Buyback Saham Tanpa RUPS Dinilai Rawan Spekulasi
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan untuk mempermudah perusahaan publik membeli kembali atau buyback saham tanpa harus menggelar RUPS dinilai rawan spekulasi. Ketua IKA FH UNPAD, Yudhi Wibisana mempertanyakan beberapa hal terkait sumber dana yang digunakan untuk aksi beli kembali, terutama oleh emiten yang baru beberapa bulan setelah penawaran saham perdana atau IPO.
"Tujuan IPO buat menggalang modal yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan revenue. Jika dana hasil dari IPO itu belum selesai digunakan, mengapa si emiten melakukan buyback, darimana dananya?" ujar Yudhi di Jakarta.
Sebagai informasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan buyback sebagai langkah antisipatif, mengingat kasus pandemi global COVID-19 (Virus Corona) menimbulkan dampak luar biasa besar bagi perekonomian Indonesia. Tidak terkecuali bursa saham juga tergerus akibat kondisi pasar dunia yang goncang. IHSG diindikasikan anjlok hingga 18,46% sejak pembukaan awal tahun 2020.
Untuk itu dituangkan kebijakan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan atau SEOJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tentang Kondisi Lain Sebagai Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan Dalam Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik.
Aturan baru tersebut membolehkan perusahaan publik membeli kembali sahamnya hingga 20 persen dari modal yang disetor. Dengan ini diharapkan pasar saham dapat lebih bertahan dari sentimen negatif yang mengakibatkan fluktuasi signifikan di bursa saham.
Dalam beberapa Keterbukaan Informasi, ada emiten-emiten yang hanya menyampaikan bahwa dananya berasal dari kas internal perseroan. “Istilah kas internal perseroan ini sangat luas. Cash, retained earning bahkan utang pun disimpannya di dalam kas internal perseroan.” Di sinilah, katanya, yang perlu diantisipasi OJK, jangan sampai ada emiten yang justru menunggangi atau memanfaatkan kondisi krisis untuk mengoleksi sahamnya sendiri.
Jika hal ini tidak diantisipasi dengan benar, dikuatirkan bursa saham akan terjebak dimainkan oleh para spekulan yang justru berasal dari pihak emiten sendiri. Ilustrasi terburuknya ialah, dalam situasi seperti sekarang ada pihak-pihak yang berafiliasi dengan emiten yang justru menunggu turunnya harga saham sampai di bawah harga normal.
"OJK pasti melek soal ini. Tapi jangan permisif. Saya kuatir ada pemain liar yang membonceng dalam situasi seperti ini dan akhirnya merugikan investor ritel," ujar Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini menambahkan.
Pada kesempatan yang sama, praktisi senior hukum pasar modal, Iwan Setiawan, tidak keberatan dengan beli kembali yang dilakukan dengan dana utang. Sebab hal itu tidak dilarang dalam regulasi. "Itu (utang) boleh-boleh saja. Bagaimana dampaknya? Soal itu enggak bisa diketahui sekarang," ungkapnya.
Pengacara senior dari firma hukum Makes & Partners ini justru mempertanyakan penetapan harga dalam aksi beli kembali, yang menurut pengamatannya tidak ada skema yang jelas. "Untuk buy back itu pakai harga yang mana? Pelaku pasar modal juga masih simpang siur. Ada yang bilang pakai harga umum. Harga umum maksudnya harga kapan? Padahal dalam kondisi yang berfluktuasi signifikan harga berubah sangat cepat. Hari ini ditutup sekian, besok waktu pembukaan tiba-tiba anjlok sekian persen," terangnya.
Iwan melihat hal-hal detail seperti itu mestinya tidak luput dari perhatian OJK. Meski demikian ia menyambut baik regulasi tersebut. Apalagi kebijakan serupa pernah diterapkan pada tahun-tahun sebelumnya. "Aturan buy back ini dasarnya dari POJK 2 tahun 2013. Pada 2015 kita pernah goyang juga, tapi sudah punya aturannya. Dan semoga saja kali ini efektif," ujarnya.
"Tujuan IPO buat menggalang modal yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan revenue. Jika dana hasil dari IPO itu belum selesai digunakan, mengapa si emiten melakukan buyback, darimana dananya?" ujar Yudhi di Jakarta.
Sebagai informasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan buyback sebagai langkah antisipatif, mengingat kasus pandemi global COVID-19 (Virus Corona) menimbulkan dampak luar biasa besar bagi perekonomian Indonesia. Tidak terkecuali bursa saham juga tergerus akibat kondisi pasar dunia yang goncang. IHSG diindikasikan anjlok hingga 18,46% sejak pembukaan awal tahun 2020.
Untuk itu dituangkan kebijakan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan atau SEOJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tentang Kondisi Lain Sebagai Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan Dalam Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik.
Aturan baru tersebut membolehkan perusahaan publik membeli kembali sahamnya hingga 20 persen dari modal yang disetor. Dengan ini diharapkan pasar saham dapat lebih bertahan dari sentimen negatif yang mengakibatkan fluktuasi signifikan di bursa saham.
Dalam beberapa Keterbukaan Informasi, ada emiten-emiten yang hanya menyampaikan bahwa dananya berasal dari kas internal perseroan. “Istilah kas internal perseroan ini sangat luas. Cash, retained earning bahkan utang pun disimpannya di dalam kas internal perseroan.” Di sinilah, katanya, yang perlu diantisipasi OJK, jangan sampai ada emiten yang justru menunggangi atau memanfaatkan kondisi krisis untuk mengoleksi sahamnya sendiri.
Jika hal ini tidak diantisipasi dengan benar, dikuatirkan bursa saham akan terjebak dimainkan oleh para spekulan yang justru berasal dari pihak emiten sendiri. Ilustrasi terburuknya ialah, dalam situasi seperti sekarang ada pihak-pihak yang berafiliasi dengan emiten yang justru menunggu turunnya harga saham sampai di bawah harga normal.
"OJK pasti melek soal ini. Tapi jangan permisif. Saya kuatir ada pemain liar yang membonceng dalam situasi seperti ini dan akhirnya merugikan investor ritel," ujar Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini menambahkan.
Pada kesempatan yang sama, praktisi senior hukum pasar modal, Iwan Setiawan, tidak keberatan dengan beli kembali yang dilakukan dengan dana utang. Sebab hal itu tidak dilarang dalam regulasi. "Itu (utang) boleh-boleh saja. Bagaimana dampaknya? Soal itu enggak bisa diketahui sekarang," ungkapnya.
Pengacara senior dari firma hukum Makes & Partners ini justru mempertanyakan penetapan harga dalam aksi beli kembali, yang menurut pengamatannya tidak ada skema yang jelas. "Untuk buy back itu pakai harga yang mana? Pelaku pasar modal juga masih simpang siur. Ada yang bilang pakai harga umum. Harga umum maksudnya harga kapan? Padahal dalam kondisi yang berfluktuasi signifikan harga berubah sangat cepat. Hari ini ditutup sekian, besok waktu pembukaan tiba-tiba anjlok sekian persen," terangnya.
Iwan melihat hal-hal detail seperti itu mestinya tidak luput dari perhatian OJK. Meski demikian ia menyambut baik regulasi tersebut. Apalagi kebijakan serupa pernah diterapkan pada tahun-tahun sebelumnya. "Aturan buy back ini dasarnya dari POJK 2 tahun 2013. Pada 2015 kita pernah goyang juga, tapi sudah punya aturannya. Dan semoga saja kali ini efektif," ujarnya.
(akr)