Omnibus Law Perpajakan Berpotensi Hilangkan Penerimaan Pajak Rp80 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan penerapan Omnibus Law Perpajakan berpotensi menghilangkan penerimaan pajak.
Omnibus Law yang masih rancangan undang-undang ini banyak memberi insentif pajak. Terdapat enam substansi pokok dari beleid ini nantinya. Pertama, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan secara bertahap dari 25% menjadi 22% tahun 2021-2022, kemudian menjadi 20% di tahun 2023.
Selain itu, PPh badan bagi perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana (go public) berlaku tarif umum sebesar 3%. Pemerintah juga melakukan penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga, serta menghapus PPh Pasal 23 atau dividen dalam negeri.
Dengan insentif dan penurunan tersebut, Suryo Utomo mengatakan potensi penerimaan pajak yang hilang bakal mencapai Rp80 triliun.
"Perhitungan potensi kehilangan penerimaan tersebut baru menghitung dampak penurunan bertahap PPh pajak. Dalam aturan Omnibus Law Perpajakan, tarif PPh badan diturunkan bertahap dari 25% menjadi 22% pada 2021-2022, 20% pada 2023, dan seterusnya. Jadi (potensi kehilangan) sekitar Rp80 triliun," ujar Suryo di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Dia menerangkan kehilangan penerimaan pajak tersebut akan terasa pada tahun pertama pemberlakuan penurunan tarif dalam aturan Omnibus Law yang direncanakan mulai 2021. Namun pihaknya belum menghitung pelonggaran pajak lainnya yang diatur dalam aturan tersebut.
"Dalam substansi ini, diatur relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak dan pengaturan ulang sanksi administratif pajak, pabean, dan cukai, serta imbalan bunga," jelasnya.
Sebelumnya, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan bakal memberikan sanksi kepada pemerintah daerah (pemda) yang masih melakukan pemungutan pajak berlebih atau excessive pajak. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim investasi yang sinkron antara pusat dengan daerah.
Adapun investasi itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau omnibus law perpajakan. Saat ini, RUU tersebut sudah masuk ke DPR untuk dibahas parlemen.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Astera Primanto Bhakti, menjelaskan melalui beleid itu, pemerintah pusat memiliki wewenang untuk melakukan evaluasi pada peraturan daerah (perda) yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
"Jadi ada dua sisi, yang sudah jadi (perda) nanti kita lihat (evaluasi), kemudian yang belum yaitu baru rancangan perda, kita berikan usul," katanya.
Omnibus Law yang masih rancangan undang-undang ini banyak memberi insentif pajak. Terdapat enam substansi pokok dari beleid ini nantinya. Pertama, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan secara bertahap dari 25% menjadi 22% tahun 2021-2022, kemudian menjadi 20% di tahun 2023.
Selain itu, PPh badan bagi perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana (go public) berlaku tarif umum sebesar 3%. Pemerintah juga melakukan penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga, serta menghapus PPh Pasal 23 atau dividen dalam negeri.
Dengan insentif dan penurunan tersebut, Suryo Utomo mengatakan potensi penerimaan pajak yang hilang bakal mencapai Rp80 triliun.
"Perhitungan potensi kehilangan penerimaan tersebut baru menghitung dampak penurunan bertahap PPh pajak. Dalam aturan Omnibus Law Perpajakan, tarif PPh badan diturunkan bertahap dari 25% menjadi 22% pada 2021-2022, 20% pada 2023, dan seterusnya. Jadi (potensi kehilangan) sekitar Rp80 triliun," ujar Suryo di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Dia menerangkan kehilangan penerimaan pajak tersebut akan terasa pada tahun pertama pemberlakuan penurunan tarif dalam aturan Omnibus Law yang direncanakan mulai 2021. Namun pihaknya belum menghitung pelonggaran pajak lainnya yang diatur dalam aturan tersebut.
"Dalam substansi ini, diatur relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak dan pengaturan ulang sanksi administratif pajak, pabean, dan cukai, serta imbalan bunga," jelasnya.
Sebelumnya, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan bakal memberikan sanksi kepada pemerintah daerah (pemda) yang masih melakukan pemungutan pajak berlebih atau excessive pajak. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim investasi yang sinkron antara pusat dengan daerah.
Adapun investasi itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau omnibus law perpajakan. Saat ini, RUU tersebut sudah masuk ke DPR untuk dibahas parlemen.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Astera Primanto Bhakti, menjelaskan melalui beleid itu, pemerintah pusat memiliki wewenang untuk melakukan evaluasi pada peraturan daerah (perda) yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
"Jadi ada dua sisi, yang sudah jadi (perda) nanti kita lihat (evaluasi), kemudian yang belum yaitu baru rancangan perda, kita berikan usul," katanya.
(ven)