IATMI Dukung Skema Bagi Hasil Migas yang Menarik dan Fleksibel
A
A
A
JAKARTA - Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) menilai, upaya untuk menahan laju penurunan produksi saat ini merupakan salah satu tantangan terbesar di industri minyak dan gas (migas) nasional. Karena itu, IATMI mendorong adanya terobosan revolusioner untuk mencari solusi atas hal tersebut, termasuk melihat kembali rezim fiskal yang berlaku saat ini, apakah sesuai dengan dinamika industri migas global atau tidak.
Sekretaris Jenderal IATMI Hadi Ismoyo mengatakan, jika menginginkan industri migas nasional maju, maka pemerintah harus berani melihat fakta secara global bahwa skema bagi hasil harus menarik dan mempunyai fleksibilitas tinggi. Hal itu penting untuk memancing pemain besar di tingkat global masuk Indonesia.
"Masih banyak cekungan besar di Indonesia Tengah dan Timur, sehingga masih ada harapan giant discovery," ujar Hadi di Jakarta, Minggu (8/12/2019).
Menurut Hadi, semangat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU MIgas) harus kembali digaungkan. Semangat tersebut bahwa dalam hal kerja sama dengan kontraktor migas, skema bisnisnya adalah bagi hasil, bisa berupa cost recovery atau pun gross split. Seyogyanya, kata dia, tidak ada jawaban tunggal, sehingga kontraktor migas mempunyai pilihan sesuai karakter masing-masing.
"Hal yang paling penting, masif melakukan eksplorasi. Ini yang akan menjadi pilar pertumbuhan industri migas di masa yang akan datang untuk menahan laju penurunan produksi nasional," tegas Hadi.
Di bagian lain, Direktorat Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang mengkaji fleksibilitas kontrak migas. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) cost recovery bisa saja kembali diterapkan bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Ini bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada para pelaku usaha dalam menghitung keekonomian proyek yang akan dikerjakan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengatakan, Kementerian ESDM melakukan dialog dengan para investor di bidang migas terkait hal tersebut. "Kami tanyakan, mana yang prefer, ada dua (gross split dan cost recovery)," kata Arifin beberapa waktu lalu.
Deputi Bidang Kajian dan Opini IATMI Benny Lubiantara mengatakan, jika Indonesia ingin lebih investor friendly dibanding negara tetangga, maka sebaiknya memang tidak mendikte investor. "Kita siapkan saja opsi-opsi skema model kontraknya," kata dia. Ibarat rumah makan padang, sambungnya, semakin banyak menu yang tersedia, semakin baik bagi pelanggan. "Jangan semua pelanggan dipaksa milih paru, karena kalau ada pelanggan yang fanatik rendang, dia akan pindah ke rumah makan sebelah," tutur Benny.
Para ahli kontrak migas global, lanjut Benny, sepakat bahwa tidak ada satu opsi skema model yang baik untuk semua, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. "Istilah kerennya, one size fits all model does not exist," ujarnya.
Benny menambahkan, model kontrak migas yang baik itu adalah yang saling menguntungkan, yang memberikan tingkat keekonomian yang baik bagi investor, pada saat yang sama juga memberikan penerimaan negara yang baik. "Dengan dibukanya dua opsi, bisa dibandingkan mana yang lebih cenderung memenuhi kriteria tersebut," katanya.
Skema kontrak gross split sudah dimulai sejak 2017, sehingga bisa dibandingkan dengan skema PSC cost recovery. Dengan data yang ada bisa diketahui, apakah betul biaya kontraktor di wilayah kerja yang sekarang menggunakan gross split tersebut menjadi lebih efisien, atau malah justru sebaliknya. "Ada indikator rasio-rasio yang lazim digunakan. Kalau sudah menggunakan data aktual, mestinya tidak perlu panjang lebar berdebat teori lagi," tandasnya.
Lebih lanjut, mantan Analis Kebijakan Fiskal Migas di markas OPEC di Wina, Austria, tersebut mencontohkan Meksiko sebagai negara yang lebih berhasil mengadopsi konsep menawarkan opsi-opsi skema kontrak migas bagi investor, mulai dari lisensi, PSC, profit sharing dan service contract. Menurut laporan Woodmac tahun 2019, Meksiko termasuk yang paling sukses dalam lelang wilayah kerja.
"Saya ingat betul, tahun 2012 Meksiko baru membentuk Komisi Nasional Hidrokarbon, mereka datang jauh-jauh ke Jakarta untuk belajar, sekarang ternyata mereka jauh lebih kreatif," kata Benny.
Ketua Umum IATMI John H Simamora menambahkan, kebijakan menteri ESDM untuk memberikan opsi skema kontrak lain kepada investor patut diapresiasi. "IATMI akan membantu pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada para ahli teknik perminyakan dan investor sehingga investasi di sektor migas semakin bergairah," tegas John.
Sekretaris Jenderal IATMI Hadi Ismoyo mengatakan, jika menginginkan industri migas nasional maju, maka pemerintah harus berani melihat fakta secara global bahwa skema bagi hasil harus menarik dan mempunyai fleksibilitas tinggi. Hal itu penting untuk memancing pemain besar di tingkat global masuk Indonesia.
"Masih banyak cekungan besar di Indonesia Tengah dan Timur, sehingga masih ada harapan giant discovery," ujar Hadi di Jakarta, Minggu (8/12/2019).
Menurut Hadi, semangat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU MIgas) harus kembali digaungkan. Semangat tersebut bahwa dalam hal kerja sama dengan kontraktor migas, skema bisnisnya adalah bagi hasil, bisa berupa cost recovery atau pun gross split. Seyogyanya, kata dia, tidak ada jawaban tunggal, sehingga kontraktor migas mempunyai pilihan sesuai karakter masing-masing.
"Hal yang paling penting, masif melakukan eksplorasi. Ini yang akan menjadi pilar pertumbuhan industri migas di masa yang akan datang untuk menahan laju penurunan produksi nasional," tegas Hadi.
Di bagian lain, Direktorat Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang mengkaji fleksibilitas kontrak migas. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) cost recovery bisa saja kembali diterapkan bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Ini bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada para pelaku usaha dalam menghitung keekonomian proyek yang akan dikerjakan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengatakan, Kementerian ESDM melakukan dialog dengan para investor di bidang migas terkait hal tersebut. "Kami tanyakan, mana yang prefer, ada dua (gross split dan cost recovery)," kata Arifin beberapa waktu lalu.
Deputi Bidang Kajian dan Opini IATMI Benny Lubiantara mengatakan, jika Indonesia ingin lebih investor friendly dibanding negara tetangga, maka sebaiknya memang tidak mendikte investor. "Kita siapkan saja opsi-opsi skema model kontraknya," kata dia. Ibarat rumah makan padang, sambungnya, semakin banyak menu yang tersedia, semakin baik bagi pelanggan. "Jangan semua pelanggan dipaksa milih paru, karena kalau ada pelanggan yang fanatik rendang, dia akan pindah ke rumah makan sebelah," tutur Benny.
Para ahli kontrak migas global, lanjut Benny, sepakat bahwa tidak ada satu opsi skema model yang baik untuk semua, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. "Istilah kerennya, one size fits all model does not exist," ujarnya.
Benny menambahkan, model kontrak migas yang baik itu adalah yang saling menguntungkan, yang memberikan tingkat keekonomian yang baik bagi investor, pada saat yang sama juga memberikan penerimaan negara yang baik. "Dengan dibukanya dua opsi, bisa dibandingkan mana yang lebih cenderung memenuhi kriteria tersebut," katanya.
Skema kontrak gross split sudah dimulai sejak 2017, sehingga bisa dibandingkan dengan skema PSC cost recovery. Dengan data yang ada bisa diketahui, apakah betul biaya kontraktor di wilayah kerja yang sekarang menggunakan gross split tersebut menjadi lebih efisien, atau malah justru sebaliknya. "Ada indikator rasio-rasio yang lazim digunakan. Kalau sudah menggunakan data aktual, mestinya tidak perlu panjang lebar berdebat teori lagi," tandasnya.
Lebih lanjut, mantan Analis Kebijakan Fiskal Migas di markas OPEC di Wina, Austria, tersebut mencontohkan Meksiko sebagai negara yang lebih berhasil mengadopsi konsep menawarkan opsi-opsi skema kontrak migas bagi investor, mulai dari lisensi, PSC, profit sharing dan service contract. Menurut laporan Woodmac tahun 2019, Meksiko termasuk yang paling sukses dalam lelang wilayah kerja.
"Saya ingat betul, tahun 2012 Meksiko baru membentuk Komisi Nasional Hidrokarbon, mereka datang jauh-jauh ke Jakarta untuk belajar, sekarang ternyata mereka jauh lebih kreatif," kata Benny.
Ketua Umum IATMI John H Simamora menambahkan, kebijakan menteri ESDM untuk memberikan opsi skema kontrak lain kepada investor patut diapresiasi. "IATMI akan membantu pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada para ahli teknik perminyakan dan investor sehingga investasi di sektor migas semakin bergairah," tegas John.
(fjo)