi dibanding impornya.
(akr)