Kebijakan B30 Harus Dibarengi Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan kebijakan biodiesel 30% (B30) harus dibarengi dengan optimalisasi pemanfaatan gas bumi supaya terjadi penurunan defisit neraca perdagangan yang signifikan.
Berdasarkan buku Neraca Gas Bumi Indonesia periode 2018, lifting gas Indonesia pada 2018 mencapai 8.048 mmscfd meningkat dibanding lifting 2017 sebesar 7.452 mmscfd.
“Optimalisasi gas bumi itu diperuntukan sektor kelistrikan, sektor industri, sektor tranportasi, dan sektor rumah tangga,” kata dia saat dihubungi, Senin (23/12/2019). (Baca Juga: Penerapan B30, Jokowi: Kita Tidak Akan Lagi Ditekan Negara Lain )
Menurut dia untuk sektor kelistrikan, gas bumi dapat digunakan sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTGU), yang menggantikan energi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Di sektor industri, gas bumi digunakan sebagai bahan baku bagi industri pupuk dan petrokimia. Di sektor transportasi, gas bumi digunakan untuk untuk bahan bakar gas (BBG) transportasi darat dan laut, yang menggantikan BBM. “Gas bumi bisa juga digunakan untuk memasak di sektor rumah tangga melalui jaringan gas (Jargas), yang menggantikan LPG,” kata dia.
Untuk mencapai optimalisasi penggunaan gas bumi, kata dia, pemerintah harus ikut berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan yang masih dihadapi melalui tiga upaya.
Pertama, pemerintah harus mengalokasikan dana dari APBN untuk membiayai pembangunan infrastruktur pipa dan Jargas, yang masih dibutuhkan untuk distribusi gas bumi dari sumber gas di hulu hingga ke konsumen akhir di hilir, baik konsumen industri, maupun konsumen rumah tangga.
Kedua, mendorong Pertamina untuk membangun SPBU Gas di sebagian besar SPBU Pertamina, terutama di kota-kota besar. Ketiga, pemerintah harus menyediakan converter bagi kendaraan bermotor untuk mengubah fungsi mesin yang menggunakan BBM menjadi BBG.
“Dengan ketiga upaya tersebut diharapkan dapat menjadikan gas bumi sebagai energi utama dan subtitusi bagi sektor kelistrikan, industri, transportasi dan rumah tangga. Penggunaan gas bumi di keempat sektor itu tidak hanya akan menurunkan impor migas dalam jumlah besar, tetapi juga dapat mengurangi subsidi BBM dan LPG 3 Kg, yang selama ini membebani APBN,” kata dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), DNM pada September 2019 meningkat 42% menjadi USD1,43 miliar dibanding DNM pada Agustus 2019. Dampaknya, DNP pada September 2019 mengalami defisit USD160,5 juta, bandingkan dengan surplus neraca perdagangan pada Agustus 2019 yang mencapai USD85,1 Juta.
Penyebab utama DNM adalah peningkatan impor BBM dan Liquid Petroleum Gas (LPG). Data BPS menunjukkan bahwa pada 2019 impor BBM mencapai 800.000 barrel per hari, sedangkan impor LPG mencapai 2.800 MMscfd atau sekitar 70% dari total kebutuhan nasional sebesar 4.000 mmscfd. Dengan impor sebesar itu, subsidi untuk LPG 3 Kg makin meningkat yang mencapai Rp100 triliun per tahun.
Berdasarkan buku Neraca Gas Bumi Indonesia periode 2018, lifting gas Indonesia pada 2018 mencapai 8.048 mmscfd meningkat dibanding lifting 2017 sebesar 7.452 mmscfd.
“Optimalisasi gas bumi itu diperuntukan sektor kelistrikan, sektor industri, sektor tranportasi, dan sektor rumah tangga,” kata dia saat dihubungi, Senin (23/12/2019). (Baca Juga: Penerapan B30, Jokowi: Kita Tidak Akan Lagi Ditekan Negara Lain )
Menurut dia untuk sektor kelistrikan, gas bumi dapat digunakan sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTGU), yang menggantikan energi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Di sektor industri, gas bumi digunakan sebagai bahan baku bagi industri pupuk dan petrokimia. Di sektor transportasi, gas bumi digunakan untuk untuk bahan bakar gas (BBG) transportasi darat dan laut, yang menggantikan BBM. “Gas bumi bisa juga digunakan untuk memasak di sektor rumah tangga melalui jaringan gas (Jargas), yang menggantikan LPG,” kata dia.
Untuk mencapai optimalisasi penggunaan gas bumi, kata dia, pemerintah harus ikut berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan yang masih dihadapi melalui tiga upaya.
Pertama, pemerintah harus mengalokasikan dana dari APBN untuk membiayai pembangunan infrastruktur pipa dan Jargas, yang masih dibutuhkan untuk distribusi gas bumi dari sumber gas di hulu hingga ke konsumen akhir di hilir, baik konsumen industri, maupun konsumen rumah tangga.
Kedua, mendorong Pertamina untuk membangun SPBU Gas di sebagian besar SPBU Pertamina, terutama di kota-kota besar. Ketiga, pemerintah harus menyediakan converter bagi kendaraan bermotor untuk mengubah fungsi mesin yang menggunakan BBM menjadi BBG.
“Dengan ketiga upaya tersebut diharapkan dapat menjadikan gas bumi sebagai energi utama dan subtitusi bagi sektor kelistrikan, industri, transportasi dan rumah tangga. Penggunaan gas bumi di keempat sektor itu tidak hanya akan menurunkan impor migas dalam jumlah besar, tetapi juga dapat mengurangi subsidi BBM dan LPG 3 Kg, yang selama ini membebani APBN,” kata dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), DNM pada September 2019 meningkat 42% menjadi USD1,43 miliar dibanding DNM pada Agustus 2019. Dampaknya, DNP pada September 2019 mengalami defisit USD160,5 juta, bandingkan dengan surplus neraca perdagangan pada Agustus 2019 yang mencapai USD85,1 Juta.
Penyebab utama DNM adalah peningkatan impor BBM dan Liquid Petroleum Gas (LPG). Data BPS menunjukkan bahwa pada 2019 impor BBM mencapai 800.000 barrel per hari, sedangkan impor LPG mencapai 2.800 MMscfd atau sekitar 70% dari total kebutuhan nasional sebesar 4.000 mmscfd. Dengan impor sebesar itu, subsidi untuk LPG 3 Kg makin meningkat yang mencapai Rp100 triliun per tahun.
(ind)