Asosiasi Produsen Alkes Ungkap Alasan Masker dan APD Melonjak
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) menyebut bahwa 90% bahan baku produksi alat pelindung diri (APD) dan alat kesehatan (alkes) berasal dari bahan baku impor. Bahkan, masker saja 30% yang produksi domestik dan sisanya impor. Untuk itu, pihaknya mengaku kewalahan untuk memproduksi lantaran bahan baku impor melonjak tajam.
“Produksi alkes dalam negeri, 90% bahan baku impor. Masker juga 30% produksi dalam negeri, 70% impor. Itu pun harga industri dalam negeri terintimidasi dengan harga impor dari China,” kata Ketua Aspaki Ade Tarya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Virtual dengan Komisi IX DPR, Rabu (8/4/2020).
Tarya menuturkan, berdasarkan catatan Aspaki, dari 300 lebih produsen alkes, hanya 107 yang menjadi anggota Aspaki. Industri masker dalam negeri tercatat ada 22, industri rapid test ada 10 dan hand sanitizer ada 20 industri. “Namun, hanya sebagian kecil saja yang menjadi anggota Aspaki karena tidak ada keharusan,” ujar Tarya.
Menurut Tarya, yang menjadi masalah yang dihadapi para produsen saat wabah Covid-19 ini adalah bahan baku melonjak sangat tinggi. Dia menyebut harga bahan baku yang tadinya USD2,5 per kg menjadi USD80 per kg.
Negara asal bahan baku yakni China dan Taiwan pun lebih mengutamakan untuk penggunaan produksi dalam negeri. Untuk itu, pihaknya berharap Pemerintah melakukan komunikasi g to g (government to government).
“Kemudian, biaya operasional tinggi dengan overtime dan bahan baku tinggi, masker yang tadinya Rp30 ribu menjadi Rp200 ribu di pasaran,” terangnya.
Selain itu, Tarya melanjutkan, pihak produsen juga khawatir bahwa setelah wabah Covid-19 ini berakhir maka produk masker dari China akan kembali masuk dan industri masker domestik akan lebih tertekan dari sebelum wabah Covid-19 ini.
“Jadi kami harapkan pemerintah mengadakan bahan dan disubsidi. Apa mungkin kita jual seadanya dengan harga bahan baku yang tidak terjangkau produsen. Bantuan pemerintah soal bahan baku itu penting,” ucap Tarya.
Di sisi lain, sambung dia, Aspaki bekerja sama dengan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM) dan Badan Pengkajian dan Penerapat Teknologi (BPPT) akan merealisasikan produksi ventilator dalam waktu cepat karena, Pemerintah telah membuat relaksasi izin edar.
“Sehingga, kita tidak melakukan pengujian seperti izin edar tapi pengujian oleh dokter dan tenaga medis di rumah sakit apakah bagus, kemudian diproduksi dan diedarkan,” paparnya.
Tarya menambahkan, masalah lainnya adalah terkait e-catalog yang daftar harganya sudah tidak cocok lagi. Seperti misalnya, masker yang harganya Rp30 ribu sekarang sudah tidak ada lagi. Pihaknya meminta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) membuka pintu menegosiasi ulang ataupun melalukan pembelian offline dengan pendampingan LKPP.
“Diharapkan LKPP bahwa ini bisa menjadi perhatian agar baik satker maupun produsen bisa mengisi problema kita terkait alat-alat,” harapnya.
“Produksi alkes dalam negeri, 90% bahan baku impor. Masker juga 30% produksi dalam negeri, 70% impor. Itu pun harga industri dalam negeri terintimidasi dengan harga impor dari China,” kata Ketua Aspaki Ade Tarya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Virtual dengan Komisi IX DPR, Rabu (8/4/2020).
Tarya menuturkan, berdasarkan catatan Aspaki, dari 300 lebih produsen alkes, hanya 107 yang menjadi anggota Aspaki. Industri masker dalam negeri tercatat ada 22, industri rapid test ada 10 dan hand sanitizer ada 20 industri. “Namun, hanya sebagian kecil saja yang menjadi anggota Aspaki karena tidak ada keharusan,” ujar Tarya.
Menurut Tarya, yang menjadi masalah yang dihadapi para produsen saat wabah Covid-19 ini adalah bahan baku melonjak sangat tinggi. Dia menyebut harga bahan baku yang tadinya USD2,5 per kg menjadi USD80 per kg.
Negara asal bahan baku yakni China dan Taiwan pun lebih mengutamakan untuk penggunaan produksi dalam negeri. Untuk itu, pihaknya berharap Pemerintah melakukan komunikasi g to g (government to government).
“Kemudian, biaya operasional tinggi dengan overtime dan bahan baku tinggi, masker yang tadinya Rp30 ribu menjadi Rp200 ribu di pasaran,” terangnya.
Selain itu, Tarya melanjutkan, pihak produsen juga khawatir bahwa setelah wabah Covid-19 ini berakhir maka produk masker dari China akan kembali masuk dan industri masker domestik akan lebih tertekan dari sebelum wabah Covid-19 ini.
“Jadi kami harapkan pemerintah mengadakan bahan dan disubsidi. Apa mungkin kita jual seadanya dengan harga bahan baku yang tidak terjangkau produsen. Bantuan pemerintah soal bahan baku itu penting,” ucap Tarya.
Di sisi lain, sambung dia, Aspaki bekerja sama dengan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM) dan Badan Pengkajian dan Penerapat Teknologi (BPPT) akan merealisasikan produksi ventilator dalam waktu cepat karena, Pemerintah telah membuat relaksasi izin edar.
“Sehingga, kita tidak melakukan pengujian seperti izin edar tapi pengujian oleh dokter dan tenaga medis di rumah sakit apakah bagus, kemudian diproduksi dan diedarkan,” paparnya.
Tarya menambahkan, masalah lainnya adalah terkait e-catalog yang daftar harganya sudah tidak cocok lagi. Seperti misalnya, masker yang harganya Rp30 ribu sekarang sudah tidak ada lagi. Pihaknya meminta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) membuka pintu menegosiasi ulang ataupun melalukan pembelian offline dengan pendampingan LKPP.
“Diharapkan LKPP bahwa ini bisa menjadi perhatian agar baik satker maupun produsen bisa mengisi problema kita terkait alat-alat,” harapnya.
(ind)