Industri Hulu Migas Dukung Penerapan Dua Skema Kontrak Migas
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pelaku industri hulu minyak dan gas bumi (migas) mendukung langkah pemerintah memberikan keleluasaan bagi investor untuk memilih dua opsi skema kontrak baik itu cost recovery (production sharing contract/PSC) maupun gross split. Fleksibilitas skema kontrak dalam penawaran lelang wilayah kerja diharapkan mampu mendorong investasi hulu migas.
Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia Azi Alam mengatakan, kelonggaran pemilihan skema kontrak antara cost recovery atau gross split penting bagi investor. Apalagi tak semua lapangan migas mempunyai pendekatan yang sama dalam realisasinya.
“Kami menyambut baik dibukanya dua opsi baik itu gross split maupun cost recovery, karena setiap lapangan mempunyai karakter yang berbeda-beda. Sehingga pendekatan terhadap pengembangan juga harus disesuikan risikonya,” ujar dia di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Dukungan penerapan fleksibilitas kontrak tersebut juga disampaikan Direktur Utama Medco Energi Hilmi Panigoro. Pihaknya beranggapan penerapan dua skema kontrak investor hulu migas akan lebih leluasa memilih mekanisme kontrak di setiap lapangan migas sehingga diyakini dapat meningkatkan investasi di sektor hulu migas.
Namun supaya lebih menarik investasi lagi, pihaknya menyarankan diterapkan kombinasi syarat komersil supaya lebih kompetitif bagi industri hulu migas. Adapun penerapan kombinasi syarat komersil tersebut dapat diberikan melalui split bagi hasil, perpajakan dan sebagainya.
Menurut dia, pertimbangan terkait kompetitif bagi pelaku industri hulu migas itu telah dilakukan oleh negara-negara lain. Pasalnya, kompetitif menjadi syarat utama keberlangsungan industri hulu migas.
Sebab itu, kata dia, pemerintah wajib mempelajari perbandingan skema kontrak bagi hasil dengan negara lain. “Setelah itu, tentukan kombinasi parameter yang lebih baik dari negara-negara kompetitor kita,” kata dia.
Sementara itu, Anggota DPR Komisi VII Kardaya Warnika juga mendukung langkah pemerintah menerapkan fleksibilitas skema kontrak. Penerapan dua skema kontrak diyakini mampu meningkatkan investasi hulu migas di dalam negeri. Pasalnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir investasi hulu migas mengalami penurunan.
“Investor yang sudah ada pada lari keluar. Larinya itu bukan karena potensi negara lain lebih bagus tapi seperti ke Vietnam dan Myanmar,” kata dia.
Pihaknya menuding turunnya investasi hulu migas akibat pada cabut dari Indonesia disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum terhadap penerapan skema kontrak utamanya mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) menggunakan kontrak bagi hasil gross split dengan menghilanglam skema cost recovery.
“Kontrak gross split jadi masalah besar bagi kita. Investor besar tidak mau masuk karena gross split. Pada dasarnya gross split yang diterapkan di Indonesia bukan versi aselinya,” tandas dia.
Pakar Energi dari Universitas Tri Sakti sekaligus Pendiri ReforMiners Institute Pri Agung Rakhmanto menyambut juga positif fleksibilitas kontrak yang ditawarkan pemerintah.
Menurut dia, langkah tersebut dinilai tepat untuk mendorong investasi hulu migas. Bahkan, pemerintah disarankan untuk membuka opsi mengkaji sistem kontrak tax & royalty jika dirasa perlu. “Tax royalty adalah versi asli dari gross split namun lebih sederhana,” kata Pri Agung.
Sebagai informasi, sistem kontrak tax & royalty dianggap lebih simpel karena negara hanya mendapatkan hasil bersih dalam bentuk pajak dan royalti. Sistem tax & royalty dinilai menjadi menarik karena di samping simpel dalam birokrasi pemerintah juga tidak memungut terlalu besar dari royaltinya.
Rata-rata royalti hanya sekitar 20% bahkan lebih rendah. Tidak seperti gross split yang base split pemerintah untuk minyak sudah sebesar 57%.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana melelang wilayah kerja (WK) migas tahap I tahun 2020 pada kuartal I/2020. Dalam lelang tersebut, pemerintah akan mulai menawarkan dua opsi skema kontrak migas gross split dan cost recovery.
Kebijakan tersebut berbeda dengan aturan lelang sebelumnya yang mewajibkan KKKS menggunakan skema gross split yang disinyalir menjadi penyebab lelang blok migas sepi peminat.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas pada Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Mustafid mengatakan bahwa Kementerian ESDM akan menawarkan dua skema kontrak migas dalam lelang 12 blok migas tahun ini.
Rinciannya Kementerian ESDM akan melelang 10 blok migas konvensional dan 2 blok migas non-konvensional. Muftafid menargetkan 10 blok konvensioal akan selesai pada semester 1/2020 selanjutnya dilakukan 2 lelang blok migas non-konvensional.
“Sudah kami siapkan untuk skemanya akan dilihat dari sisi teknis apakah cost recovery atau gross split, yang jelas dari pimpinan terbuka tergantung hasil teknis,” ungkap Mustafid.
Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia Azi Alam mengatakan, kelonggaran pemilihan skema kontrak antara cost recovery atau gross split penting bagi investor. Apalagi tak semua lapangan migas mempunyai pendekatan yang sama dalam realisasinya.
“Kami menyambut baik dibukanya dua opsi baik itu gross split maupun cost recovery, karena setiap lapangan mempunyai karakter yang berbeda-beda. Sehingga pendekatan terhadap pengembangan juga harus disesuikan risikonya,” ujar dia di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Dukungan penerapan fleksibilitas kontrak tersebut juga disampaikan Direktur Utama Medco Energi Hilmi Panigoro. Pihaknya beranggapan penerapan dua skema kontrak investor hulu migas akan lebih leluasa memilih mekanisme kontrak di setiap lapangan migas sehingga diyakini dapat meningkatkan investasi di sektor hulu migas.
Namun supaya lebih menarik investasi lagi, pihaknya menyarankan diterapkan kombinasi syarat komersil supaya lebih kompetitif bagi industri hulu migas. Adapun penerapan kombinasi syarat komersil tersebut dapat diberikan melalui split bagi hasil, perpajakan dan sebagainya.
Menurut dia, pertimbangan terkait kompetitif bagi pelaku industri hulu migas itu telah dilakukan oleh negara-negara lain. Pasalnya, kompetitif menjadi syarat utama keberlangsungan industri hulu migas.
Sebab itu, kata dia, pemerintah wajib mempelajari perbandingan skema kontrak bagi hasil dengan negara lain. “Setelah itu, tentukan kombinasi parameter yang lebih baik dari negara-negara kompetitor kita,” kata dia.
Sementara itu, Anggota DPR Komisi VII Kardaya Warnika juga mendukung langkah pemerintah menerapkan fleksibilitas skema kontrak. Penerapan dua skema kontrak diyakini mampu meningkatkan investasi hulu migas di dalam negeri. Pasalnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir investasi hulu migas mengalami penurunan.
“Investor yang sudah ada pada lari keluar. Larinya itu bukan karena potensi negara lain lebih bagus tapi seperti ke Vietnam dan Myanmar,” kata dia.
Pihaknya menuding turunnya investasi hulu migas akibat pada cabut dari Indonesia disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum terhadap penerapan skema kontrak utamanya mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) menggunakan kontrak bagi hasil gross split dengan menghilanglam skema cost recovery.
“Kontrak gross split jadi masalah besar bagi kita. Investor besar tidak mau masuk karena gross split. Pada dasarnya gross split yang diterapkan di Indonesia bukan versi aselinya,” tandas dia.
Pakar Energi dari Universitas Tri Sakti sekaligus Pendiri ReforMiners Institute Pri Agung Rakhmanto menyambut juga positif fleksibilitas kontrak yang ditawarkan pemerintah.
Menurut dia, langkah tersebut dinilai tepat untuk mendorong investasi hulu migas. Bahkan, pemerintah disarankan untuk membuka opsi mengkaji sistem kontrak tax & royalty jika dirasa perlu. “Tax royalty adalah versi asli dari gross split namun lebih sederhana,” kata Pri Agung.
Sebagai informasi, sistem kontrak tax & royalty dianggap lebih simpel karena negara hanya mendapatkan hasil bersih dalam bentuk pajak dan royalti. Sistem tax & royalty dinilai menjadi menarik karena di samping simpel dalam birokrasi pemerintah juga tidak memungut terlalu besar dari royaltinya.
Rata-rata royalti hanya sekitar 20% bahkan lebih rendah. Tidak seperti gross split yang base split pemerintah untuk minyak sudah sebesar 57%.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana melelang wilayah kerja (WK) migas tahap I tahun 2020 pada kuartal I/2020. Dalam lelang tersebut, pemerintah akan mulai menawarkan dua opsi skema kontrak migas gross split dan cost recovery.
Kebijakan tersebut berbeda dengan aturan lelang sebelumnya yang mewajibkan KKKS menggunakan skema gross split yang disinyalir menjadi penyebab lelang blok migas sepi peminat.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas pada Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Mustafid mengatakan bahwa Kementerian ESDM akan menawarkan dua skema kontrak migas dalam lelang 12 blok migas tahun ini.
Rinciannya Kementerian ESDM akan melelang 10 blok migas konvensional dan 2 blok migas non-konvensional. Muftafid menargetkan 10 blok konvensioal akan selesai pada semester 1/2020 selanjutnya dilakukan 2 lelang blok migas non-konvensional.
“Sudah kami siapkan untuk skemanya akan dilihat dari sisi teknis apakah cost recovery atau gross split, yang jelas dari pimpinan terbuka tergantung hasil teknis,” ungkap Mustafid.
(ind)