Pengawasan Industri Jasa Keuangan Oleh OJK Dinilai Baik
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan memandang pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah berjalan dengan baik. Hal ini tercermin dari berbagai indikator.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan, aturan dan pengawasan yang diterbitkan oleh OJK sudah lebih dari cukup. "Secara umum pengawasan OJK sejatinya sudah baik. Walau ada kekurangan tetapi itu masih bisa diperbaiki," kata Togar ketika dihubungi di Jakarta.
Dia mengungkapkan, permasalahan yang terjadi pada beberapa perusahaan asuransi sebaiknya tidak menjadi sandungan dalam memandang kinerja pengawasan OJK. Pasalnya, OJK mengawasi ribuan perusahaan jasa keuangan yang secara umum dalam kondisi baik. "Ada ribuan perusahaan yang diawasi oleh OJK dan semuanya oke-oke saja," imbuh dia.
Terkait pengawasan industri keuangan non bank (IKNB), dia menuturkan, pengawasan sebaiknya dilaksanakan secara terintegrasi antara komisaris, pemilik, auditor eksternal, dan OJK. Menurutnya, harus ada komunikasi yang baik di antara mereka. Tidak bisa hanya bergantung pada OJK.
Dihubungi terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan, secara keseluruhan pengawasan industri jasa keuangan yang dilakukan OJK masuk dalam ketegori baik. Hal ini terlihat pada indikator-indikator stabilitas sistem keuangan. "Setiap 3 bulan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari BI, OJK, dan LPS selalu menyampaikan laporan stabilitas sistem keuangan. Sejauh ini sudah baik," kata dia.
Namun perbaikan yang sangat perlu dilakukan oleh OJK adalah bagaimana menindaklanjuti pengawasan dengan tindakan tegas termasuk terhadap badan usaha milik pemerintah. Pengajar di STIE Perbanas Surabaya Abdul Mongid mengakui, pengawasan industri jasa keuangan khususnya standar pengawasan bank dan bank perkreditan rakyat (BPR) yang diterapkan OJK sudah bagus.
Dia juga menyoroti jumlah BPR yang amat banyak di Indonesia, sehingga tidak jarang OJK mencabut izin BPR yang tak memenuhi ketentuan permodalan. Menurutnya, dengan jumlah BPR yang cukup banyak, OJK perlu melakukan penertiban sekaligus pemberian insentif. Penertiban dilakukan di Pulau Jawa, dimana BPR sangat banyak dan padat.
"Tindakan tegas dapat dilakukan terhadap BPR di Jawa, misalnya terhadap BPR yang sudah tak dapat mempertahankan kinerja. Adapun untuk wilayah di luar Jawa, dapat diberikan insentif-insentif, termasuk terkait pendirian baru," bebernya.
Data OJK menyebutkan berbagai kebijakan pengaturan dan tindakan pengawasan serta pengenaan sanksi telah dikeluarkan di tahun 2019. Untuk sektor perbankan, OJK telah melakukan sejumlah kebijakan untuk memperkuat permodalan perbankan nasional dan mempercepat konsolidasi perbankan.
Sepanjang tahun lalu, OJK telah memfasilitasi 3 proses merger 6 bank umum, menerbitkan 16 persetujuan izin penggabungan usaha BPR, melakukan 229 fit and proper test Pengurus Bank dengan hasil 204 lulus dan 25 tidak lulus, pencabutan 5 izin usaha BPR, serta membangun integrasi pelaporan Bank Umum dengan BI dan LPS.
Sementara di industri Pasar Modal, OJK terus meningkatkan integritas dan kepercayaan investor Pasar Modal melalui peningkatkan kualitas penerapan governance, transparansi dan penegakan hukum, penyempurnaan ekosistem pasar modal melalui penguatan pengaturan dan pengawasan, proses penawaran emisi, aktivitas perdagangan sampai dengan kewajaran valuasi instrumen.
Adapun bentuk penegakan hukum dilakukan melalui pembatasan penjualan reksa dana tertentu pada 37 Manajer Investasi serta memberikan sanksi administratif kepada 3 Akuntan Publik. OJK juga menjatuhkan 43 sanksi denda dengan nilai denda sebesar Rp11,74 miliar, sanksi pembekuan 4 kegiatan usaha dan sanksi 1 pencabutan izin usaha terhadap kasus pengelolaan investasi, transaksi lembaga efek, emiten dan perusahaan publik.
Sedangkan di Industri Keuangan Non Bank, OJK sejak 2018 telah menjalankan program transformasi IKNB yang mencakup antara lain perbaikan penerapan manajemen risiko, meningkatkan governance, serta menambah pelaporan kinerja investasi kepada otoritas dan publik.
Tindakan dan pemberian sanksi pada IKNB antara lain pemberian sanksi denda kepada 164 kegiatan usaha, pembatasan 37 kegiatan usaha,dan pencabutan 31 izin usaha. Kebijakan pengaturan dan pengawasan itu dijalankan sesuai fungsi, tugas, dan wewenang di undang-undang OJK untuk mengatur dan mengawasi kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan, aturan dan pengawasan yang diterbitkan oleh OJK sudah lebih dari cukup. "Secara umum pengawasan OJK sejatinya sudah baik. Walau ada kekurangan tetapi itu masih bisa diperbaiki," kata Togar ketika dihubungi di Jakarta.
Dia mengungkapkan, permasalahan yang terjadi pada beberapa perusahaan asuransi sebaiknya tidak menjadi sandungan dalam memandang kinerja pengawasan OJK. Pasalnya, OJK mengawasi ribuan perusahaan jasa keuangan yang secara umum dalam kondisi baik. "Ada ribuan perusahaan yang diawasi oleh OJK dan semuanya oke-oke saja," imbuh dia.
Terkait pengawasan industri keuangan non bank (IKNB), dia menuturkan, pengawasan sebaiknya dilaksanakan secara terintegrasi antara komisaris, pemilik, auditor eksternal, dan OJK. Menurutnya, harus ada komunikasi yang baik di antara mereka. Tidak bisa hanya bergantung pada OJK.
Dihubungi terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan, secara keseluruhan pengawasan industri jasa keuangan yang dilakukan OJK masuk dalam ketegori baik. Hal ini terlihat pada indikator-indikator stabilitas sistem keuangan. "Setiap 3 bulan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari BI, OJK, dan LPS selalu menyampaikan laporan stabilitas sistem keuangan. Sejauh ini sudah baik," kata dia.
Namun perbaikan yang sangat perlu dilakukan oleh OJK adalah bagaimana menindaklanjuti pengawasan dengan tindakan tegas termasuk terhadap badan usaha milik pemerintah. Pengajar di STIE Perbanas Surabaya Abdul Mongid mengakui, pengawasan industri jasa keuangan khususnya standar pengawasan bank dan bank perkreditan rakyat (BPR) yang diterapkan OJK sudah bagus.
Dia juga menyoroti jumlah BPR yang amat banyak di Indonesia, sehingga tidak jarang OJK mencabut izin BPR yang tak memenuhi ketentuan permodalan. Menurutnya, dengan jumlah BPR yang cukup banyak, OJK perlu melakukan penertiban sekaligus pemberian insentif. Penertiban dilakukan di Pulau Jawa, dimana BPR sangat banyak dan padat.
"Tindakan tegas dapat dilakukan terhadap BPR di Jawa, misalnya terhadap BPR yang sudah tak dapat mempertahankan kinerja. Adapun untuk wilayah di luar Jawa, dapat diberikan insentif-insentif, termasuk terkait pendirian baru," bebernya.
Data OJK menyebutkan berbagai kebijakan pengaturan dan tindakan pengawasan serta pengenaan sanksi telah dikeluarkan di tahun 2019. Untuk sektor perbankan, OJK telah melakukan sejumlah kebijakan untuk memperkuat permodalan perbankan nasional dan mempercepat konsolidasi perbankan.
Sepanjang tahun lalu, OJK telah memfasilitasi 3 proses merger 6 bank umum, menerbitkan 16 persetujuan izin penggabungan usaha BPR, melakukan 229 fit and proper test Pengurus Bank dengan hasil 204 lulus dan 25 tidak lulus, pencabutan 5 izin usaha BPR, serta membangun integrasi pelaporan Bank Umum dengan BI dan LPS.
Sementara di industri Pasar Modal, OJK terus meningkatkan integritas dan kepercayaan investor Pasar Modal melalui peningkatkan kualitas penerapan governance, transparansi dan penegakan hukum, penyempurnaan ekosistem pasar modal melalui penguatan pengaturan dan pengawasan, proses penawaran emisi, aktivitas perdagangan sampai dengan kewajaran valuasi instrumen.
Adapun bentuk penegakan hukum dilakukan melalui pembatasan penjualan reksa dana tertentu pada 37 Manajer Investasi serta memberikan sanksi administratif kepada 3 Akuntan Publik. OJK juga menjatuhkan 43 sanksi denda dengan nilai denda sebesar Rp11,74 miliar, sanksi pembekuan 4 kegiatan usaha dan sanksi 1 pencabutan izin usaha terhadap kasus pengelolaan investasi, transaksi lembaga efek, emiten dan perusahaan publik.
Sedangkan di Industri Keuangan Non Bank, OJK sejak 2018 telah menjalankan program transformasi IKNB yang mencakup antara lain perbaikan penerapan manajemen risiko, meningkatkan governance, serta menambah pelaporan kinerja investasi kepada otoritas dan publik.
Tindakan dan pemberian sanksi pada IKNB antara lain pemberian sanksi denda kepada 164 kegiatan usaha, pembatasan 37 kegiatan usaha,dan pencabutan 31 izin usaha. Kebijakan pengaturan dan pengawasan itu dijalankan sesuai fungsi, tugas, dan wewenang di undang-undang OJK untuk mengatur dan mengawasi kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.
(akr)