IPC Berkomitmen Berantas Pungli dan Tindak Pidana di Pelabuhan
A
A
A
JAKARTA - PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)/IPC berkomitmen memberantas semua bentuk pelanggaran, tindak pidana, termasuk pungli. IPC menegaskan tidak akan menoleransi pelanggaran, terutama yang bertujuan mencari keuntungan pribadi oleh oknum petugas di lingkungan pelabuhan.
“Jika ditemukan bukti pelanggaran, tindak pidana, termasuk pungli oleh oknum di pelabuhan, maka IPC dan saya yakin semua instansi pemerintah maupun swasta di lingkungan pelabuhan akan memberikan tindakan keras. Kemudian mendorong untuk diproses sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang ada,” kata Direktur Utama IPC Elvyn G Masassya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, kemarin.
Elvyn mengatakan, saat ini IPC sedang fokus mewujudkan misi korporasi menjadi pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan pelayanan. IPC berkepentingan memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan efisien, untuk memajukan sektor logistik di Tanah Air.
Sesuai dengan misi pemerintah menurunkan biaya logistik, kata Elvyn, IPC siap memberikan pelayanan yang mudah, transparan, dan akuntabel bagi semua pengguna jasa dan pelanggan. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi orang atau oknum tertentu di pelabuhan melakukan pelanggaran termasuk pungli.
“Sekarang semua aktivitas dan operasional di pelabuhan, terutama di Tanjung Priok termonitori secara digital. Salah satu tujuan semua ini adalah supaya tidak terjadi ekonomi biaya tinggi yang menambah beban biaya logistik secara keseluruhan,” katanya.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, saat ini pungli memang sulit ditemukan di lapangan, terutama di terminal-terminal Pelabuhan Tanjung Priok. Digitalisasi yang dimulai dari penerapan Autogate System di gerbang pelabuhan tak lagi memungkinkan terjadinya interaksi pembayaran tunai oleh pengguna jasa dan konsumen.
Meski demikian, menurutnya, ada banyak faktor mengapa biaya logistik masih tinggi. Potensi biaya siluman bisa tersebar di seluruh stakeholder pelabuhan, mengingat di sana ada 18 instansi yang berperan sebagai regulator maupun operator.
“Tingginya biaya logistik tak lepas dari tingginya pergerakan peti kemas. Ada aturan Kemenhub misalnya, dalam waktu tiga hari, selesai atau tidak pengurusan dokumen, peti kemas harus keluar ke Pusat Logistik Berikat (PLB). Kemudian PLB banyak dibangun setelah isu dweling time bergulir pada 2014–2019. Nah, keberadaan PLB ini dimotori oleh teman-teman di Bea dan Cukai,” ujarnya.
Siswanto menjelaskan, dalam sistem kepelabuhanan di Indonesia ada institusi dengan fungsi dan kewenangan signifikan, yaitu Otoritas Pelabuhan. Instansi di bawah Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan ini hadir tak lama setelah UU No. 17/2008 tentang Pelayaran disahkan. Instansi ini ada di empat pelabuhan utama, yakni di Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar.
Keberadaannya signifikan karena Otoritas Pelabuhan (OP) mewakili pemerintah sebagai regulator yang sebelumnya dipegang PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Dengan kewenangannya, OP mengatur penyewaan lahan pelabuhan berikut infrastruktur lainnya.
“Jika ditemukan bukti pelanggaran, tindak pidana, termasuk pungli oleh oknum di pelabuhan, maka IPC dan saya yakin semua instansi pemerintah maupun swasta di lingkungan pelabuhan akan memberikan tindakan keras. Kemudian mendorong untuk diproses sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang ada,” kata Direktur Utama IPC Elvyn G Masassya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, kemarin.
Elvyn mengatakan, saat ini IPC sedang fokus mewujudkan misi korporasi menjadi pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan pelayanan. IPC berkepentingan memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan efisien, untuk memajukan sektor logistik di Tanah Air.
Sesuai dengan misi pemerintah menurunkan biaya logistik, kata Elvyn, IPC siap memberikan pelayanan yang mudah, transparan, dan akuntabel bagi semua pengguna jasa dan pelanggan. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi orang atau oknum tertentu di pelabuhan melakukan pelanggaran termasuk pungli.
“Sekarang semua aktivitas dan operasional di pelabuhan, terutama di Tanjung Priok termonitori secara digital. Salah satu tujuan semua ini adalah supaya tidak terjadi ekonomi biaya tinggi yang menambah beban biaya logistik secara keseluruhan,” katanya.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, saat ini pungli memang sulit ditemukan di lapangan, terutama di terminal-terminal Pelabuhan Tanjung Priok. Digitalisasi yang dimulai dari penerapan Autogate System di gerbang pelabuhan tak lagi memungkinkan terjadinya interaksi pembayaran tunai oleh pengguna jasa dan konsumen.
Meski demikian, menurutnya, ada banyak faktor mengapa biaya logistik masih tinggi. Potensi biaya siluman bisa tersebar di seluruh stakeholder pelabuhan, mengingat di sana ada 18 instansi yang berperan sebagai regulator maupun operator.
“Tingginya biaya logistik tak lepas dari tingginya pergerakan peti kemas. Ada aturan Kemenhub misalnya, dalam waktu tiga hari, selesai atau tidak pengurusan dokumen, peti kemas harus keluar ke Pusat Logistik Berikat (PLB). Kemudian PLB banyak dibangun setelah isu dweling time bergulir pada 2014–2019. Nah, keberadaan PLB ini dimotori oleh teman-teman di Bea dan Cukai,” ujarnya.
Siswanto menjelaskan, dalam sistem kepelabuhanan di Indonesia ada institusi dengan fungsi dan kewenangan signifikan, yaitu Otoritas Pelabuhan. Instansi di bawah Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan ini hadir tak lama setelah UU No. 17/2008 tentang Pelayaran disahkan. Instansi ini ada di empat pelabuhan utama, yakni di Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar.
Keberadaannya signifikan karena Otoritas Pelabuhan (OP) mewakili pemerintah sebagai regulator yang sebelumnya dipegang PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Dengan kewenangannya, OP mengatur penyewaan lahan pelabuhan berikut infrastruktur lainnya.
(don)