Hilangkan Ketergantungan SDA, Bappenas Dorong Daerah Bertransformasi

Rabu, 23 Oktober 2019 - 03:11 WIB
Hilangkan Ketergantungan SDA, Bappenas Dorong Daerah Bertransformasi
Hilangkan Ketergantungan SDA, Bappenas Dorong Daerah Bertransformasi
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia saat ini sedang bersiap melakukan transformasi ekonomi dari ketergantungan pada Sumber Daya Alam (SDA) menjadi daya saing manufaktur dan jasa yang bernilai tambah tinggi. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, isu disparitas ekonomi antar daerah masih menjadi tantangan Indonesia ke depan.

Beberapa daerah menurutnya masih mengandalkan minyak bumi sebagai komoditas utama. Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan dapat turut melakukan transformasi dalam mengelola sumber ekonomi potensialnya.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung mengalami fluktuasi karena selama ini hanya minyak bumi yang menjadi komoditas utama Indonesia. Riau merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia, menyumbang satu juta barel per hari. Sementara gas terbesar muncul di dua tempat. Gas Alam Cair pertama berada di Arun, Aceh. Sedangkan di Mahakam, Kalimantan Timur, ada dua, yakni gas dan minyak,“ ujar Bambang.

Nusa Tenggara Timur misalnya, saat ini pendapatan per kapitanya setara dengan Kamboja sebesar USD18,4 juta per kapita per tahun, Aceh sudah setara Vietnam sebesar USD29,5 juta per kapita per tahun, Yogyakarta setara Ukraina sebesar USD 34,7 juta per kapita per tahun. Selanjutnya Kalimantan Utara setara Tiongkok sebesar USD 120,1 juta per kapita per tahun, Kalimantan Timur sama dengan Kroasia sebesar USD 174,9 juta per kapita per tahun, serta Jakarta setara Polandia sebesar USD 248,3 juta per kapita per tahun.

Ke depan pemerintah akan lebih fokus untuk mengembangkan Industri 4.0, sektor pariwisata, ekonomi kreatif, dan ekonomi digital. Industrialisasi di luar Pulau Jawa juga akan didorong berbasis investasi. Hal ini disampaikan saat kuliah umum di hadapan peserta Pendidikan dan Pelatihan Ekonomi yang digelar Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Menurut Bambang, ekonomi regional perlu dikembangkan karena sangat berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Terdapat dua versi ekonomi regional. Pertama, ekonomi regional yang merupakan bagian dari ekonomi nasional atau disebut sub nasional. Kedua, ekonomi regional sebagai negara, artinya merupakan sub internasional.

Indikator pada tingkat nasional disebut Produk Domestik Bruto (PDB), sementara pada tingkat daerah disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin banyak faktor produksi seperti SDA yang dimiliki daerah, maka potensi PDRB daerah tersebut semakin besar pula.

Bambang optimistis, jika SDA dikelola dengan baik menjadi bernilai tambah dan berdaya saing tinggi, maka ekonomi daerah tersebut bisa tumbuh. Bambang mencontohkan, Sulawesi bisa lebih tinggi ekonominya dalam waktu yang cukup lama dan stabil, sementara Kalimantan dan Sumatera cenderung menurun. Alasannya adalah karena Kalimantan dan Sumatera hanya mengandalkan SDA di sektor pertambangan, dan banyak dikelola perusahaan besar, bukan milik rakyat.

“Mengapa Sulawesi bagus? Perkebunan yang berkembang di sana merupakan perkebunan rakyat, bukan didominasi perusahaan besar. Hasil turunannya diolah di tempat, muncullah pabrik pengolahan di tempat. Sulawesi punya nikel terbaik di dunia, melebihi Filipina. Untuk itu, ekonomi Sulawesi Tengah dapat tumbuh 18 persen, sebab ada investasi besar di Morowali. KEK Morowali bisa dijadikan contoh, di sana investor datang sendiri, membangun infrastruktur dan fasilitas sendiri,” pungkas Bambang.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6862 seconds (0.1#10.140)