Kenaikan Cukai Rokok Diminta Secara Bertahap
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat menuntut dicabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 152/ 2019 tentang kenaikan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok. Selain itu dilakukan Revisi PMK No222 / PMK.07/ 2017 tentang penggunaan, pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) .
"Kami menolak PMK No 152/ 2019. PMK tersebut berisi kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tidak manusiawi dan sangat merugikan petani dan juga buruh di industri rokok dan tembakau. Kami menuntut keadilan dari pemerintah. Kami menolak kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tinggi tersebut. Kami menuntut pemerintah menarik atau membatalkan PMK tersebut," kata Ketua APTI Jawa Barat Suryana di Jakarta, kemarin.
Lebih lanjut Suryana menyampaikan, kenaikan cukai rokok dan HJE Rokok sebagaimana tertuang dalam PMK No 152/2019 terlalu besar. Kenakan cukai dan HJE tersebut menyebabkan berkurangnya pembelian rokok yang berakibat pada menurunnya jumlah produksi rokok dan berkurangnya pembelian tembakau hasil perkebunan masyarakat petani tembakau Jawa Barat dan juga daerah daerah lainnya oleh para produsen rokok nasional.
Selain itu, tingginya harga jual rokok menyebabkan semakin banyaknya rokok illegal yang beredar di pasaran atau masyarakat. Hal ini bukan hanya merugikan masyarakat petani dan buruh industri rokok dan tembakau tapi juga merugikan pemerintah itu sendiri. Karena akan kehilangan pendapatan dari cukai karena banyaknya rokok illegal.
"Kalaupun harus naik, naiknya tidak sedrastis saat ini. Kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok saat ini hingga mencapai 23% dan 35%. Harusnya naiknya bertahap. Misalnya 10%. Periode berikutnya 7%. Sehingga menjadi 17%. Demikian seterusnya. Jangan seperti saat ini. Naiknya drastis hingga mencekik produsen dan petani tembakau. Kenaikannya lebih dari 20%," tambah Suryana.
Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang berada di atas angka kewajaran yakni 35%. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai. Menurut Suryana, harusnya kenaikan HJE itu sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok. Jika kenaikan cukai rokok sebesar 10%. Maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10%, bukan seperti saat ini di atas 20%.
"Kenaikan HJE itu seharusnya seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Selain itu bertahap. Bukan sekaligus naik. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau. Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah. Hal ini amat meresahkan dan menyengsarakan petani tembakau. Pemerintah harus menyadari dan merasakan itu," ujar Suryana.
Dia juga menyampaikan, tuntutan kedua kepada pemerintah khususnya kepada Presiden Joko Widodo dan Kementrian Keuangan adalah direvisinya PMK No 222/ PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemanfaatan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). (Heru Febrianto)
"Kami menolak PMK No 152/ 2019. PMK tersebut berisi kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tidak manusiawi dan sangat merugikan petani dan juga buruh di industri rokok dan tembakau. Kami menuntut keadilan dari pemerintah. Kami menolak kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tinggi tersebut. Kami menuntut pemerintah menarik atau membatalkan PMK tersebut," kata Ketua APTI Jawa Barat Suryana di Jakarta, kemarin.
Lebih lanjut Suryana menyampaikan, kenaikan cukai rokok dan HJE Rokok sebagaimana tertuang dalam PMK No 152/2019 terlalu besar. Kenakan cukai dan HJE tersebut menyebabkan berkurangnya pembelian rokok yang berakibat pada menurunnya jumlah produksi rokok dan berkurangnya pembelian tembakau hasil perkebunan masyarakat petani tembakau Jawa Barat dan juga daerah daerah lainnya oleh para produsen rokok nasional.
Selain itu, tingginya harga jual rokok menyebabkan semakin banyaknya rokok illegal yang beredar di pasaran atau masyarakat. Hal ini bukan hanya merugikan masyarakat petani dan buruh industri rokok dan tembakau tapi juga merugikan pemerintah itu sendiri. Karena akan kehilangan pendapatan dari cukai karena banyaknya rokok illegal.
"Kalaupun harus naik, naiknya tidak sedrastis saat ini. Kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok saat ini hingga mencapai 23% dan 35%. Harusnya naiknya bertahap. Misalnya 10%. Periode berikutnya 7%. Sehingga menjadi 17%. Demikian seterusnya. Jangan seperti saat ini. Naiknya drastis hingga mencekik produsen dan petani tembakau. Kenaikannya lebih dari 20%," tambah Suryana.
Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang berada di atas angka kewajaran yakni 35%. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai. Menurut Suryana, harusnya kenaikan HJE itu sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok. Jika kenaikan cukai rokok sebesar 10%. Maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10%, bukan seperti saat ini di atas 20%.
"Kenaikan HJE itu seharusnya seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Selain itu bertahap. Bukan sekaligus naik. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau. Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah. Hal ini amat meresahkan dan menyengsarakan petani tembakau. Pemerintah harus menyadari dan merasakan itu," ujar Suryana.
Dia juga menyampaikan, tuntutan kedua kepada pemerintah khususnya kepada Presiden Joko Widodo dan Kementrian Keuangan adalah direvisinya PMK No 222/ PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemanfaatan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). (Heru Febrianto)
(nfl)