Rekomendasi Impor Produk Hortikultura Didorong Harus Transparan
A
A
A
JAKARTA - Penerbitan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk komoditas bawang putih dengan total volume 103.000 ton dinilai seharusnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Hal ini demi mengesampingkan dugaan-dugaan adanya kepentingan tertentu, termasuk politik di dalamnya.
Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro menyoroti, ketidaktransparanan Kementerian Pertanian (Kementan) dalam pemberian RIPH. Padahal menurutnya persoalan ketidaktransparanan itu juga menjadi pemicu kegaduhan saat DPR mengundang berbagai pihak, termasuk asosiasi terkait bawang putih.
"Nah itukan diributin waktu kita ngundang asosiasi. Jadi RIPH nya pilih-pilih tidak transparan, banyak yang tidak dapat. Harusnya transparan terbuka saja. Waktu RDP asosiasi pada protes. Perusahaan yang bagus dikasih, yang tidak bagus jangan," kata Darori kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Menurutnya asosiasi perlu diajak komunikasi bersama untuk menelisik perusahaan yang mengajukan RIPH, serta didorong adanya pengawasan yang tegas."Jadi, kementan harus transparan dan terbuka," pintanya.
Selain itu, Dewan juga menilai ada peraturan yang aneh menjelang pergantian menteri harusnya diselisik dan diklarifikasi penerapannya terhadap importir. "Harusnya importir wajib menanam 5 persen dari rencana. Nah, sekarang terbalik. Nanamnya nanti. Kalau saya usulkan ada jaminan dalam tanaman bawang. Jadi importir deposit uang seluas rencana tanamannya," saran Darori.
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi pada kesempatan berbeda, mendesak menerangkan, bukan saja soal urgensi impor tapi juga perusahaan pengimpor. Ia menukas, transparansi sangat perlu untuk menegaskan ada-tidaknya kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik.
Untuk itu, Uchok minta pemerintah terbuka kepada publik. "Harus ada pengawasan dari KPK atas pemberian RIPH agar pengambilan keputusan ini bukan untuk mengakomodir kepentingan, misalnya partai politik," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Liliek Srie Utami mengatakan, proses RIPH bawang putih sudah diajukan para importir sejak pertengahan November 2019 lalu. Menurut Liliek, keluarnya RIPH 103 ribu ton bawang itu juga bukan keputusan dadakan.
Ia mengaku, penerbitan RIPH bukan tiba-tiba karena ada rapat koordinasi bersama Kementerian Perdagangan dan Kantor Staf Presiden pada Kamis (6/2) lalu. "Kami memproses (RIPH) sejak 15 November 2019, jadi tidak serta merta dikeluarkan," ujarnya.
Sedangkan untuk daftar importir yang memiliki kuota, serta besarannya, ia mengaku tidak memegang datanya secara detail.
Di kesempatan berbeda, pengamat Ekonomi Muliadi Widjaja menilai ada yang kurang pas dengan impor ini. Dia pun menduga ada kepentingan turut serta dalam penunjukan importir. Dugaan itu menurutnya wajar mengemuka lantaran petani selalu 'kalah' dengan importir. "Importir selalu dimenangkan daripada petani, karena ada dugaan setoran importir," katanya.
Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro menyoroti, ketidaktransparanan Kementerian Pertanian (Kementan) dalam pemberian RIPH. Padahal menurutnya persoalan ketidaktransparanan itu juga menjadi pemicu kegaduhan saat DPR mengundang berbagai pihak, termasuk asosiasi terkait bawang putih.
"Nah itukan diributin waktu kita ngundang asosiasi. Jadi RIPH nya pilih-pilih tidak transparan, banyak yang tidak dapat. Harusnya transparan terbuka saja. Waktu RDP asosiasi pada protes. Perusahaan yang bagus dikasih, yang tidak bagus jangan," kata Darori kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Menurutnya asosiasi perlu diajak komunikasi bersama untuk menelisik perusahaan yang mengajukan RIPH, serta didorong adanya pengawasan yang tegas."Jadi, kementan harus transparan dan terbuka," pintanya.
Selain itu, Dewan juga menilai ada peraturan yang aneh menjelang pergantian menteri harusnya diselisik dan diklarifikasi penerapannya terhadap importir. "Harusnya importir wajib menanam 5 persen dari rencana. Nah, sekarang terbalik. Nanamnya nanti. Kalau saya usulkan ada jaminan dalam tanaman bawang. Jadi importir deposit uang seluas rencana tanamannya," saran Darori.
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi pada kesempatan berbeda, mendesak menerangkan, bukan saja soal urgensi impor tapi juga perusahaan pengimpor. Ia menukas, transparansi sangat perlu untuk menegaskan ada-tidaknya kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik.
Untuk itu, Uchok minta pemerintah terbuka kepada publik. "Harus ada pengawasan dari KPK atas pemberian RIPH agar pengambilan keputusan ini bukan untuk mengakomodir kepentingan, misalnya partai politik," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Liliek Srie Utami mengatakan, proses RIPH bawang putih sudah diajukan para importir sejak pertengahan November 2019 lalu. Menurut Liliek, keluarnya RIPH 103 ribu ton bawang itu juga bukan keputusan dadakan.
Ia mengaku, penerbitan RIPH bukan tiba-tiba karena ada rapat koordinasi bersama Kementerian Perdagangan dan Kantor Staf Presiden pada Kamis (6/2) lalu. "Kami memproses (RIPH) sejak 15 November 2019, jadi tidak serta merta dikeluarkan," ujarnya.
Sedangkan untuk daftar importir yang memiliki kuota, serta besarannya, ia mengaku tidak memegang datanya secara detail.
Di kesempatan berbeda, pengamat Ekonomi Muliadi Widjaja menilai ada yang kurang pas dengan impor ini. Dia pun menduga ada kepentingan turut serta dalam penunjukan importir. Dugaan itu menurutnya wajar mengemuka lantaran petani selalu 'kalah' dengan importir. "Importir selalu dimenangkan daripada petani, karena ada dugaan setoran importir," katanya.
(akr)