Rokhmin Dahuri Ungkap Sektor Perikanan Berkelanjutan Saat Forum Jalur Sutera
A
A
A
QINGDAO - Konsep pembangunan berkelanjutan sektor perikanan budidaya dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dan ancaman perubahan iklim global, dipresentasikan oleh Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Prof Rokhmin Dahuri di hadapan Negara-negara Jalur Sutera. Secara rinci hal itu diungkapkan saat dirinya menjadi keynote speak di International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries atau Forum Internasional di Qingdao, China.
“Kemajuan ilmu dan teknologi yang terejawantahkan dalam revolusi industri 4.0 telah membuat ekonomi dunia semakin produktif dan efisien. Namun pada sisi lain menimbulkan permasalahan sosial-ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya yang sangat kompleks dan serius,” jelas Rokhmin Dahuri dalam acara yang diinisiasi oleh Yellow Sea Fisheries Research Institute of CAFS (YSFRI) dan berlangsung selama dua hari hingga Jumat (27/9) besok.
Di bidang ekonomi, lanjut dosen kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu sampai sekarang masih sekitar satu miliar warga dunia hidup dalam kemiskinan absolut (ekstrem poverty) dengan pengeluaran kurang dari USD 1,25 per hari. Kemudian masih terdapat hampir tiga miliar orang hidup miskin dengan pengeluaran kurang dari USD2 per hari.
“Sementara di bidang lingkungan, pencemaran, pengikisan biodiversity dan kepunahan spesies, perusakan fisik ekosistem alam, dan pemanasan global telah mencapai tingkat yang mengancam kelestarian bumi dan kehidupan manusia,” ungkapnya.
Atas dasar problematika tersebut, menurut Rokhmin pembangunan harus berorintasi pada dua hal penting yaitu pertama agenda untuk meningkatkan daya dukung (carrying capacity) lingkungan bumi dalam menghasilkan sumber pangan, bahan untuk pakaian, bahan farmasi, bahan untuk perumahan dan bangunan lain, bahan tambang dan mineral. Ditambah serta jasa lingkungan lainnya yang dibutuhkan oleh manusia dan pada sisi lain bagaimana kita meningkatkan ekosistem bumi dalam menetralisir limbah.
Kedua, agenda untuk mengatur supaya konsumsi (penggunaan) manusia terhadap pangan, bahan pakaian, farmasi, bahan bangunan, bahan tambang dan mineral, dan barang lainnya tidak berlebihan, secukupnya saja. Selain itu, kegiatan pembangunan, industri, dan aktivitas manusia lainnya juga tidak boleh membuang limbah, emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya melebihi kapasitas asimilasi (menetralisir) eksosistem alam.
Sementara laju eksploitasi hutan, sumber daya ikan, dan sumber daya alam hayati lainnya tidak boleh melampaui kapasitas pulihnya. “Pada prakteknya, teknologi era Industri 4.0 seperti bioteknologi, nanoteknologi, artificial intelligence, Internet of things, big data, cloud computing, dan robotics di banyak negara telah berhasil meningkatkan daya dukung lingkungan,” tandasnya.
Sebagai informasi, International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries sendiri dihadiri oleh sekitar 500 orang yang terdiri dari unsur ilmuan (scientists), akademisi, peneliti, pelaku industri, perbankan, dan pelajar dari 15 negara di lima benua.
Selain Prof. Rokhmin Dahuri yang mewakili Indonesia, narasumber lain yang hadir dalam forum tersebut antara lain : Dr. Mathias Halwart (FAO), Dr. Huang Jie (Director General of NACA), Dr. Gu Weibing (Director General of Fisheries and Aquaculture, Ministry if Agriculture and Rural Affairs, China), Dr. Algarah Esam (UNIDO), Dr. Marc C. Verdegem (Wageningen University, Holland), Dr. Qin Jianguang (Flinders University, Australia), Dr. Najiah Musa (University Malaysia Terengganu), dan Dr. Henry Q. Canlas (Beureau of Fisheries and Aquatic Resources, Philippines).
Salah satu agenda penting International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries adalah Pembentukan Konsorsium Internasional tentang Sains Teknologi Budidaya dan Pengembangan Industri. Konsorsium yang akan dibentuk nanti bertujuan untuk memastikan keamanan pangan global dan pasokan produk-produk air termasuk mempromosikan ketersediaan protein hewani yang berkualitas dan meningkatkan gizi masyarakat, dan untuk meningkatkan teknologi dan manajemen akuakultur dan mendorong kolaborasi pelengkap di antara negara-negara peserta konsorsium.
Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) sendiri lanjut ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan tersebut adalah salah satu anggota pendiri Konsorsium. Selain Indonesia, forum internasional itu juga dihadiri negara-negara anggota konsorsium meliputi Tiongkok, Australia, Belanda, Filipina, Mesir, Thailand, Bangladesh, Malaysia, Brunei Darussalam, Myanmar, dan Tunisia.
“Kemajuan ilmu dan teknologi yang terejawantahkan dalam revolusi industri 4.0 telah membuat ekonomi dunia semakin produktif dan efisien. Namun pada sisi lain menimbulkan permasalahan sosial-ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya yang sangat kompleks dan serius,” jelas Rokhmin Dahuri dalam acara yang diinisiasi oleh Yellow Sea Fisheries Research Institute of CAFS (YSFRI) dan berlangsung selama dua hari hingga Jumat (27/9) besok.
Di bidang ekonomi, lanjut dosen kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu sampai sekarang masih sekitar satu miliar warga dunia hidup dalam kemiskinan absolut (ekstrem poverty) dengan pengeluaran kurang dari USD 1,25 per hari. Kemudian masih terdapat hampir tiga miliar orang hidup miskin dengan pengeluaran kurang dari USD2 per hari.
“Sementara di bidang lingkungan, pencemaran, pengikisan biodiversity dan kepunahan spesies, perusakan fisik ekosistem alam, dan pemanasan global telah mencapai tingkat yang mengancam kelestarian bumi dan kehidupan manusia,” ungkapnya.
Atas dasar problematika tersebut, menurut Rokhmin pembangunan harus berorintasi pada dua hal penting yaitu pertama agenda untuk meningkatkan daya dukung (carrying capacity) lingkungan bumi dalam menghasilkan sumber pangan, bahan untuk pakaian, bahan farmasi, bahan untuk perumahan dan bangunan lain, bahan tambang dan mineral. Ditambah serta jasa lingkungan lainnya yang dibutuhkan oleh manusia dan pada sisi lain bagaimana kita meningkatkan ekosistem bumi dalam menetralisir limbah.
Kedua, agenda untuk mengatur supaya konsumsi (penggunaan) manusia terhadap pangan, bahan pakaian, farmasi, bahan bangunan, bahan tambang dan mineral, dan barang lainnya tidak berlebihan, secukupnya saja. Selain itu, kegiatan pembangunan, industri, dan aktivitas manusia lainnya juga tidak boleh membuang limbah, emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya melebihi kapasitas asimilasi (menetralisir) eksosistem alam.
Sementara laju eksploitasi hutan, sumber daya ikan, dan sumber daya alam hayati lainnya tidak boleh melampaui kapasitas pulihnya. “Pada prakteknya, teknologi era Industri 4.0 seperti bioteknologi, nanoteknologi, artificial intelligence, Internet of things, big data, cloud computing, dan robotics di banyak negara telah berhasil meningkatkan daya dukung lingkungan,” tandasnya.
Sebagai informasi, International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries sendiri dihadiri oleh sekitar 500 orang yang terdiri dari unsur ilmuan (scientists), akademisi, peneliti, pelaku industri, perbankan, dan pelajar dari 15 negara di lima benua.
Selain Prof. Rokhmin Dahuri yang mewakili Indonesia, narasumber lain yang hadir dalam forum tersebut antara lain : Dr. Mathias Halwart (FAO), Dr. Huang Jie (Director General of NACA), Dr. Gu Weibing (Director General of Fisheries and Aquaculture, Ministry if Agriculture and Rural Affairs, China), Dr. Algarah Esam (UNIDO), Dr. Marc C. Verdegem (Wageningen University, Holland), Dr. Qin Jianguang (Flinders University, Australia), Dr. Najiah Musa (University Malaysia Terengganu), dan Dr. Henry Q. Canlas (Beureau of Fisheries and Aquatic Resources, Philippines).
Salah satu agenda penting International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries adalah Pembentukan Konsorsium Internasional tentang Sains Teknologi Budidaya dan Pengembangan Industri. Konsorsium yang akan dibentuk nanti bertujuan untuk memastikan keamanan pangan global dan pasokan produk-produk air termasuk mempromosikan ketersediaan protein hewani yang berkualitas dan meningkatkan gizi masyarakat, dan untuk meningkatkan teknologi dan manajemen akuakultur dan mendorong kolaborasi pelengkap di antara negara-negara peserta konsorsium.
Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) sendiri lanjut ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan tersebut adalah salah satu anggota pendiri Konsorsium. Selain Indonesia, forum internasional itu juga dihadiri negara-negara anggota konsorsium meliputi Tiongkok, Australia, Belanda, Filipina, Mesir, Thailand, Bangladesh, Malaysia, Brunei Darussalam, Myanmar, dan Tunisia.
(akr)