Suku Bunga Sulit Turun, Korporasi Pilih Kredit dari Luar Negeri
A
A
A
JAKARTA - Ekonom senior Indef Aviliani menilai dinamika perubahan ekosistem perbankan membuat persaingan kian ketat. Tuntutan regulator dan stakeholders untuk selalu prudent namun tetap profit juga semakin meningkatkan tantangan yang mesti dihadapi perbankan nasional.
Sementara, kinerja kredit yang turun, hingga belum cukup efektifnya pengawasan sektor keuangan yang berimplikasi pada kepercayaan masyarakat dan investor.
Berbagai tantangan sektor keuangan ini dapat disebut menjadi sandungan dalam mendorong akselerasi perekonomian dan memperkokoh stabilitas sistem keuangan ke depan.
Aviliani mengatakan, penurunan suku bunga acuan BI belum mampu mendorong pertumbuhan kredit perbankan karena persoalan rigiditas suku bunga di Indonesia. Faktanya, sejak Juni-Desember 2019, BI 7Days RR telah dikoreksi 100 basis poin atau 1% menjadi 5%. BI sudah menahan suku bunga acuan di level 5% sejak Oktober 2019.
Namun, kenyataannya suku bunga kredit untuk modal kerja pada bank umum hanya turun 16 basis poin sepanjang Juni-Oktober 2019. Kemudian pada kredit investasi turun 20 basis poin dan kredit konsumsi naik 6 basis poin.
"Untuk suku bunga kredit ekspor dan impor masing-masing justru naik 37 basis poin dan 22 basis poin," ujar Aviliani di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan, dampaknya nasabah korporasi cenderung memilih kredit dari luar negeri (offshore) karena lebih murah. "Biaya bunga perbankan luar negeri ditambah dengan biaya hedging masih lebih murah dari biaya kredit dari dalam negeri," ujarnya.
Alarm bahaya lain yang harus diwaspadai, sambung dia, adalah rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau loan to deposit ratio (LDR) yang sudah di atas 94% pada Oktober 2019. Rasio tersebut menjadi yang tertinggi sejak 2002 kecuali pada 2018 yang mencapai 95,16%.
"Tingginya LDR yang tidak diikuti dengan pertumbuhan DPK tinggi, ujungnya menjebak perbankan dalam masalah likuiditas," ujarnya.
Hingga Oktober 2019 data menunjukkan, masalah akibat pertumbuhan kredit yang mencapai 6,43% (yoy) sedangkan DPK hanya tumbuh 6,29%. "Sepanjang tahun lalu, kredit tumbuh 13,09% sedangkan uang simpanan atau DPK hanya 6,45% (yoy)," ujarnya.
Sementara, kinerja kredit yang turun, hingga belum cukup efektifnya pengawasan sektor keuangan yang berimplikasi pada kepercayaan masyarakat dan investor.
Berbagai tantangan sektor keuangan ini dapat disebut menjadi sandungan dalam mendorong akselerasi perekonomian dan memperkokoh stabilitas sistem keuangan ke depan.
Aviliani mengatakan, penurunan suku bunga acuan BI belum mampu mendorong pertumbuhan kredit perbankan karena persoalan rigiditas suku bunga di Indonesia. Faktanya, sejak Juni-Desember 2019, BI 7Days RR telah dikoreksi 100 basis poin atau 1% menjadi 5%. BI sudah menahan suku bunga acuan di level 5% sejak Oktober 2019.
Namun, kenyataannya suku bunga kredit untuk modal kerja pada bank umum hanya turun 16 basis poin sepanjang Juni-Oktober 2019. Kemudian pada kredit investasi turun 20 basis poin dan kredit konsumsi naik 6 basis poin.
"Untuk suku bunga kredit ekspor dan impor masing-masing justru naik 37 basis poin dan 22 basis poin," ujar Aviliani di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan, dampaknya nasabah korporasi cenderung memilih kredit dari luar negeri (offshore) karena lebih murah. "Biaya bunga perbankan luar negeri ditambah dengan biaya hedging masih lebih murah dari biaya kredit dari dalam negeri," ujarnya.
Alarm bahaya lain yang harus diwaspadai, sambung dia, adalah rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau loan to deposit ratio (LDR) yang sudah di atas 94% pada Oktober 2019. Rasio tersebut menjadi yang tertinggi sejak 2002 kecuali pada 2018 yang mencapai 95,16%.
"Tingginya LDR yang tidak diikuti dengan pertumbuhan DPK tinggi, ujungnya menjebak perbankan dalam masalah likuiditas," ujarnya.
Hingga Oktober 2019 data menunjukkan, masalah akibat pertumbuhan kredit yang mencapai 6,43% (yoy) sedangkan DPK hanya tumbuh 6,29%. "Sepanjang tahun lalu, kredit tumbuh 13,09% sedangkan uang simpanan atau DPK hanya 6,45% (yoy)," ujarnya.
(fjo)