AS Keluarkan RI dari Daftar Negara Berkembang, Ekonom: Daya Saing Bakal Turun
A
A
A
JAKARTA - Langkah Amerika Serikat (AS) yang menghapus Indonesia bersama dengan beberapa negara lain dari daftar negara berkembang, menurut ekonom Indef Bhima Yudisthira akan merugikan Indonesia. Pasalnya Indonesia sebagai negara penerima GSP (Generalized System of Preferences), yang selama ini menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS akan kehilangan daya saingnya.
"GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin, kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi, kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Dia menambahkan, dampak pencoretan Indonesia akan berimplikasi besar GSP. Implikasi ini akan mengurangi produk eskpor Indonesia ke AS. "Tercatat dari Januari hingga November 2019 ada USD2,5 miliar, nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP," ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespons dengan tenang mengenai Kantor Perwakilan Perdagangan AS (Office of the US Trade Representative/USTR), yang mencabut preferensi khusus untuk daftar anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) termasuk Brasil, India, Indonesia, dan Afrika Selatan.
Penghapusan negara-negara ini dari daftar internal negara-negara berkembang akan membuat AS lebih mudah untuk menyelidiki, apakah negara-negara ini adil atau tidak dalam melakukan subsidi ekspor. "Kita tidak khawatir hal itu, belum tentu dengaan adanya pencabutan itu, bea masuk barang Indonesia akan naik," kata Airlangga.
Diakui Menko dengan adanya pencabutan ini, maka kemungkinan besar akan ada fasilitas negara yang bakal dikurangi karena Indonesia dinilai sudah menjadi negara maju. "Ya dampaknya tentu fasilitas negara berkembang akan dikurangi," jelasnya.
Sebagai informasi, kebijakan baru AS yang telah berlaku sejak 10 Februari 2020, Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least-Developed Countries sehingga Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Dalam pemberitahuan yang dikeluarkan pada 10 Februari, USTR mengatakan pihaknya merevisi metodologi negara berkembang untuk investigasi atas bea balik, sebuah bea yang dikenakan pada impor, karena pedoman negara sebelumnya dianggap sudah usang. Untuk memperbarui daftar internalnya, USTR mengatakan telah mempertimbangkan beberapa faktor ekonomi dan perdagangan, seperti tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dan bagian negara dari perdagangan dunia.
"GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin, kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi, kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Dia menambahkan, dampak pencoretan Indonesia akan berimplikasi besar GSP. Implikasi ini akan mengurangi produk eskpor Indonesia ke AS. "Tercatat dari Januari hingga November 2019 ada USD2,5 miliar, nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP," ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespons dengan tenang mengenai Kantor Perwakilan Perdagangan AS (Office of the US Trade Representative/USTR), yang mencabut preferensi khusus untuk daftar anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) termasuk Brasil, India, Indonesia, dan Afrika Selatan.
Penghapusan negara-negara ini dari daftar internal negara-negara berkembang akan membuat AS lebih mudah untuk menyelidiki, apakah negara-negara ini adil atau tidak dalam melakukan subsidi ekspor. "Kita tidak khawatir hal itu, belum tentu dengaan adanya pencabutan itu, bea masuk barang Indonesia akan naik," kata Airlangga.
Diakui Menko dengan adanya pencabutan ini, maka kemungkinan besar akan ada fasilitas negara yang bakal dikurangi karena Indonesia dinilai sudah menjadi negara maju. "Ya dampaknya tentu fasilitas negara berkembang akan dikurangi," jelasnya.
Sebagai informasi, kebijakan baru AS yang telah berlaku sejak 10 Februari 2020, Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least-Developed Countries sehingga Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Dalam pemberitahuan yang dikeluarkan pada 10 Februari, USTR mengatakan pihaknya merevisi metodologi negara berkembang untuk investigasi atas bea balik, sebuah bea yang dikenakan pada impor, karena pedoman negara sebelumnya dianggap sudah usang. Untuk memperbarui daftar internalnya, USTR mengatakan telah mempertimbangkan beberapa faktor ekonomi dan perdagangan, seperti tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dan bagian negara dari perdagangan dunia.
(ven)