Harga Gas Industri Lebih Murah Dibanding Harga Gas Rumah Tangga
A
A
A
JAKARTA - Rencana kenaikan harga gas industri sebetulnya tidak perlu dibatalkan, pasalnya menurut Direktur Energy Watch Mamit Setiawan harga gas industri sudah tujuh tahun tidak naik. Ditambah terang dia harga gas industri juga masih lebih murah dibanding harga gas rumah tangga.
Hal ini menanggapi penundaan rencana kenaikan harga gas industri oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Seperti diketahui, Rabu (30/10) kemarin, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) mengirimkan surat ke Presiden yang isinya menolak rencana kenaikan harga gas industri. Surat tersebut sepertinya menjadi pertimbangan pemerintah untuk menunda rencana kenaikan.
“Sebetulnya, kenaikan harga gas industri itu wajar karena beban Badan Usaha Hilir Gas sudah berat. Toh, harga gas di hulu sudah naik juga. Ingat juga, harga gas industri masih lebih murah dibandingkan harga gas rumah tangga," ujar Mamit Setiawan kepada para wartawan di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Menurutnya beban harga gas, pembangunan infrastruktur jaringan gas dan harga gas bumi hilir, merupakan harga agregasi. Yakni dari berbagai harga pasokan gas bumi. Serta biaya infrastruktur penyaluran gas bumi dari lokasi produsen sampai ke konsumen akhir. Di mana 71% dari harga gas hilir berasal dari harga gas hulu.
Mamit menambahkan, saat ini harga gas industri di Singapura jauh lebih mahal dibanding Indonesia. Jadi, sudah selayaknya kenaikan harga gas itu. "Gas industri hanya Rp4.000/m3. Sementara harga gas rumah tangga sekitar Rp6.000/m3. Jadi, rasanya tak adil. Mestinya Kadin lebih bijak," tegasnya.
Menurut Mamit, laba Badan Usaha Hilir Gas terus tergerus karena sudah tujuh tahun tidak menaikkan harga gas industri. Apalagi, Badan Usaha Hilir Gas harus memperhitungan pembangungan infrastruktur jaringan gas yang menjangkau ke banyak daerah.
Sambung dia mengungkapkan, konsisi ini tidak mudah dan membutuhkan investasi besar. Belum termasuk biaya perawatan dan pemeliharaan fasilitas milik Badan Usaha Hilir Gas. "Untuk semua investasi itu, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan biaya investasi tersebut," tuturnya.
Hal ini menanggapi penundaan rencana kenaikan harga gas industri oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Seperti diketahui, Rabu (30/10) kemarin, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) mengirimkan surat ke Presiden yang isinya menolak rencana kenaikan harga gas industri. Surat tersebut sepertinya menjadi pertimbangan pemerintah untuk menunda rencana kenaikan.
“Sebetulnya, kenaikan harga gas industri itu wajar karena beban Badan Usaha Hilir Gas sudah berat. Toh, harga gas di hulu sudah naik juga. Ingat juga, harga gas industri masih lebih murah dibandingkan harga gas rumah tangga," ujar Mamit Setiawan kepada para wartawan di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Menurutnya beban harga gas, pembangunan infrastruktur jaringan gas dan harga gas bumi hilir, merupakan harga agregasi. Yakni dari berbagai harga pasokan gas bumi. Serta biaya infrastruktur penyaluran gas bumi dari lokasi produsen sampai ke konsumen akhir. Di mana 71% dari harga gas hilir berasal dari harga gas hulu.
Mamit menambahkan, saat ini harga gas industri di Singapura jauh lebih mahal dibanding Indonesia. Jadi, sudah selayaknya kenaikan harga gas itu. "Gas industri hanya Rp4.000/m3. Sementara harga gas rumah tangga sekitar Rp6.000/m3. Jadi, rasanya tak adil. Mestinya Kadin lebih bijak," tegasnya.
Menurut Mamit, laba Badan Usaha Hilir Gas terus tergerus karena sudah tujuh tahun tidak menaikkan harga gas industri. Apalagi, Badan Usaha Hilir Gas harus memperhitungan pembangungan infrastruktur jaringan gas yang menjangkau ke banyak daerah.
Sambung dia mengungkapkan, konsisi ini tidak mudah dan membutuhkan investasi besar. Belum termasuk biaya perawatan dan pemeliharaan fasilitas milik Badan Usaha Hilir Gas. "Untuk semua investasi itu, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan biaya investasi tersebut," tuturnya.
(akr)