Komisi XI Minta Transparansi Kebijakan Penanganan Dampak COVID-19
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mengritisi pelaksanaan teknis Perppu No. 1 tahun 2020 oleh pemerintah. Kebijakan tersebut bersifat antisipatif dan pandemi Covid-19 penuh ketidakpastian, sehingga pemerintah harus transparan menjelaskan.
"Kami percaya dan mendukung kebijakan ini sebagai langkah antisipatif dampak COVID-19. Namun juga harus dijelaskan landasan kebijakan dalam menentukan disiplin defisit kembali menjadi 3% di tahun 2023. Misalnya, skenario pemulihan seperti apa yang akan dilakukan dan bagaimana target pemulihan per tahunnya menuju persentase normal di 2023 nanti,” ujar Puteri di Jakarta, Selasa (8/4/2020).
Dia mengaku butuh kejelasan mengenai perincian pelaksanaan Pasal 2 Perppu No. 1 tahun 2020, yang menetapkan relaksasi batasan defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama tiga tahun hingga 2022. Nantinya akan kembali menjadi paling tinggi 3% pada 2023. Kebijakan ini disebut sebagai kebijakan darurat ekonomi.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti perihal masa berlaku dari Perppu tersebut untuk menghindari penyimpangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Menurut dia, meskipun defisit APBN disyaratkan kembali normal pada 2023, tetapi pasal tersebut tidak bisa dianggap sebagai parameter bahwa kebijakan darurat ekonomi berakhir pada tahun yang sama.
“Kita perlu membedakan antara darurat kesehatan karena pandemi COVID-19 dan ancaman perekonomian. Kalau pandemi berakhir, maka ancaman perekonomian akibat wabah ini diperkirakan akan berangsur-angsur berkurang. Namun, tentu akan perlu waktu," ujar dia.
Menurutnya nanti saat berakhirnya darurat kesehatan tentu tidak serta-merta juga menjadikan ekonomi membaik. Karena itulah, ketika semuanya sudah membaik, Perppu ini juga tidak secara langsung akan kadaluwarsa dengan sendirinya. "Inilah yang perlu diperjelas,” urai Puteri.
Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja (raker) bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada Senin (6/4) dan hari Selasa untuk membahas mengenai perkembangan kondisi perekonomian nasional di tengah wabah COVID-19.
Komisi XI mendukung penuh kebijakan yang diambil tetapi meminta pemerintah untuk tetap menganut prinsip keterbukaan dalam menjalankan wewenangnya.
Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganundito mengatakan pandemi COVID-19 berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami perlambatan, penurunan penerimaan negara, peningkatan belanja negara, nilai tukar rupiah, dan industri jasa keuangan. Sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk mencegah situasi semakin parah. "Langkah saat ini dengan memfokuskan belanja negara pada penanganan COVID-19 untuk sementara waktu,” ujar Dito.
Secara keseluruhan, Komisi XI mendukung upaya Kementerian Keuangan dalam penyusunan kebijakan keuangan negara dalam penanganan COVID-19, termasuk mitigasi dampak-dampaknya serta penyelamatan perekonomian nasional yang nantinya akan dilaporkan dan dibahas secara rutin bersama Komisi XI DPR RI. Namun dalam pelaksanaannya, Komisi XI DPR RI mengimbau menteri keuangan (Menkeu) untuk menganut prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan transparansi dalam menjalankan kewenangan tersebut.
Dalam merespons kondisi pandemi ini, pemerintah telah mengambil sejumlah kebijakan, antara lain memfokuskan anggaran untuk sektor kesehatan dan bantuan sosial, stimulus fiskal I, stimulus fiskal II, pelebaran batas defisit menjadi di atas 3% dari PDB, hingga peraturan yang baru saja diterbitkan, yaitu Perppu No. 1 tahun 2020.
“Defisit diperkirakan mencapai 5,07% dari PDB, meningkat dari Rp307,2 triliun menjadi Rp853 triliun. Angka ini diperoleh berdasarkan perubahan proyeksi pendapatan dan belanja negara tahun 2020, yaitu turunnya proyeksi pendapatan dan perkiraan akan adanya lonjakan dari sisi belanja untuk menangani dampak pandemi COVID-19,” papar Menkeu Sri Mulyani melalui video conference.
"Kami percaya dan mendukung kebijakan ini sebagai langkah antisipatif dampak COVID-19. Namun juga harus dijelaskan landasan kebijakan dalam menentukan disiplin defisit kembali menjadi 3% di tahun 2023. Misalnya, skenario pemulihan seperti apa yang akan dilakukan dan bagaimana target pemulihan per tahunnya menuju persentase normal di 2023 nanti,” ujar Puteri di Jakarta, Selasa (8/4/2020).
Dia mengaku butuh kejelasan mengenai perincian pelaksanaan Pasal 2 Perppu No. 1 tahun 2020, yang menetapkan relaksasi batasan defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama tiga tahun hingga 2022. Nantinya akan kembali menjadi paling tinggi 3% pada 2023. Kebijakan ini disebut sebagai kebijakan darurat ekonomi.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti perihal masa berlaku dari Perppu tersebut untuk menghindari penyimpangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Menurut dia, meskipun defisit APBN disyaratkan kembali normal pada 2023, tetapi pasal tersebut tidak bisa dianggap sebagai parameter bahwa kebijakan darurat ekonomi berakhir pada tahun yang sama.
“Kita perlu membedakan antara darurat kesehatan karena pandemi COVID-19 dan ancaman perekonomian. Kalau pandemi berakhir, maka ancaman perekonomian akibat wabah ini diperkirakan akan berangsur-angsur berkurang. Namun, tentu akan perlu waktu," ujar dia.
Menurutnya nanti saat berakhirnya darurat kesehatan tentu tidak serta-merta juga menjadikan ekonomi membaik. Karena itulah, ketika semuanya sudah membaik, Perppu ini juga tidak secara langsung akan kadaluwarsa dengan sendirinya. "Inilah yang perlu diperjelas,” urai Puteri.
Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja (raker) bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada Senin (6/4) dan hari Selasa untuk membahas mengenai perkembangan kondisi perekonomian nasional di tengah wabah COVID-19.
Komisi XI mendukung penuh kebijakan yang diambil tetapi meminta pemerintah untuk tetap menganut prinsip keterbukaan dalam menjalankan wewenangnya.
Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganundito mengatakan pandemi COVID-19 berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami perlambatan, penurunan penerimaan negara, peningkatan belanja negara, nilai tukar rupiah, dan industri jasa keuangan. Sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk mencegah situasi semakin parah. "Langkah saat ini dengan memfokuskan belanja negara pada penanganan COVID-19 untuk sementara waktu,” ujar Dito.
Secara keseluruhan, Komisi XI mendukung upaya Kementerian Keuangan dalam penyusunan kebijakan keuangan negara dalam penanganan COVID-19, termasuk mitigasi dampak-dampaknya serta penyelamatan perekonomian nasional yang nantinya akan dilaporkan dan dibahas secara rutin bersama Komisi XI DPR RI. Namun dalam pelaksanaannya, Komisi XI DPR RI mengimbau menteri keuangan (Menkeu) untuk menganut prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan transparansi dalam menjalankan kewenangan tersebut.
Dalam merespons kondisi pandemi ini, pemerintah telah mengambil sejumlah kebijakan, antara lain memfokuskan anggaran untuk sektor kesehatan dan bantuan sosial, stimulus fiskal I, stimulus fiskal II, pelebaran batas defisit menjadi di atas 3% dari PDB, hingga peraturan yang baru saja diterbitkan, yaitu Perppu No. 1 tahun 2020.
“Defisit diperkirakan mencapai 5,07% dari PDB, meningkat dari Rp307,2 triliun menjadi Rp853 triliun. Angka ini diperoleh berdasarkan perubahan proyeksi pendapatan dan belanja negara tahun 2020, yaitu turunnya proyeksi pendapatan dan perkiraan akan adanya lonjakan dari sisi belanja untuk menangani dampak pandemi COVID-19,” papar Menkeu Sri Mulyani melalui video conference.
(ind)