Larangan Ekspor Nikel Dorong Pertumbuhan Industri Masa Depan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah, penambang nikel, dan pengusaha smelter akhirnya telah sepakat menghentikan ekspor nikel mulai 1 Januari 2020. Pemerintah juga sudah mengizinkan kembali beberapa perusahaan untuk ekspor hingga akhir tahun, sementara sisanya akan menjual nikelnya ke smelter dalam negeri.
Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menilai keputusan ini sebagai langkah yang tepat untuk mendorong hilirisasi komoditas nikel. Indonesia memang sedang mempercepat hilirisasi komoditas nikel agar memiliki produk hilir berupa baterai lithium untuk kendaraan listrik yang lebih bernilai berkali-kali lipat.
“Dalam jangka panjang sudah pasti akan bermanfaat bagi industri baterai. Ini akan menjadi nilai tambah bagi industri pertambangan kita,” kata Irwandy di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Produk hilir nikel memang memiliki nilai yang jauh lebih tinggi, bahkan mencapai 400-500% lebih tinggi dibandingkan dengan produk nikel hulu (bijih nikel). Saat ini, harga produk hulu hanya sekitar USD40-45 per ton, sedangkan harga produk hilir nikel mencapai USD17.000 per ton.
Indonesia sendiri menguasai 27% pasar nikel dunia sehingga jika tren global industri mobil listrik maka Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk mengembangkan industri tersebut di masa depan.
Itulah mengapa, Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dengan tegas menyampaikan Indonesia tak akan mengekspor nikel lagi karena akan fokus pada nilai tambah nikel yang jauh lebih berharga.
“Sampaikan kepada penjuru dunia, penambang dan pengusaha smelter di Indonesia telah satukan tekad. Kami tak mau ekspor nikel per 1 Januari 2020 atas dasar cinta tanah air,” ujar Bahlil, saat menggelar konferensi pers, Selasa (12/11/2019).
Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menilai keputusan ini sebagai langkah yang tepat untuk mendorong hilirisasi komoditas nikel. Indonesia memang sedang mempercepat hilirisasi komoditas nikel agar memiliki produk hilir berupa baterai lithium untuk kendaraan listrik yang lebih bernilai berkali-kali lipat.
“Dalam jangka panjang sudah pasti akan bermanfaat bagi industri baterai. Ini akan menjadi nilai tambah bagi industri pertambangan kita,” kata Irwandy di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Produk hilir nikel memang memiliki nilai yang jauh lebih tinggi, bahkan mencapai 400-500% lebih tinggi dibandingkan dengan produk nikel hulu (bijih nikel). Saat ini, harga produk hulu hanya sekitar USD40-45 per ton, sedangkan harga produk hilir nikel mencapai USD17.000 per ton.
Indonesia sendiri menguasai 27% pasar nikel dunia sehingga jika tren global industri mobil listrik maka Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk mengembangkan industri tersebut di masa depan.
Itulah mengapa, Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dengan tegas menyampaikan Indonesia tak akan mengekspor nikel lagi karena akan fokus pada nilai tambah nikel yang jauh lebih berharga.
“Sampaikan kepada penjuru dunia, penambang dan pengusaha smelter di Indonesia telah satukan tekad. Kami tak mau ekspor nikel per 1 Januari 2020 atas dasar cinta tanah air,” ujar Bahlil, saat menggelar konferensi pers, Selasa (12/11/2019).
(ind)