Fleksibiltas Skema Kontrak Migas Bakal Dongkrak Investasi

Kamis, 05 Desember 2019 - 14:54 WIB
Fleksibiltas Skema Kontrak Migas Bakal Dongkrak Investasi
Fleksibiltas Skema Kontrak Migas Bakal Dongkrak Investasi
A A A
JAKARTA - Asosiasi Industri Hulu Migas Indonesia (Indonesian Petroleum Association/IPA) menyambut positif rencana pemerintah memberikan keleluasaan untuk memilih skema bagi hasil migas baik itu Production Sharing Contract (PSC) ataupun skema gross split. Fleksibilitas kontrak tersebut diyakini mampu meningkatkan investasi hulu migas di Indonesia.

“Fleksibiltas ini merupakan langkah tepat untuk membangun pondasi yang lebih baik bagi investor. Tapi tentunya perlu duduk bersama untuk memahami lebih lanjut terkait rencana tersebut,” ujar Presiden IPA Louise McKenzie di Jakarta, Kamis (5/12/2019).

Menurut dia keleluasaan memilih skema bagi hasil tersebut penting diterapkan karena setiap proyek hulu migas memiliki risiko yang berbeda-beda. Meski demikian, pihaknya masih akan mempelajari terkait rencana tersebut bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) supaya sepaham.

“Rencana ini memang sudah kami sarankan sebelumnya. Tapi tentunya kami menunggu kesempatan berdiskusi lebih lanjut sehingga bisa menghasilkan skema kontrak yang tepat,” ucapnya.

Pihaknya mengapresiasi berbagai upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi hulu migas baik itu penyederhanaan aturan dan perizinan, pembukaan data migas dan rencana terkait fleksibilitas kontrak.

Berbagai langkah tersebut diyakini mampu menunjang target pemerintah mewujudkan produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) pada 2030 mendatang. Pasalnya untuk mencapai target tersebut membutuhkan investasi besar.

“Target itu perlu investasi besar dan oleh sebab itu butuh dukungan dari pemerintah. Banyak langkah-langkah yang sudah mulai dijalankan sehingga menciptakan iklim yang lebih baik,” kata dia.

Louis mengakui, potensi cadangan migas di Indonesia masih cukup signifikan, bahkan dari berbagai kajian menunjukkan banyak cekungan yang belum di eksplorasi. Sehingga banyak upaya yang bisa disinergikan antara pemerintah dengan investor.

“Apabila kami bisa bekerja sama pengelolaan risiko secara tepat baik itu terkait kesucian kontrak maupun stabilitas kontrak maka kami dapat bersama-sama membangun sumber daya energi untuk masa depan Indonesia,” kata dia.

Hal senada juga dikatakan Direktur IPA Nanang Abdul Manaf. Rencana terkait pemberian keleluasaan bagi investor untuk memilih skema bagi hasil cost recovery dan gross split akan mendorong investasi hulu migas. Meski begitu tetap memperhatikan faktor geologi, keekonomian, kondisi lapangan dan lain sebagainya.

Wakil Presiden IPA Ronald Gunawan menambahkan, upaya pemerintah dalam memperbaiki segala bentuk regulasi selama ini merupakan langkah yang positif. Pihaknya berharap langkah tersebut dapat dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru ini. “Harapannya ke depan tentu semakin baik lagi,” ujarnya.

Sementara itu, praktisi migas yang juga Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan bahwa skema gross split lebih menarik dibandingkan cost recovery. Pasalnya, dalam kurun waktu 2015-2016 saat pemerintah menawarkan lelang blok migas menggunakan skema cost recovery tidak menarik bagi investor. Namun pada 2017 saat gross split mulai diberlakukan lima wilayah kerja (WK) migas laku dilelang dan terus meningkat sampai tahun ini. “Setiap tahun laku terus setelah kita ubah menjadi gross split,” kata dia.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu menganggap wajar upaya pemerintah memberikan keleluasaan bagi investor untuk memilih skema kontrak bagi hasil. Upaya itu tak lain untuk meningkatkan investasi hulu migas.

Meski demikian, pihaknya mengingatkan supaya pemerintah tetap hati-hati dalam membuat aturan tidak hanya semata-mata mengakomodir keinginan investor mencari untung tapi harus sesuai koridor sebagai regulator. “Boleh saja memberikan fleksibilitas tapi jangan sampai mengesampingkan aturan yang lain,” tandas dia.

Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mempertimbangkan hadirnya kembali skema bagi hasil cost recovery bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Skema tersebut akan menjadi opsi lain dari skema gross split.

Pihaknya mengungkapkan bahwa dua mekanisme tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Terdapat investor yang lebih memilih skema cost recovery karena lapangannya terletak di daerah remote sehingga risikonya sangat besar. Sebaliknya, gross split dianggap lebih cocok untuk wilayah kerja eksisting.

Melihat pertimbangan tersebut, pemerintah sedang mengkaji kedua penawaran ini, lantaran banyaknya masukan dari para pelaku bisnis. “Jadi ke depan kita lakukan perbaikan dan kami terbuka dengan investor. Kita sedang bahas revisi Permen ESDM,” tuturnya.
(ind)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1994 seconds (0.1#10.140)