IBC: Gabungan Batasan Produksi Bisa Optimalkan Pendapatan Negara
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Budget Center (IBC) menilai perubahan kebijakan cukai PMK 146 Tahun 2017 merupakan awal dari persoalan yang terjadi di Industri Hasil Tembakau (IHT) saat ini. Di dalam aturan tersebut, tertuang aturan terkait penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menjadi 3 miliar batang per tahun.
Sayangnya, aturan tersebut ditunda pelaksanaannya, menyusul terbitnya PMK 156/2018. "Akibatnya, ada potensi bagi negara untuk kehilangan penerimaan," ujar Roy Salam Koordinator IBC di Jakarta Senin (30/9/2019).
Padahal menurut Roy, jika pemerintah tetap menjalankan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menjadi 3 miliar batang per tahun PMK 146, maka penerimaan negara dapat dioptimalkan.
Pegiat anti korupsi Emerson Juntho melihat terdapat masalah mendasar soal penyimpangan atau korupsi yang menyebabkan kerugian negara atau potensi kehilangan penerimaan negara.
"Ada 3 identifikasi praktik-praktik dimana ini punya potensi korupsi atau hilangnya penerimaan negara. Selain soal rokok illegal dan penyalahgunaan intensif fiskal, kita melihat ada potensi penyimpangan dari pembayaran cukai rokok dari tarif terendah," jelas Emerson.
Emerson melihat ada masalah yang cukup mendasar, yakni celah perusahaan besar asing SPM dan SKM untuk memproduksi kurang dari 3 miliar batang per tahun. Walaupun legal, ia khawatir ini adalah upaya pensiasatan-pensiasatan pabrik rokok untuk menghindari membayar tarif cukai tertinggi.
"Paling tidak ada 2 rekomendasi pertama yakni ada perbaikan kebijakan rokok, dibuat terbuka ke publik. Misalnya, pemerintah mendefiniskan ulang mana perusahaan kecil dan besar, ini menjadi penting. Kedua, mendorong keterlibatan KPK terkait upaya pencegahan dan optimalisasi penerimaan negara dari cukai rokok," tegas Emerson.
Di sisi lain Oce Madril Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada mengatakan, yang terjadi saat ini adalah adanya problem perencanaan yan tidak baik yang boleh jadi disebabkan karena kebijakan yang tidak berbasiskan praktik empiris.
"Saya lihat di kebijakan Kemenkeu, PMK saat ini memunculkan potensi korupsi kebijakan. Jadi karena perencanaan kebijakannya tidak direncanakan dengan baik, maka kita bisa melihat ada persoalan-persoalan turunan yang akan disebabkan oleh kebijakan itu," kata Oce.
Oce berharap, agar ke depan harus ada review yang melibatkan KPK. "Saya mengusulkan KPK untuk mengaktifkan pasal 14 UU KPK. Mengaktifkan pasal 14 itu berarti KPK harus me-review terhadap kebijakan cukai. Berdasarkan review itu, KPK akan terbitkan rekomendasi revisi kebijakan kepada Menteri berkaitan dengan perbaikan kebijakan yang harus dilakukan untuk celah turunnya penerimaan negara," pungkas Oce.
Sayangnya, aturan tersebut ditunda pelaksanaannya, menyusul terbitnya PMK 156/2018. "Akibatnya, ada potensi bagi negara untuk kehilangan penerimaan," ujar Roy Salam Koordinator IBC di Jakarta Senin (30/9/2019).
Padahal menurut Roy, jika pemerintah tetap menjalankan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menjadi 3 miliar batang per tahun PMK 146, maka penerimaan negara dapat dioptimalkan.
Pegiat anti korupsi Emerson Juntho melihat terdapat masalah mendasar soal penyimpangan atau korupsi yang menyebabkan kerugian negara atau potensi kehilangan penerimaan negara.
"Ada 3 identifikasi praktik-praktik dimana ini punya potensi korupsi atau hilangnya penerimaan negara. Selain soal rokok illegal dan penyalahgunaan intensif fiskal, kita melihat ada potensi penyimpangan dari pembayaran cukai rokok dari tarif terendah," jelas Emerson.
Emerson melihat ada masalah yang cukup mendasar, yakni celah perusahaan besar asing SPM dan SKM untuk memproduksi kurang dari 3 miliar batang per tahun. Walaupun legal, ia khawatir ini adalah upaya pensiasatan-pensiasatan pabrik rokok untuk menghindari membayar tarif cukai tertinggi.
"Paling tidak ada 2 rekomendasi pertama yakni ada perbaikan kebijakan rokok, dibuat terbuka ke publik. Misalnya, pemerintah mendefiniskan ulang mana perusahaan kecil dan besar, ini menjadi penting. Kedua, mendorong keterlibatan KPK terkait upaya pencegahan dan optimalisasi penerimaan negara dari cukai rokok," tegas Emerson.
Di sisi lain Oce Madril Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada mengatakan, yang terjadi saat ini adalah adanya problem perencanaan yan tidak baik yang boleh jadi disebabkan karena kebijakan yang tidak berbasiskan praktik empiris.
"Saya lihat di kebijakan Kemenkeu, PMK saat ini memunculkan potensi korupsi kebijakan. Jadi karena perencanaan kebijakannya tidak direncanakan dengan baik, maka kita bisa melihat ada persoalan-persoalan turunan yang akan disebabkan oleh kebijakan itu," kata Oce.
Oce berharap, agar ke depan harus ada review yang melibatkan KPK. "Saya mengusulkan KPK untuk mengaktifkan pasal 14 UU KPK. Mengaktifkan pasal 14 itu berarti KPK harus me-review terhadap kebijakan cukai. Berdasarkan review itu, KPK akan terbitkan rekomendasi revisi kebijakan kepada Menteri berkaitan dengan perbaikan kebijakan yang harus dilakukan untuk celah turunnya penerimaan negara," pungkas Oce.
(fjo)