Stabilkan Ekonomi Akibat Dampak Corona, Pemerintah Siap Intervensi Pasar

Rabu, 04 Maret 2020 - 07:15 WIB
Stabilkan Ekonomi Akibat...
Stabilkan Ekonomi Akibat Dampak Corona, Pemerintah Siap Intervensi Pasar
A A A
JAKARTA - Wabah virus corona berisiko membuat ekonomi global, termasuk Indonesia, dilanda krisis yang lebih besar dibandingkan 2009. Efeknya merosotnya kedatangan wisatawan asal China adalah penurunan bisnis perhotelan yang mengalami kemerosotan okupansi kamar secara signifikan, khususnya di daerah wisata seperti Bali dan Lombok. Begitu juga dengan restoran, pusat hiburan malam, dan perbelanjaan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan, pemerintah siap melakukan intervensi di pasar keuangan untuk mengantisipasi dampak wabah tersebut. "Entah itu di pasar saham, pasar surat berharga maupun di nilai tukar. Masing-masing kita mempunyai instrumen intervensi. Tujuannya agar market bereaksi secara relatif lebih rasional terhadap kemungkinan dampak coronavirus itu secara global," ujar Menkeu Sri Mulyani di Jakarta kemarin.

Pemerintah membandingkan tekanan ekonomi karena virus corona dengan krisis tahun 2008-2009, yang membutuhkan stimulus sebagai pendorong. Dalam situasi itu, insentif perpajakan bisa diberikan untuk memastikan aktivitas produksi tetap berjalan.

“Jadi, kebijakan pemberian stimulus ini dimaksudkan untuk mendorong agar kegiatan produksi, supaya tidak terkena dampaknya terlalu besar, dan apabila sudah terkena bagaimana memberikan ruang bernapas untuk mereka," katanya.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyiapkan langkah menghadapi dampak virus korona atau COVID-19 terhadap pasar keuangan. BI pun memutuskan menurunkan giro wajib minimum (GWM) valuta asing (valas) untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 4% yang semula 8% dari dana pihak ketiga (DPK), berlaku mulai 16 Maret 2020.

Adapun GWM rupiah untuk BUK diturunkan sebesar 50 basis poin. Penurunan ini ditujukan bagi perbankan yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor dan impor dalam pelaksanaannya telah berkoordinasi dengan pemerintah. Kebijakan ini mulai diterapkan pada 1 April 2020 dan berlaku selama sembilan bulan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, pemerintah perlu mencermati dampak ke pemutusan hubungan kerja di sektor pariwisata dan dampak ke penurunan pendapatan daerah. “Sejauh ini, kerugian mencapai USD500 juta per bulan dari sektor pariwisata," tuturnya.

Selanjutnya, kata Bhima, ekspor-impor pun terganggu dan pelebaran defisit neraca dagang dipastikan terjadi sepanjang 2020. Isolasi di beberapa kota China akan membuat konsumsi masyarakat serta kinerja industri melambat. Perekonomian China diperkirakan melambat di bawah 5% pada kuartal I/2020.

Permintaan komoditas bahan baku dari Indonesia pun menurutnya akan terimbasi parah. Jika ekonomi China melemah di bawah 5%, ekonomi Indonesia menurutnya bisa terjun ke angka 4-4,3%.

Di sisi lain, para pengusaha menyambut positif empat kebijakan stimulus pemerintah untuk menjamin kelancaran lalu lintas ekspor dan impor barang dalam mengantisipasi dampak merebaknya virus corona COVID-19.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani mengatakan, kebijakan tersebut dinilai tepat untuk kondisi saat ini mengingat pasar dalam kondisi kekurangan suplai bahan baku dan bahan pendukung produksi karena disrupsi produksi di China.

"Ke depannya, kita juga harus mengantisipasi adanya disrupsi produksi/suplai dari negara lain di mana wabah semakin berkembang seperti Jepang dan Korea. Kalau impor tidak dibuka, kondisi kelangkaan suplai tidak akan terkoreksi karena saat ini mencari suplai alternatif saja sudah sulit," ujarnya.

Shinta mengatakan perusahaan hampir tidak bisa menemukan sumber suplai alternatif karena kondisi kelangkaan suplai terjadi secara global. "Kalau mekanisme impor kita tidak di-bypass, butuh waktu sampai berbulan-bulan hingga barang suplai alternatifnya bisa digunakan untuk produksi oleh perusahaan. Kalau dibiarkan, industri akan lebih dulu tutup sebelum bahan baku produksinya sampai," ungkapnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, kemudahan dalam perizinan bahan baku sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, kelancaran logistik juga diperlukan untuk menjadi stimulus bagi industri.

"Karena kalau logistik tidak lancar, biaya di pelabuhan, biaya pengangkutan akan menjadi mahal. Dengan biaya mahal akan dibebankan ke konsumen. Ini sebenarnya dikejar pemerintah untuk menurunkan biaya logistik supaya jadi stimulus bagi industri dan ujungnya peningkatan daya saing kita," jelasnya. (Rina Anggraeni/Oktiani Endarwati)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7759 seconds (0.1#10.140)