YLKI: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kontra Produktif
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi menyetujui kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas sebagai solusi atas defisit yang dialami badan tersebut. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai langkah itu akan memicu fenomena kontra produktif di masyarakat.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, jika dilihat dari sisi finansial, kenaikan iuran tersebut memang bisa menjadi solusi atas defisit yang dialami BPJS Kes. Namun, imbuh dia, dari aspek yang lebih luas, kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJS Kesehatan itu sendiri.
Tulus mengatakan, setidaknya ada dua hal yang bisa terjadi, yakni memicu gerakan turun kelas dari peserta BPJS Kesehatan, misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua. Kedua, hal itu akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46%.
"Jika kedua fenomena itu menguat, maka justru akan menggegoroti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan," ujar Tulus di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Menurut dia, seharusnya sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah dan manajemen terlebih dulu melakukan langkah-langkah seperti memperbaiki data golongan penerima bantuan iuran (PBI).
"Sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran, banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI. Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat," cetusnya.
Jika perbaikan data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. Dari sisi status sosial ekonomi, golongan mandiri kelas III menurutnya sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran.
"Selain itu, pemerintah harus mendorong agar semua perusahaan menjadi peserta BPJS Kesehatan, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan dari pada yang sudah menjadi anggota," katanya.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, jika dilihat dari sisi finansial, kenaikan iuran tersebut memang bisa menjadi solusi atas defisit yang dialami BPJS Kes. Namun, imbuh dia, dari aspek yang lebih luas, kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJS Kesehatan itu sendiri.
Tulus mengatakan, setidaknya ada dua hal yang bisa terjadi, yakni memicu gerakan turun kelas dari peserta BPJS Kesehatan, misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua. Kedua, hal itu akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46%.
"Jika kedua fenomena itu menguat, maka justru akan menggegoroti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan," ujar Tulus di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Menurut dia, seharusnya sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah dan manajemen terlebih dulu melakukan langkah-langkah seperti memperbaiki data golongan penerima bantuan iuran (PBI).
"Sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran, banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI. Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat," cetusnya.
Jika perbaikan data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. Dari sisi status sosial ekonomi, golongan mandiri kelas III menurutnya sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran.
"Selain itu, pemerintah harus mendorong agar semua perusahaan menjadi peserta BPJS Kesehatan, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan dari pada yang sudah menjadi anggota," katanya.
(fjo)