Omnibus Law Cipta Kerja, Pengusaha Tetap Perhatikan Perlindungan Buruh
A
A
A
JAKARTA - Ketua Himpunan Pengusaha Kosgoro 1975 DKI Jakarta Syafi Djohan menilai kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja sebagai upaya menciptakan iklim usaha yang kompetitif di tengah tantangan globalisasi ekonomi dan kemajuan teknologi informasi. Kondisi tersebut dipengaruhi dari ketegangan geopolitik dunia antara lain Perang Dagang AS-China, demonstrasi di Hong Kong, hubungan politik Jepang-Korea Selatan, ketegangan AS-Iran dan Brexit yang diproyeksi akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2020.
Sementara di dalam negeri, pemerintah berupaya menyediakan lapangan kerja kepada angkatan kerja yang bertambah sekitar 2 juta orang setiap tahunnya. Pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR RI untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 pada Rabu (12/2) kemarin setelah melewati pembahasan yang cukup panjang. RUU ini dilaporkan akan berdampak pada 79 Undang-Undang (UU).
Dari 11 kluster yang ada dalam pembahasan, perhatian masyarakat banyak tertuju pada isu-isu ketenagakerjaan. Terkait hal ini, Syafi memandang perlu ada kehati-hatian dalam menafsirkan pasal-pasal yang disorot seperti upah minimun, perubahan jam kerja, kerja kontrak, dan pesangon.
"Perlindungan terhadap buruh tetap menjadi perhatian pengusaha. Kita perlu melihat perubahan-perubahan ekonomi digital dan global secara menyeluruh dan komprehensif," kata Syafi di Jakarta, Minggu (17/2/2020).
Menurutnya, ekonomi digital telah mengubah iklim usaha dan kualitas SDM agar bekerja secara efisien dan kompetitif. RUU Cipta Kerja melalui Omnibus Law diharapkan bisa memberikan kemudahan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha dan meningkatkan investasi yang masuk ke Indonesia.
Dengan demikian terang dia masyarakat akan diuntungkan dengan ketersediaan lapangan kerja seluas-luasnya dan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi. "Tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi informasi harus kita cari jalan keluar. Ada banyak perubahan fundamental. Di sisi lain, pengusaha berharap tenaga kerja kita semakin berdaya saing," ungkap Syafi.
Keberatan atas pasal-pasal yang disampaikan buruh merupakan hak bagi setiap warga negara. Namun, Syafi mengatakan keberatan tersebut hendaknya disampaikan melalui mekanisme pembentukan UU di DPR RI.
Sementara di dalam negeri, pemerintah berupaya menyediakan lapangan kerja kepada angkatan kerja yang bertambah sekitar 2 juta orang setiap tahunnya. Pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR RI untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 pada Rabu (12/2) kemarin setelah melewati pembahasan yang cukup panjang. RUU ini dilaporkan akan berdampak pada 79 Undang-Undang (UU).
Dari 11 kluster yang ada dalam pembahasan, perhatian masyarakat banyak tertuju pada isu-isu ketenagakerjaan. Terkait hal ini, Syafi memandang perlu ada kehati-hatian dalam menafsirkan pasal-pasal yang disorot seperti upah minimun, perubahan jam kerja, kerja kontrak, dan pesangon.
"Perlindungan terhadap buruh tetap menjadi perhatian pengusaha. Kita perlu melihat perubahan-perubahan ekonomi digital dan global secara menyeluruh dan komprehensif," kata Syafi di Jakarta, Minggu (17/2/2020).
Menurutnya, ekonomi digital telah mengubah iklim usaha dan kualitas SDM agar bekerja secara efisien dan kompetitif. RUU Cipta Kerja melalui Omnibus Law diharapkan bisa memberikan kemudahan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha dan meningkatkan investasi yang masuk ke Indonesia.
Dengan demikian terang dia masyarakat akan diuntungkan dengan ketersediaan lapangan kerja seluas-luasnya dan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi. "Tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi informasi harus kita cari jalan keluar. Ada banyak perubahan fundamental. Di sisi lain, pengusaha berharap tenaga kerja kita semakin berdaya saing," ungkap Syafi.
Keberatan atas pasal-pasal yang disampaikan buruh merupakan hak bagi setiap warga negara. Namun, Syafi mengatakan keberatan tersebut hendaknya disampaikan melalui mekanisme pembentukan UU di DPR RI.
(akr)