Corona Efek Membayangi Jika Mudik Lebaran 2020 Tidak Dilarang

Selasa, 07 April 2020 - 23:08 WIB
Corona Efek Membayangi Jika Mudik Lebaran 2020 Tidak Dilarang
Corona Efek Membayangi Jika Mudik Lebaran 2020 Tidak Dilarang
A A A
JAKARTA - Institut Studi Transportasi (Instran) mendesak pemerintah agar bertindak tegas terkait pelaksanaan Mudik Lebaran 2020 atau tahun 1441 H. Pasalnya ketidakjelasan kebijakan pulang kampung bisa membuat corona efek membesar yang berimbas terhadap sektor lain.

"Sejujurnya, saya tidak tahu persis apa yang berkecamuk dalam pemikiran para pengambil keputusan di negeri ini, termasuk Presiden Jokowi sehingga masalah putusan boleh mudik/tidak diputuskan secepatnya. Sampai Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun meminta MUI mengeluarkan fatwa MUI bahwa soal mudik haram," ucap Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas di Jakarta, Selasa (7/4/2020).

Menurutnya mengingat dilihat sejarahnya mudik itu lebih bersifat kultural, maka untuk mutusin boleh mudik/tidak boleh itu tidak perlu menunggu fatma MUI, tapi cukup diputuskan oleh pemerintah, dalam hal ini Presiden

Lanjut ia mengatakan, berdasarkan pengalaman mengenai larangan tidak boleh bersembahyang di tempat-tempat ibadah (Masjid, Gereja, Vihara, Pura, dan yang lainnya) di masa wabah corona (Covid-19) ini, dimana larangan tersebut juga dipatuhi masyarakat tanpa mengundang reaksi caci maki kepada pemerintah, maka semestinya larangan mudik itu pun bisa diputuskan sekarang tanpa takut di-bully.

"Pemerintah sendiri yang selalu mengatakan, tinggal di rumah dan hindari kerumunan, tapi masih memperbolehkan mudik. Sikap yang ambivalen ini jelas mencerminkan kekurang tegasan pemerintah dalam menghadapi wabah corona ini," tambah Darma.

Jika pemerintah menyadari bahwa kerumunan massa itu merupakan media yang efektif untuk penyebaran virus korona, maka mestinya larangan mudik itu diberlakukan karena mudik pasti akan menciptakan kerumunan massa di stasiun-stasiun, terminal-terminal, bandara, pelabuhan, rest area, dan sebagainya.

"Kecuali itu, untuk apa mudik bila sampai di kampung halaman juga pemudik itu harus diisolasi selama 14 hari, sehingga menambah beban Pemda karena harus menyiapkan infrastruktur untuk karantina/isolasi?," imbuhnya.

Bahaya dari mudik Lebaran 2020, menurut Darma, adalah akan menyebarkan virus ke seluruh wilayah tanah air, termasuk di desa-desa dan pesisir, akhirnya tidak ada wilayah di tanah air yang steril dari virus korona. Bila ini yang terjadi, masa tanggap darurat terhadap virus korona semekin tidak jelas batas waktunya.

Hal itu mengingat tidak ada satu pun RSUD di negeri ini yang memiliki peralatan lengkap untuk memeriksa Covid-19. Alat pelindung diri (APD) di desa juga terbatas dan mungkin harganya mahal. Jadi kalau Covid-19 sampai ke desa dan pesisir, itu dampaknya akan jauh lebih kompleks dan panjang.

"Dampak lebih buruk lagi adalah petani dan nelayan lumpuh sehingga akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Impor pangan di saat kurs dolar sangat tinggi akan berdampak kenaikkan harga pangan, sementara daya beli masyarakat anjlok karena semua usaha sudah tutup," ucap Darma.

Untuk itulah INSTRA menunggu ketegasan Presiden Jokowi untuk segera membuat keputusan Melarang Mudik Lebaran 2020 (1441 H).

"Jangan biarkan masyarakat bersabung nyawa di angkutan umum saat mudik atau di rest area dan jalan raya menghadapi kemungkinan terinfeksi virus korona yang menyebabkan sakit Covid 19. Lebih baik kalau virus korona itu dilokalisir di perkotaan saja yang fasilitas kesehatannya relative lengkap," tegasnya.

Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah yang membolehkan mudik dengan syarat angkutan umum hanya boleh mengangkut 50% dari kapasitas untuk menjaga jarak antar penumpang, namun tidak disertai dengan pemberian subsidi (membeli layanan angkutan umum) kepada operator, sebaliknya operator dipersilahkan menaikkan tariff, jelas merupakan kebijakan yang tidak manusiawi dan sama sekali tidak mencerminkan sense of crisis yang dialami oleh masyarakat.

Semestinya, kalau pemerintah membatasi penjualan tiket angkutan umum, maka selisih kapasitas yang tidak dijual itu ditanggung oleh Pemerintah, bukan dibebankan kepada warga konsumen. "Oleh karena itu lah daripada membiarkan warga bersabung nyawa saat mudik, lebih baik Pemerintah tegas melarang mudik Lebaran 2020," tutur Darma.

Ia menyampaikan bahwa hasil survei Balitbang Perhubungan Februari-Maret lalu terhadap 42.890 responden di wilayah Jabodetabek dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat keputusan secara tegas. Berdasarkan hasil survei tersebut, 56% responden menyatakan memilih tidak mudik, 37% belum menentukan akan mudik atau tidak, masih melihat situasi dan kondisi, dan hanya 7% saja yang menyatakan tegas akan mudik.

"Jika pemerintah segera memutuskan “Dilarang Mudik 2020”, secara otomatis yang 37% tersebut akan mengikuti keputusan pemerintah, dan yang yang 7% pun akan tunduk pada keputusan pemerintah," pungkasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6546 seconds (0.1#10.140)