Pelarangan Ekspor Benur Lobster Dinilai Picu Penyelundupan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diminta tidak ragu mencabut sejumlah kebijakan menteri sebelumnya Susi Pujiastuti yang dinilai tidak tepat. Salah satu kebijakan itu adalah pelarangan penangkapan benur lobster melalui Permen KP No. 56/2016.
“Larangan penangkapan benur lobster ini mengakibatkan ribuan nelayan kehilangan mata pencarian dan negara kehilangan potensi ekonomi, termasuk dari ekspor hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun,” kata Dewan Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Timur Bambang Haryo Soekartono dalam rilisnya, kemarin.
Pelarangan itu, tutur Bambang Haryo, justru memicu penyelundupan benur lobster sehingga merugikan negara. Di sisi lain, nelayan kehilangan mata pencarian dari penangkapan benur dan budi daya lobster. Dia mengatakan, Indonesia merupakan sumber lobster terbesar di dunia meskipun biota laut bernilai tinggi ini sebenarnya endemik dari Pulau Christmas, Australia.
Potensi benur lobster Indonesia diperkirakan mencapai 2–3 miliar per tahun, bahkan di Lombok Tengah saja potensinya mencapai 300 juta ekor per tahun. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan terdapat 20 lokasi potensial sumber lobster di seluruh Indonesia. “Begitu melimpah benur lobster, nelayan kita bisa memanen selama 10 bulan sepanjang tahun,” kata Bambang Haryo.
Sebagai perbandingan, potensi benur lobster di Vietnam hanya sekitar 2–3 juta ekor per tahun dan nelayan hanya bisa memanen 1–2 bulan saja. Anehnya, sejak pelarangan, ekspor lobster Vietnam justru melonjak padahal negara itu sangat bergantung dari impor benur Indonesia.
“Potensi ekonomi benur lobster di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun, apabila per ekornya dihargai sekitar Rp50.000. Kalau benur ini dibudidayakan hingga ukuran 500 gram harganya bisa mencapai Rp500.000 sehingga potensi ekonominya jauh lebih besar lagi,” kata Bambang Haryo.
Dia mengatakan, benur lobster justru harus segera ditangkap oleh nelayan sebab jika tidak akan habis dimakan predatornya, seperti ikan kakap, kerapu, dan ikan karang. Berdasarkan penelitian Prof Dr Clive Jones, peluang hidup benur lobster hanya 0,01% atau hanya 1 dari 10.000 lobster yang mampu bertahan hidup di alam liar.
Ironisnya, Menteri Susi melarang benur lobster dan membolehkan penangkapan lobster ukuran besar, padahal lobster seukuran itu merupakan potensi indukan dan pejantan. “Lobster ukuran itu sudah mampu menyesuaikan diri dengan habitat di perairan Indonesia, seharusnya tidak ditangkap agar bisa berkembang biak secara alami,” ujarnya.
Bambang Haryo menilai, Permen KP No. 56/2016 tentang Larangan Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, merupakan kebijakan disclaimer atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, pelarangan tiga komoditas berbeda menggunakan aturan teknis yang sama. Ini merugikan komoditas selain lobster karena batasan teknisnya berbeda.
“Tidak heran kebijakan Menteri Susi menyebabkan KKP mendapat penilaian disclaimer audit BPK selama tiga tahun berturut-turut,” kata anggota Komisi V DPR RI periode 2014–2019 ini. Kebijakan lain yang dinilai keliru adalah Permen KP No. 2/2015 tentang Larangan Cantrang.
Kebijakan ini juga membuat Indonesia kehilangan potensi ekonomi ratusan triliunan rupiah akibat produksi ikan rucah untuk pakan lobster dan ikan kerapu merosot tajam. “Di Indonesia sudah ada pembudi daya yang hebat, seperti di Pandeglang dan Lombok Tengah, tetapi mereka kesulitan memperoleh pakan lobster, yaitu ikan rucah yang selama ini ditangkap menggunakan cantrang,” ungkapnya.
Akibat pelarangan cantrang, Indonesia terpaksa impor ikan rucah dari Chile hingga 200.000 ton per tahun, padahal ikan rucah di Indonesia melimpah. Kelangkaan pakan ikan ini menyebabkan harganya melambung sehingga banyak industri perikanan mati, tinggal kurang dari 50% dari sebelumnya sekitar 100 perusahaan.
“Larangan penangkapan benur lobster ini mengakibatkan ribuan nelayan kehilangan mata pencarian dan negara kehilangan potensi ekonomi, termasuk dari ekspor hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun,” kata Dewan Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Timur Bambang Haryo Soekartono dalam rilisnya, kemarin.
Pelarangan itu, tutur Bambang Haryo, justru memicu penyelundupan benur lobster sehingga merugikan negara. Di sisi lain, nelayan kehilangan mata pencarian dari penangkapan benur dan budi daya lobster. Dia mengatakan, Indonesia merupakan sumber lobster terbesar di dunia meskipun biota laut bernilai tinggi ini sebenarnya endemik dari Pulau Christmas, Australia.
Potensi benur lobster Indonesia diperkirakan mencapai 2–3 miliar per tahun, bahkan di Lombok Tengah saja potensinya mencapai 300 juta ekor per tahun. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan terdapat 20 lokasi potensial sumber lobster di seluruh Indonesia. “Begitu melimpah benur lobster, nelayan kita bisa memanen selama 10 bulan sepanjang tahun,” kata Bambang Haryo.
Sebagai perbandingan, potensi benur lobster di Vietnam hanya sekitar 2–3 juta ekor per tahun dan nelayan hanya bisa memanen 1–2 bulan saja. Anehnya, sejak pelarangan, ekspor lobster Vietnam justru melonjak padahal negara itu sangat bergantung dari impor benur Indonesia.
“Potensi ekonomi benur lobster di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun, apabila per ekornya dihargai sekitar Rp50.000. Kalau benur ini dibudidayakan hingga ukuran 500 gram harganya bisa mencapai Rp500.000 sehingga potensi ekonominya jauh lebih besar lagi,” kata Bambang Haryo.
Dia mengatakan, benur lobster justru harus segera ditangkap oleh nelayan sebab jika tidak akan habis dimakan predatornya, seperti ikan kakap, kerapu, dan ikan karang. Berdasarkan penelitian Prof Dr Clive Jones, peluang hidup benur lobster hanya 0,01% atau hanya 1 dari 10.000 lobster yang mampu bertahan hidup di alam liar.
Ironisnya, Menteri Susi melarang benur lobster dan membolehkan penangkapan lobster ukuran besar, padahal lobster seukuran itu merupakan potensi indukan dan pejantan. “Lobster ukuran itu sudah mampu menyesuaikan diri dengan habitat di perairan Indonesia, seharusnya tidak ditangkap agar bisa berkembang biak secara alami,” ujarnya.
Bambang Haryo menilai, Permen KP No. 56/2016 tentang Larangan Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, merupakan kebijakan disclaimer atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, pelarangan tiga komoditas berbeda menggunakan aturan teknis yang sama. Ini merugikan komoditas selain lobster karena batasan teknisnya berbeda.
“Tidak heran kebijakan Menteri Susi menyebabkan KKP mendapat penilaian disclaimer audit BPK selama tiga tahun berturut-turut,” kata anggota Komisi V DPR RI periode 2014–2019 ini. Kebijakan lain yang dinilai keliru adalah Permen KP No. 2/2015 tentang Larangan Cantrang.
Kebijakan ini juga membuat Indonesia kehilangan potensi ekonomi ratusan triliunan rupiah akibat produksi ikan rucah untuk pakan lobster dan ikan kerapu merosot tajam. “Di Indonesia sudah ada pembudi daya yang hebat, seperti di Pandeglang dan Lombok Tengah, tetapi mereka kesulitan memperoleh pakan lobster, yaitu ikan rucah yang selama ini ditangkap menggunakan cantrang,” ungkapnya.
Akibat pelarangan cantrang, Indonesia terpaksa impor ikan rucah dari Chile hingga 200.000 ton per tahun, padahal ikan rucah di Indonesia melimpah. Kelangkaan pakan ikan ini menyebabkan harganya melambung sehingga banyak industri perikanan mati, tinggal kurang dari 50% dari sebelumnya sekitar 100 perusahaan.
(don)