Banjir bawang impor, petani setop produksi

Kamis, 01 Maret 2012 - 11:40 WIB
Banjir bawang impor,...
Banjir bawang impor, petani setop produksi
A A A
Sindonews.com - Protes terhadap membanjirnya bawang impor di Kabupaten Brebes membuat para petani bawang merah memilih menelantarkan sawahnya untuk tidak ditanami. Menurut mereka keberadaan bawang impor itu telah merusak harga bawang lokal.

Saat ini harga bawang lokal turun menjadi Rp3.000 per kilogram (kg) jauh di bawah harga normal, yakni Rp6.000 per kg. Koordinator Paguyuban Petani Bawang Brebes Ratmono mengatakan, bawang impor telah membuat masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari bawang seperti petani dan buruh petik kehilangan penghasilan. ”Ironis sekali nasib kami para petani bawang lokal,” ujar Ratmono, yang membawahi petani Jatibarang, Larangan, Brebes, Wanasari, Ketanggungan, dan Bulakamba, kemarin.

Menurut dia, Brebes merupakan salah satu daerah penghasil bawang merah dan penyuplai terbesar ke Sumatera. Namun, kini bawang merah Brebes sulit masuk ke pulau itu akibat keberadaan bawang impor. Brebes juga merupakan daerah acuan daerah penghasil bawang lain seperti Temanggung, Pemalang, Tegal dan daerah lainnya.

”Brebes telah menjadi wilayah kepercayaan kualitas bawang,” ucapnya. Setiap pekan sekitar 58 kontainer bawang merah impor masuk ke Sumatera. Satu kontainer berisikan 28 ton bawang. Kemudian, bawang merah Brebes masuk ke Sumatera sebanyak 280 ton per hari.

Bila kondisi ini terus dibiarkan, Ratmono mengatakan, tidak hanya bawang asal Brebes yang terkena dampak, tapi juga daerah lain yang menginduk ke Brebes. Oleh karena itu, petani bawang se-Indonesia akan kembali menggeruduk kantor Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan di Jakarta.

”Kalau tidak ada respons pemerintah untuk memperbaiki pasar, kami akan melakukan aksi. Lihat saja nanti,” tandas Ratmono yang diamini oleh petani bawang lain.

Selain petani, para buruh petik bawang juga ikut dirugikan dengan kehadiran bawang impor. Salah satu buruh petik, Kasmirah, 40, warga Desa Pesantunan, mengatakan bahwa pemilik lahan sekarang tidak bisa menanam kembali karena kesulitan modal. Akibatnya, buruh petik yang menggantungkan nasibnya dari para pemilik lahan ikut menganggur.

”Setiap hari para buruh bisa memperoleh hasil sekitar Rp35 ribu dengan jam kerja dari pukul 08.00–17.00. Sekarang banyak (buruh petik) yang menganggur,” ungkapnya. (ank)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0583 seconds (0.1#10.140)