Harga Gas Industri Diturunkan, Masa Depan Industri Midstream Dipertaruhkan

Kamis, 19 Maret 2020 - 18:21 WIB
Harga Gas Industri Diturunkan, Masa Depan Industri Midstream Dipertaruhkan
Harga Gas Industri Diturunkan, Masa Depan Industri Midstream Dipertaruhkan
A A A
JAKARTA - akhirnya memutuskan untuk menurunkan harga gas untuk sejumlah industri menjadi USD6 per mmbtu per 1 April 2020. Menanggapi hal tersebut, Direktur Executive Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa keputusan ini akan berdampak kepada semua sektor.

"Terkait dengan penurunan harga gas untuk industri menjadi sebesar USD6 per mmbtu di plant gate konsumen saya kira ini akan berdampak pada semua sektor, baik itu hulu dan midstream," ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (19/3/2020).

Untuk sektor hulu, sebagaimana yang diutarakan oleh menteri ESDM, tidak ada pemotongan bagi KKKS, tapi pemotongan dari penerimaan negara. Sebagaimana diketahui, salah satu penerimaan negara yang terbesar adalah PNBP migas, dimana pada tahun 2019 nilainya mencapai Rp115,1 triliun.

Dengan kebijakan harga gas industri USD6 per mmbtu, ditambah turunnya harga minyak dunia saat ini, maka penerimaan negara dari PNBP migas sebagaimana ditargetkan dalam APBN 2020 sebesar Rp127,3 triliun menurut Mamit akan sulit dicapai.

Dengan kondisi seperti ini, sambung Mamit, SKK Migas harus melakukan pengawasan ketat kepada KKKS agar bisa lebih efiesien dalam pelaksanaan operasional. Melalui efisiensi diharapkan bisa membantu pengurangan pendapatan pemerintah. "Tapi, jangan sampai juga pengetatan ini menggangu investasi di sektor migas karena kita sedang berusaha untuk meningkatan produksi kita," imbuhnya.

Sementara sektor midstream, lanjut Mamit, menjadi sektor yang paling terpukul dengan penurunan harga gas industri ini. Dia menjelaskan, kebijakan penurunan harga gas untuk industri juga akan memukul PT PGN Tbk.

"Untuk midstream ini saya kira yang akan paling berdampak. Jika pemerintah menekan biaya distribusi dan transportasi turun menjadi USD1,5-2 per mmbtu maka ini akan sangat memberatkan industri midstream ini," ujarnya.

Kebijakan ini menurutnya berpotensi membuat PGN merugi. Hal ini dapat terjadi mengingat sebagai badan usana yang berniaga menggunakan infrastruktur, 95% biaya yang dikeluarkan PGN bersifat fixed cost.

"Pembangunan pipa transmisi, distribusi, dan pembangunan terminal regasifikasi untuk LNG semua sudah dilakukan dengan investasi yang tidak sedikit, jadi penurunan biaya capex sudah tidak mungkin dilakukan. Biaya operasi dan pemeliharaan jaringan juga tidak bisa dipangkas begitu saja karena terkait kehandalan jaringan pipa dan aspek safety," lanjut Mamit.

Mamit juga mengkhawatirkan nasib pengembangan industri midstream ke depan karena dianggap tidak lagi menguntungkan. Padahal, kata dia, untuk mendukung optimalisasi pemanfaatan gas bumi domestik, masih dibutuhkan banyak sekali investasi di infrastruktur gas bumi.

"Saya masih belum melihat secara detail dari rencana Menteri ESDM untuk sektor midstream ini ke depannya akan seperti apa," ujar dia.

Mamit menegaskan, perlu ada rencana dari pemerintah untuk bisa melindungi industri midstream. "Industri gas itu butuh infrastruktur dari wellhead sampai ke end user. Atau dari terminal LNG sampai ke end user. Jadi, jangan sampai sektor midstream menjadi terpukul akibat penurunan harga ini, dan pada akhirnya akan menghambat perkembangan industri gas bumi nasional," tandasnya.

Terkait arahan dari Presiden Joko Widodo bahwa industri yang diberikan insentif berupa penurunan harga gas harus diverifikasi dan dievaluasi, Mamit menilai Kementerian Perindustrian (Kemenperin) harus bertanggung jawab penuh. Kemenperin harus memastikan ada nilai tambah dari industri yang memperoleh insentif harga gas. "Pemerintah, badan usaha hulu migas, badan hilir migas sudah berkorban banyak," tegasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7058 seconds (0.1#10.140)