Omnibus Law Diharap Mampu Genjot Pendapatan Pajak Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) Omnibus Law (Cipta Kerja) yang baru disahkan DPR, diharapkan bisa mempermudah langkah pemerintah dalam menggenjot pendapatan pajak digital yang saat ini masih minim.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, salah satu poin reformasi regulasi dalam UU tersebut adalah klaster perpajakan; dan melalui klaster tersebut, pemerintah ingin sektor yang belum optimal dalam pembayaran pajaknya seperti sektor digital bakal digenjot. (Baca: Nasihat indah Aa Gym: Jangan Mempersulit Diri!)
“Bagaimana kita mulai memajaki sektor yang selama ini belum dipajaki selain sektoral. Sebelum masuk ke situ, ada semacam sektor yang selama ini makin tidak terpajaki itu adalah sektor digital,” kata Febrio dalam video virtual di Jakarta kemarin.
Menurut dia, saat ini konsumen sektor digital semakin tumbuh dan berkembang, terutama pada konsumen untuk sektor milenial. Jika tidak dikenakan pajak, semakin sedikit penerimaan pajak untuk negara.
“Di situlah pentingnya pengenalan pajak digital yang sudah dikenalkan Kemenkeu, adalah PMSE (perdagangan melalui sistem elektronik). Nah, ini kita harapkan juga mulai. Karena teman-teman milenial konsumsinya mengarah ke digital. Kalau semuanya ke sana, semakin sedikit penerimaan perpajakan kita kalau itu tidak dipajaki,” paparnya.
Pengamat ekonomi Piter Abdullah menjelaskan, ide besar dari UU Cipta Kerja adalah mempermudah investasi termasuk di sektor digital yang diyakini akan menjadi arah dunia usaha ke depan. “Oleh karena itu, dengan adanya UU Cipta Kerja diharapkan sektor digital akan mengalami perkembangan yang sangat pesat nantinya,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Menurutnya, dengan perkembangan yang pesat tersebut, potensi pajak dari sektor ini akan jauh lebih besar. Apalagi jika diikuti dengan kepatuhan pembayaran pajak oleh wajib pajak. (Baca juga: PSBB Diperpanjang, Sekolah di Jakarta Belum Terapkan Tatap Muka)
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, UU Cipta Kerja bagian perpajakan yang telah disahkan sebenarnya hanya penguat dari UU No 2 Tahun 2020 yang sudah memasukkan beberapa hal termasuk pajak digital. Patut dilihat bahwa sektor digital sebagian besar merupakan pasar dengan bentuk two-sided market.
Sektor dengan pasar seperti ini mempunyai dua jenis konsumen, yaitu mitra dan konsumen. Kedua jenis konsumen ini saling terkait. Perubahan permintaan di konsumen akan memengaruhi permintaan dari mitra, begitu juga sebaliknya. “Nah, pemberian pajak di satu sisi bisa jadi akan memengaruhi permintaan konsumen dan pada akhirnya mitra juga akan berkurang,” ujar dia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mencatat setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dari perusahaan luar negeri atas PMSE di dalam negeri seperti Netflix hingga Spotify, baru sebesar Rp97 miliar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, salah satu poin reformasi regulasi dalam UU tersebut adalah klaster perpajakan; dan melalui klaster tersebut, pemerintah ingin sektor yang belum optimal dalam pembayaran pajaknya seperti sektor digital bakal digenjot. (Baca: Nasihat indah Aa Gym: Jangan Mempersulit Diri!)
“Bagaimana kita mulai memajaki sektor yang selama ini belum dipajaki selain sektoral. Sebelum masuk ke situ, ada semacam sektor yang selama ini makin tidak terpajaki itu adalah sektor digital,” kata Febrio dalam video virtual di Jakarta kemarin.
Menurut dia, saat ini konsumen sektor digital semakin tumbuh dan berkembang, terutama pada konsumen untuk sektor milenial. Jika tidak dikenakan pajak, semakin sedikit penerimaan pajak untuk negara.
“Di situlah pentingnya pengenalan pajak digital yang sudah dikenalkan Kemenkeu, adalah PMSE (perdagangan melalui sistem elektronik). Nah, ini kita harapkan juga mulai. Karena teman-teman milenial konsumsinya mengarah ke digital. Kalau semuanya ke sana, semakin sedikit penerimaan perpajakan kita kalau itu tidak dipajaki,” paparnya.
Pengamat ekonomi Piter Abdullah menjelaskan, ide besar dari UU Cipta Kerja adalah mempermudah investasi termasuk di sektor digital yang diyakini akan menjadi arah dunia usaha ke depan. “Oleh karena itu, dengan adanya UU Cipta Kerja diharapkan sektor digital akan mengalami perkembangan yang sangat pesat nantinya,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Menurutnya, dengan perkembangan yang pesat tersebut, potensi pajak dari sektor ini akan jauh lebih besar. Apalagi jika diikuti dengan kepatuhan pembayaran pajak oleh wajib pajak. (Baca juga: PSBB Diperpanjang, Sekolah di Jakarta Belum Terapkan Tatap Muka)
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, UU Cipta Kerja bagian perpajakan yang telah disahkan sebenarnya hanya penguat dari UU No 2 Tahun 2020 yang sudah memasukkan beberapa hal termasuk pajak digital. Patut dilihat bahwa sektor digital sebagian besar merupakan pasar dengan bentuk two-sided market.
Sektor dengan pasar seperti ini mempunyai dua jenis konsumen, yaitu mitra dan konsumen. Kedua jenis konsumen ini saling terkait. Perubahan permintaan di konsumen akan memengaruhi permintaan dari mitra, begitu juga sebaliknya. “Nah, pemberian pajak di satu sisi bisa jadi akan memengaruhi permintaan konsumen dan pada akhirnya mitra juga akan berkurang,” ujar dia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mencatat setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dari perusahaan luar negeri atas PMSE di dalam negeri seperti Netflix hingga Spotify, baru sebesar Rp97 miliar.