Sulit Proyeksi Bisnis, Industri Hasil Tembakau Minta Kepastian ke Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Jelang kuartal pertama di tahun 2020, para pelaku industri hasil tembakau bersiap mengkalkulasikan dampak dari kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35%. Disinyalir oleh Gabungan Pabrik Rokok (Gapero), dampak negatif atas penurunan pendapatan hampir bisa dipastikan terjadi, meskipun belum ada perhitungan resminya.
"Jika dilihat dari tren tiga tahun terakhir saja, kenaikan cukai 10% berdampak pada penurunan sebesar 1-2%," ungkap Ketua Umum Gapero Sulami Bahar dalam keterangannya, Jumat (21/2/2020).
Kenaikan tarif cukai yang terus berubah setiap tahun sejak masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menimbulkan kebingungan bagi pelaku industri, salah satunya dengan kesulitan pengusaha untuk memproyeksikan bisnisnya dalam jangka panjang. Padahal, kata Sulami, investasi di industri rokok bukan sembarangan dan nilainya besar. "Tapi kondisinya di lapangan justru banyak pembatasan," keluhnya.
Menurut Gapero, Industri Hasil Tembakau (IHT) kerap menjadi sorotan dari berbagai sektor. Pro dan kontra atas usaha ini mengakibatkan banyaknya aturan eksesif yang lantas membebani ruang gerak pelaku IHT, mulai dari aturan peredaran, isu pembatasan kemasan, sampai yang paling baru, kenaikan tarif cukai dan harga jual per batangnya.
Hal ini menurutnya lantas menimbulkan pertanyaan, yakni apakah industri ini masih dianggap strategis oleh negara. Gapero mempertanyakan hal ini didasari keheranan melihat tren kebijakan yang terus menghukum sisi produsen, alih-alih membagikan kontrol kepada semua pihak.
"Kami menyadari produk rokok ini memiliki risiko, karenanya kami sangat mendukung upaya-upaya edukasi dan sosialisasi agar produk ini dikonsumsi secara bijak oleh orang dewasa. Selayaknya hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang semua pihak harus ikut mengontrol. Kebijakan yang sangat menekan ini membuat kami bertanya-tanya, apakah IHT masih dipandang strategis atau tidak. Jika iya, tolong diberikan perlakuan yang adil," tandasnya.
Kenaikan rata-rata tarif cukai yang mencapai level sampai 35% di awal tahun 2020 berdampak langsung pada kenaikan harga produk rokok oleh sejumlah perusahaan. Imbasnya, sejumlah pabrikan kemungkinan akan melakukan proyeksi ulang atas target penjualan. Kendati belum ada perhitungan resmi akan penurunan dampak ekonomi, Sulami juga menyebutkan pihaknya pernah melakukan riset kecil di awal tahun terhadap pabrikan kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Menurutnya, mulai banyak pabrikan skala kecil yang mulai tutup. Secara berturut-turut, industri yang secara legal beroperasi di Indonesia ini sudah menyusut jumlah pabrikannya secara signifikan. Berdasarkan data Dirjen Bea dan Cukai, jumlah pabrik rokok terus mengalami pengurangan sejak 2011.
Secara rinci, pada tahun 2011 terdapat sejumlah 1.540 pabrik. Kemudian di tahun 2012 menyusut menjadi 1.000 pabrik. Selanjutnya, pada 2013 menjadi 800 pabrik, tahun 2014 700 pabrik, tahun 2015 600 pabrik, dan tahun 2016 dan 2017 tinggal sejumlah 487 pabrik rokok.
Penyusutan jumlah pabrikan juga berdampak pada pengurangan serapan komoditas tembakau. Kasubdit Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian Haris Darmawan, dalam diskusi Pola Kemitraan dalam Pertanian Tembakau mengatakan, IHT juga mengurangi produksi rokok sehingga berpengaruh terhadap tembakau yang dihasilkan petani. Ia menjelaskan, sejak isu cukai rokok mencuat pada tahun lalu, harga jual tembakau di tingkat petani cenderung turun.
Di sisi lain, industri tembakau telah mengakar bahkan menjadi sandaran hidup bagi banyak sekali masyarakat Indonesia. Contohnya adalah para petani tembakau di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dikenal sebagai daerah penghasil komoditas tembakau Virginia terbaik nasional. Dari sekitar 40.000 ton produksi tembakau Virgina dalam negeri untuk kebutuhan nasional, diperkirakan 80% berasal dari pertanian tembakau di Lombok. Hal ini menjadikan tembakau sebagai sumber penghidupan masyarakat sekitar.
Menurut pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Mataram H Tajidan, komoditas ini bahkan menjadi andalan petani untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Usaha tani tembakau merupakan usaha padat modal dan tenaga kerja yang pada akhirnya bisa menghidupkan banyak lembaga-lembaga keuangan di tingkat perdesaan.
"Tahun 2019, jumlah petani dan pengoven tembakau diperkirakan berjumlah 20.000 orang, dan serapan tenaga kerja sekitar 156.000 orang. Perkebunan tembakau di Lombok tidak hanya membuka peluang kerja di area kebun, tetapi juga membuka peluang kerja lain seperti bidang usaha luar pertanian, seperti dagang, jasa angkutan," paparnya.
Dengan signifikannya peran industri tembakau, para pengusaha di industri tembakau, khususnya yang dinaungi Gapero, angkat suara menegaskan perlunya proteksi. Gapero menyatakan bahwa industri ini sudah memberikan banyak kontribusi baik bagi negara maupun masyarakat.
"IHT ini penyumbang nomor dua terbesar pendapatan negara, maka dari itu harus ada perlindungan, bukan malah hukuman. Kedua, kalau kita melihat kondisi petani-petani di sentra penghasil tembakau seperti Temanggung dan Kediri, banyak dari mereka yang memiliki penghidupan layak, seperti memiliki mobil, rumah, bahkan naik haji. Semua dari IHT, maka akan sangat disayangkan kalau industri ini terus menerus digerus oleh ketidakpastian kebijakan," tuturnya.
Seiring dengan upaya mendapatkan perlindungan, Gapero juga menekankan perlunya kepastian peraturan di masa datang. Dalam pernyataannya, Sulami juga meminta agar pemerintah mau memandang situasi secara adil dan berpihak pada pengusaha yang lebih kecil, termasuk seluruh pelaku IHT di dalamnya.
"Kami juga meminta kebijakan penyederhanaan tarif cukai tidak dilanjutkan, dan sebaiknya memberikan ruang kepada asosiasi terkait untuk duduk bersama mencari solusi terbaik. Aturan yang ada saat ini sudah sangat menekan pelaku usaha, dampaknya sudah mulai terasa. Jangan terus industri ini dikebiri jika masih dipandang strategis," pungkasnya.
"Jika dilihat dari tren tiga tahun terakhir saja, kenaikan cukai 10% berdampak pada penurunan sebesar 1-2%," ungkap Ketua Umum Gapero Sulami Bahar dalam keterangannya, Jumat (21/2/2020).
Kenaikan tarif cukai yang terus berubah setiap tahun sejak masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menimbulkan kebingungan bagi pelaku industri, salah satunya dengan kesulitan pengusaha untuk memproyeksikan bisnisnya dalam jangka panjang. Padahal, kata Sulami, investasi di industri rokok bukan sembarangan dan nilainya besar. "Tapi kondisinya di lapangan justru banyak pembatasan," keluhnya.
Menurut Gapero, Industri Hasil Tembakau (IHT) kerap menjadi sorotan dari berbagai sektor. Pro dan kontra atas usaha ini mengakibatkan banyaknya aturan eksesif yang lantas membebani ruang gerak pelaku IHT, mulai dari aturan peredaran, isu pembatasan kemasan, sampai yang paling baru, kenaikan tarif cukai dan harga jual per batangnya.
Hal ini menurutnya lantas menimbulkan pertanyaan, yakni apakah industri ini masih dianggap strategis oleh negara. Gapero mempertanyakan hal ini didasari keheranan melihat tren kebijakan yang terus menghukum sisi produsen, alih-alih membagikan kontrol kepada semua pihak.
"Kami menyadari produk rokok ini memiliki risiko, karenanya kami sangat mendukung upaya-upaya edukasi dan sosialisasi agar produk ini dikonsumsi secara bijak oleh orang dewasa. Selayaknya hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang semua pihak harus ikut mengontrol. Kebijakan yang sangat menekan ini membuat kami bertanya-tanya, apakah IHT masih dipandang strategis atau tidak. Jika iya, tolong diberikan perlakuan yang adil," tandasnya.
Kenaikan rata-rata tarif cukai yang mencapai level sampai 35% di awal tahun 2020 berdampak langsung pada kenaikan harga produk rokok oleh sejumlah perusahaan. Imbasnya, sejumlah pabrikan kemungkinan akan melakukan proyeksi ulang atas target penjualan. Kendati belum ada perhitungan resmi akan penurunan dampak ekonomi, Sulami juga menyebutkan pihaknya pernah melakukan riset kecil di awal tahun terhadap pabrikan kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Menurutnya, mulai banyak pabrikan skala kecil yang mulai tutup. Secara berturut-turut, industri yang secara legal beroperasi di Indonesia ini sudah menyusut jumlah pabrikannya secara signifikan. Berdasarkan data Dirjen Bea dan Cukai, jumlah pabrik rokok terus mengalami pengurangan sejak 2011.
Secara rinci, pada tahun 2011 terdapat sejumlah 1.540 pabrik. Kemudian di tahun 2012 menyusut menjadi 1.000 pabrik. Selanjutnya, pada 2013 menjadi 800 pabrik, tahun 2014 700 pabrik, tahun 2015 600 pabrik, dan tahun 2016 dan 2017 tinggal sejumlah 487 pabrik rokok.
Penyusutan jumlah pabrikan juga berdampak pada pengurangan serapan komoditas tembakau. Kasubdit Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian Haris Darmawan, dalam diskusi Pola Kemitraan dalam Pertanian Tembakau mengatakan, IHT juga mengurangi produksi rokok sehingga berpengaruh terhadap tembakau yang dihasilkan petani. Ia menjelaskan, sejak isu cukai rokok mencuat pada tahun lalu, harga jual tembakau di tingkat petani cenderung turun.
Di sisi lain, industri tembakau telah mengakar bahkan menjadi sandaran hidup bagi banyak sekali masyarakat Indonesia. Contohnya adalah para petani tembakau di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dikenal sebagai daerah penghasil komoditas tembakau Virginia terbaik nasional. Dari sekitar 40.000 ton produksi tembakau Virgina dalam negeri untuk kebutuhan nasional, diperkirakan 80% berasal dari pertanian tembakau di Lombok. Hal ini menjadikan tembakau sebagai sumber penghidupan masyarakat sekitar.
Menurut pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Mataram H Tajidan, komoditas ini bahkan menjadi andalan petani untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Usaha tani tembakau merupakan usaha padat modal dan tenaga kerja yang pada akhirnya bisa menghidupkan banyak lembaga-lembaga keuangan di tingkat perdesaan.
"Tahun 2019, jumlah petani dan pengoven tembakau diperkirakan berjumlah 20.000 orang, dan serapan tenaga kerja sekitar 156.000 orang. Perkebunan tembakau di Lombok tidak hanya membuka peluang kerja di area kebun, tetapi juga membuka peluang kerja lain seperti bidang usaha luar pertanian, seperti dagang, jasa angkutan," paparnya.
Dengan signifikannya peran industri tembakau, para pengusaha di industri tembakau, khususnya yang dinaungi Gapero, angkat suara menegaskan perlunya proteksi. Gapero menyatakan bahwa industri ini sudah memberikan banyak kontribusi baik bagi negara maupun masyarakat.
"IHT ini penyumbang nomor dua terbesar pendapatan negara, maka dari itu harus ada perlindungan, bukan malah hukuman. Kedua, kalau kita melihat kondisi petani-petani di sentra penghasil tembakau seperti Temanggung dan Kediri, banyak dari mereka yang memiliki penghidupan layak, seperti memiliki mobil, rumah, bahkan naik haji. Semua dari IHT, maka akan sangat disayangkan kalau industri ini terus menerus digerus oleh ketidakpastian kebijakan," tuturnya.
Seiring dengan upaya mendapatkan perlindungan, Gapero juga menekankan perlunya kepastian peraturan di masa datang. Dalam pernyataannya, Sulami juga meminta agar pemerintah mau memandang situasi secara adil dan berpihak pada pengusaha yang lebih kecil, termasuk seluruh pelaku IHT di dalamnya.
"Kami juga meminta kebijakan penyederhanaan tarif cukai tidak dilanjutkan, dan sebaiknya memberikan ruang kepada asosiasi terkait untuk duduk bersama mencari solusi terbaik. Aturan yang ada saat ini sudah sangat menekan pelaku usaha, dampaknya sudah mulai terasa. Jangan terus industri ini dikebiri jika masih dipandang strategis," pungkasnya.
(fjo)